Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kapling baru bagi satwa Taman Safari

Lahan 70,5 hektare telah disediakan untuk menampung ledakan populasi satwa di taman safari indonesia di jawa barat. tapi izin perluasan taman itu dipertanyakan para pencinta lingkungan.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKAWAN macan loreng tampak bermalas-malas di bawah pohon akasia. Sesekali binatang buas itu menguap, seraya memamerkan taringnya. Beruang dan unta berlalu lalang di antara pengunjung, sementara badak sumatera lebih suka diam di pojok menjauhi keramaian. Itulah pemandangan yang sehari-hari dapat disaksikan di Taman Safari Indonesia Indah (TSI). Tidak seperti di kebun binatang, di TSI binatang bebas berkeliaran, termasuk binatang buas. Namun, kebebasan itu kini terancam oleh populasi fauna di TSI. Sejak empat tahun silam, binatang-binatang itu berbiak hampir 10 kali lipat, dari 270 ekor menjadi 2.500 ekor. Jadi, lahan luas pun terasa sempit. Memang, sejak berdiri Maret 1990, luas TSI, yang berlokasi di lereng Gunung Pangrango ini, masih tetap 60 hektare. Itu pun dibagi dua: 30 hektare berupa taman satwa dan 25 hektare lagi untuk hiburan. Karena populasi satwa melonjak, kini setiap ekorhanya menempati lahan 120 meter persegi. Badak sumatera menempati lahan seluas 1.500 meter persegi saja. Harimau belang, yang populasinya mencapai 45 ekor, harus berdesakan di lahan yang hanya beberapa ribu meter persegi saja. Padahal, di Kebun Binatang Ragunan, tiga ekor harimau menempati lahan 1.000 meter persegi. Kelebihan populasi itulah yang menyebabkan TSI sudah tak layak disebut sebagai taman safari. Menurut Direktur Program Kebun Binatang Ragunan, Nonot Marsono, untuk taman safari sedikitnya diperlukan 100 hektare dan sepenuhnya untuk satwