JAKARTA di suatu siang di bulan April -- dan hampir tak ada bedanya dengan siang di bulan Maret, Februari, atau bulan apa saja. Sebuah Metro Mini S-60 berwarna oranye melaju kencang di kawasan Tebet. Seorang wanita setengah baya siap-siap turun karena tujuannya tinggal beberapa ratus meter lagi. Ia berdiri dari kursinya sambil berpegangan pada pajangan besi di atas langit-langit bus, siap menunggu bus tiba di halte. Ciiiuuutt...! Bunyi rem berpacu dengan jerit kecil penumpang. Sang sopir menginjak rem dengan sangat mendadak. Semua penumpang tumpah ke arah depan. Wanita yang bediri tadi jatuh di dekat sopir. Kepalanya membentur tongkat persneling. Penumpang lain, setelah menghirup napas dengan tenang, memprotes dan memarahi sopir yang mengebut seenaknya dan mengerem seenaknya itu. Sopir tak peduli dan tak merasa bersalah. "Salahnya ibu yang berdiri di situ. Ini bukan salah saya. Tuh, mobil di depan belok mendadak," katanya dengan ringan. Wanita yang kepalanya terbentur itu mengusap-usap kepalanya, turun di tempat tujuannya. Lepas dari halte, Metro Mini S-60 itu kembali menderu, meninggalkan gumpalan asap solar hitam di belakang. Di tempat yang lain. Metro Mini T-46 trayek Kampung Melayu-Pulogadung berjalan perlahan-lahan di kawasan Utan Kayu. Pagi itu, pukul 08.45 WIB, selepas dari terminal Kampung Melayu, setengah tempat duduk bus masih kosong. Metro Mini memang sengaja merambat, berharap bisa mengangkut penumpang baru di tengah perjalanan. Di tiap mulut gang, laju Metro Mini diperlambat, hampir berhenti, untuk menunggu orang yang sedang berjalan keluar dari gang. Sekitar 20 penumpang yang mengisi bus berkapasitas sekitar 50 orang itu duduk tenang memandang kosong ke luar jendela dengan pikiran masing-masing. Mendadak kedamaian itu hancur lebur oleh teriakan kenek. "Rapat di belakang," kata kenek yang menggelantung di pintu belakang itu. Ibarat mendengar komando untuk bertempur, sopir langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. Metro Mini T-46 itu seolah-olah siap melompat untuk lepas landas. Penumpang kaget dan terenyak ke belakang. "Rapat di belakang" artinya ada mobil sejenis yang menyusul. Perang tanding antar-Metro Mini pun dimulai. Di belakang, tampak Metro Mini T-46 lain sedang mengejar. Kedua Metro Mini yang masih setengah kosong ini rupanya yakin betul pada prinsip "siapa cepat dia dapat". Dalam kebut-kebutan itu, Metro Mini T-46 yang di depan berhasil menjaga jarak hampir seratus meter dengan yang di belakangnya. Menjelang pertigaan di Jalan Utan Kayu, terlihat lampu lalu lintas berwarna hijau. Namun, Metro Mini yang di depan justru mengurangi lajunya, dan kini berjalan pelan seraya menghalangi mobil di belakangnya. Pekik klakson dari dua mobil sedan di belakang yang ingin mengejar kesempatan lampu hijau tak dipedulikan. Anehnya, begitu lampu di depan berubah menjadi kuning dan menjelang merah, sopir langsung menancap gas, dan Metro Mini itu pun lepas dari persimpangan. Ini strategi dalam perang. Hasilnya, dua mobil sedan di belakang dan -- ini yang lebih penting -- Metro Mini yang di belakang terjebak lampu merah. Sayangnya -- atau boleh juga diumpat: rasain -- setelah memenangkan perlombaan, Metro Mini di depan justru berhenti tak jauh dari lampu lalu lintas. "Koplingnya nggak mau main," keluh Amsal Nainggolan, sopir Metro Mini yang menang perang itu. Kembali kenek mengambil peran: menghentikan Metro Mini yang tadi jadi musuhnya. "Oper, oper," teriaknya sambil menyuruh semua penumpang turun, dan menyerahkan uang kepada kenek yang menerima limpahan penumpang. Metro Mini yang tadi dimusuhi jelas tak keberatan ketiban 20 penumpang operan. Penumpang bergegas pindah ke Metro Mini lain, merebut tempat duduk yang tersisa. Tak terdengar keluhan dari penumpang, baik soal kebut-kebutan maupun soal perpindahan. Itu sudah jadi masalah rutin di Jakarta. Amsal sendiri hanya duduk bengong menunggu keneknya kembali dari memanggil tukang di pangkalan Metro Mini di Kelapa Dua. Semakin lama ia menunggu, semakin menipis pula rezekinya. Ia menolak kemungkinan kopling mobilnya rusak karena ia menggenjot habis pedal gas. Dan sekaligus pula ia menolak sopir Metro Mini ugal-ugalan -- walau jelas ia baru saja menyetir seenaknya. "Kalau dibilang ugal-ugalan, belum tentu. Tapi memang saya lebih berani. Sopir kendaraan umum kan lebih pintar memainkan setir daripada sopir kendaraan pribadi," katanya yakin. Apakah cuma Metro Mini yang ugal-ugalan? Oh, tidak. Hanya saja, Metro Mini yang jadi "bintang" -- lantaran yang mengantar maut sekitar 30 orang ke Kali Sunter adalah Metro Mini, yang dibakar habis adalah Metro Mini. Bus-bus mini lain sama saja. Lihatlah sebuah bus Kopaja P-20 yang melaju di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, persis 1 April lalu. Pada hari libur memperingati wafatnya Isa Almasih, jalanan tampak lowong sehingga sopir tak perlu menggenjot habis pedal gas. Penumpang yang memenuhi Kopaja trayek Senen-Lebak Bulus itu bisa duduk santai tanpa harus terantuk-antuk keras digoyang guncangan bus. Tiba-tiba sopir membanting bus ke arah kiri, memanjat trotoar, dengan kecepatan hampir 40 km/jam. Penumpang terguncang. Beberapa orang berteriak sambil memegang dadanya yang sakit terantuk sandaran kursi di depannya. Kaca depan bus pecah karena menabrak tiang listrik dan menyerempet Metro Mini di depan yang sedang berhenti. Sopir ceking berambut kumal itu hanya panik sebentar. Ketika bus sudah berhenti di atas trotoar, ia kembali duduk tenang di belakang kemudi. Sepertinya kecelakaan itu tak pernah terjadi. Seorang penumpang kesal. "Sembrono kamu!" umpat penumpang yang merasa nyawanya tidak dihargai si sopir. Di balik seragam hijau Kopajanya yang tidak terkancing, sopir itu malah menantang. "Siapa yang sembrono? Lihat dulu, dong. Remnya blong, bukan salah saya," katanya dengan suara tinggi. Melihat suasana itu, penumpang lain hanya bisa keluar dari bus sambil menggerundel sendiri-sendiri. Kenek bus segera mengambil tindakan. Ia menyetop Kopaja P-20 lain yang lewat, dan mengalihkan penumpang ke dalamnya. Tak ada masalah. Untuk penumpang yang minta pengembalian ongkos, ia serahkan 300 perak. Urusan selesai. Jadi, mau bilang apa? Sopir sembrono, ugal-ugalan, bus tak laik jalan, terserah. Kenyataannya, bus itu ditunggu-tunggu, tak peduli mengebut atau merayap pelan. Belakangan, stiker besar ditempel direksi PT Metro Mini di beberapa bus mini itu. Bunyinya: Bila Pengemudi Kami Ugal-ugalan. Harap Hubungi 4895585 (hunting) atau Petugas Terdekat. Sayang, telepon itu agaknya terlalu sering menampilkan nada sibuk. Lagi pula, seberapa banyak orang yang "iseng menelepon" kalau jawabannya: "Akan saya perhatikan, Pak"? Sopir Metro Mini memang terlalu mudah menyalahkan penumpang kalau ada "kecelakaan kecil". Hotman Situmorang, misalnya, pengemudi Metro Mini P-17 jurusan Senen-Manggarai yang ditangkap polisi karena penumpangnya jatuh ketika akan turun. Dia protes kepada polisi ketika surat-suratnya diambil. "Itu bukan salah saya. Penumpangnya turun waktu lampu merah. Jadi, waktu lampu hijau, saya jalan dan dia terjatuh. Kenapa saya yang ditangkap?" kata Hotman, yang mengaku tidak pernah mengebut. Kemungkinan Hotman betul bisa juga, karena penumpang Jakarta pun sulit diatur, bisa naik dan turun di sembarang tempat walaupun tak jauh dari sana ada halte. Sebenarnya, Metro Mini diadakan dan berkembang di Jakarta untuk kenyamanan penumpang. Perusahaan ini didirikan tahun 1976 berdasarkan SK gubernur. Waktu itu, 399 pemilik mikrobus berkumpul menjadi pemilik saham dan diharapkan mengisi trayek-trayek "kurus" di jalan penghubung, jalan lingkungan, dan pinggiran kota yang tidak dilayani bus-bus besar sejenis dengan PPD atau Mayasari Bakti. Jadi, Metro Mini memberikan kemudahan bagi penduduk Jakarta mencapai wilayah-wilayah yang terpencil. Dan karena trayeknya kering, diharapkan penumpang tidak perlu berdesak-desakan. Berdasarkan peraturan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ), hanya 10% penumpang mikrobus yang boleh berdiri. Entah bagaimana asal-usulnya, kini setan oranye Metro Mini dan setan biru Kopaja muncul di jalan-jalan protokol. Penumpangnya juga sudah membeludak sampai bergelantungan, tak ubahnya bus kota. Kopaja P-20, misalnya, setiap pagi dan sore masih saja mengisi penumpang walau bus itu sudah miring ke kiri. Soalnya, trayek Senen-Lebak Bulus sangat menguntungkan penumpang. Sebelumnya, orang-orang dari Senen yang akan ke Kuningan, Mampang, dan Lebak Bulus harus berganti bus. Dengan P-20, cukup sekali naik, membayar sama, Rp 300. Kenapa sopir ini rata-rata ugal-ugalan? Beberapa sopir menyebut soal persaingan mengejar setoran, yang setiap hari berkisar Rp 80.000 sampai Rp 90.000. Jika mereka tak gesit, bisa-bisa pemasukan hanya bisa untuk menutup setoran, tanpa penghasilan untuk anak-istri di rumah. Menurut Reubensen, yang sehari-hari menelusuri jalur Senen-Manggarai, ada 60 Metro Mini yang memenuhi jalur sepanjang 14 km bolak-balik. "Kalau semua Metro Mini itu dibariskan, mungkin jarak antara satu Metro Mini dan yang lainnya tak sampai setengah kilometer. Itu kan sudah susah untuk cari penumpang," katanya. Belum lagi kalau ada kemacetan di sepanjang jalur itu. "Banyak sopir yang stres karena dia harus mengejar rit sebanyak mungkin. Karena macet, makan pun tidak teratur. Kalau perut lapar, menyetirnya pasti terburu-buru," tutur Reubensen. Pemecahannya, "Peraturan ditegakkan benar-benar," ujarnya. Tentang ugal-ugalan? "Saya tidak pernah mendengar penumpang protes. Itu artinya tidak apa-apa. Kalau sopir ugal-ugalan, pasti penumpang protes." Tapi satu-dua ada juga penumpang yang protes, entah iseng atau takutnya tak ketulungan. Sebuah Kopaja P-66 trayek Manggarai- Blok M tancap gas dari simpang Kuningan ke arah Semanggi. Untuk jarak tempuh itu, sopir hanya membutuhkan waktu sekitar tiga menit, padahal jalanan cukup padat. Bus menyalip dengan seenaknya, dari kiri atau kanan, tergantung kesempatan. Seorang penumpang yang protes -- tepatnya menggerutu sendiri -- dibalas langsung oleh sopir: "Kalau mau enak, naik mobil sendiri saja." Tak sedikit pula penumpang yang setuju dengan pelayanan cepat Metro Mini. Orang-orang yang memburu jam masuk kantor tak punya pilihan lain. Bajaj tak selalu bisa masuk ke wilayah perkantoran, dan taksi terlalu mahal. Pilihannya hanya Metro Mini dan bus kota, yang menembus kemacetan Jakarta dengan gaya masing-masing. Jika bus kota mengandalkan kebesarannya hingga main seruduk dengan perhitungan orang lain yang mengalah, Metro Mini punya kelincahan tertentu untuk pindah-pindah jalur. Seorang penumpang yang ditemui wartawan TEMPO di Stasiun Senen memang memilih Metro Mini karena kecepatannya. "Saya memang tugas di luar mengantar-antar surat, jadi saya lebih suka Metro Mini yang ngebut," katanya sambil tersenyum. Penumpang yang tak mau disebut namanya itu yakin tak ada Metro Mini yang tertib mematuhi peraturan lalu lintas. Tentang keamanan, dia hanya menjawab dengan kalem, "Kalau lagi nasib, di mana pun bisa celaka." Salah satu yang ikut meramaikan ugal-ugalan Metro Mini adalah kehadiran para sopir tembak. Ini adalah kelompok orang yang bisa menyopir tapi tak punya SIM dan tak terdaftar di Metro Mini maupun Kopaja. Waktu menariknya juga tidak panjang, yaitu ketika sopir resmi beristirahat makan atau tidur. Maka, dalam waktu sekitar dua atau tiga jam, sopir tembak akan memanfaatkan Metro Mini atau Kopaja bawaan sopir resmi semaksimal mungkin, tanpa target dan juga tanpa aturan. Penghasilannya dibagi dua dengan sopir resmi. Biasanya sopir tembak adalah kawan sopir resmi, yang baru datang dari kampung, yang berharap kelak bisa menjadi sopir resmi. Pemilik tak pernah bisa menertibkan sopir tembak ini. "Mana saya tahu. Saya hanya memberikan Metro Mini kepada sopir yang punya SIM, yang punya seragam," kata T. Manulang, salah seorang pemilik Metro Mini. Dia baru tahu kalau kebetulan sopir tembak tertangkap polisi. "Saya yang rugi. Bukan sopir tembaknya yang ditangkap, tapi surat-surat saya yang diambil. Kan, saya yang susah," tuturnya. Tak banyak sanksi yang bisa diandalkan untuk menertibkan Metro Mini. Pelanggaran lalu lintas lebih sering dihukum dengan "damai di tempat". Kalaupun ditilang, tak sedikit pula sopir Metro Mini atau Kopaja yang tetap jalan hanya dengan mengandalkan surat tilang polisi ketika STNK mobil atau SIM-nya disita polisi. Belakangan, polisi mulai lebih keras menindak, dengan "mengandangkan" bus langsung. Tapi akibatnya, penumpang berjubel karena bus berkurang. Dilema lagi. Apalagi kalau kelayakan jalan dipersoalkan. "Banyak sekali mikrobus yang tidak layak jalan," kata seorang petugas DLLAJ di sebuah terminal, yang tidak mau disebut namanya. Ia mengambil contoh kaca jendela yang retak, bumper yang soak, bodi keropos, dan lampu sein yang tidak berfungsi. Penumpang juga tergolong salah satu sumber kekacauan. Tak sedikit penumpang yang naik turun seenaknya di luar halte. Bahkan di terminal, banyak penumpang yang justru menunggu di pintu terminal. "Kalau penumpang menunggu di pintu terminal, Metro Mini juga berhenti di sana. Itu salah satu masalah yang kami hadapi. Kesadaran masyarakat juga sangat diperlukan dalam menggunakan angkutan umum," kata Kasmir B., Kepala Terminal Bus Blok M, Suku Dinas DLLAJ Jakarta Selatan. Bahkan tak sedikit penumpang yang menunggu Metro Mini di persimpangan jalan karena tak mau bersusah payah jalan ke halte bus. Bagi sopir Metro Mini atau Kopaja, rezeki itu tentu tak boleh dilepas begitu saja. "Kalau saya biarkan karena mau mengikuti peraturan, tentu yang lain yang mengambil, dan bus itu toh tidak akan ditangkap," kata seorang sopir Kopaja S-620, trayek Manggarai-Mampang-Blok M. Di sepanjang Jalan Sultan Agung, kata sopir yang tak mau disebut namanya, praktis hanya ada satu halte, di depan Kantor Polisi Guntur. Sedangkan sebagian besar penumpang justru naik turun di depan Pasar Rumput, persis di bawah rambu larangan berhenti. "Ini, menurut saya, peraturannyalah yang tidak benar atau tidak dijalankan secara benar. Kami ini sebenarnya mau mengikuti peraturan, tapi kondisinya tidak memungkinkan," ujarnya menambahkan. Mungkin bukan saatnya lagi saling menuding. Mestinya, mencari jalan pemecahan yang menyeluruh. Pemda DKI, misalnya, menempuh penataran bagi 100 pengemudi angkutan umum untuk meningkatkan disiplin mereka terhadap peraturan lalu lintas. Departemen Perhubungan kini siap menerapkan kewajiban memiliki kartu pengenal pengemudi (KPP) untuk mempersempit ruang gerak sopir tembak. Peraturan itu jelas tidak cukup tanpa sanksi yang keras terhadap sopir yang ugal-ugalan -- tentu tanpa kesediaan berkompromi di jalanan. Dan akhirnya adalah penumpang yang tertib. Dan ini tak kalah sulitnya untuk diatasi. Kapankah Jakarta menjadi kota yang disiplin walaupun tetap padat? Dan dari manakah gebrakan harus dimulai? Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini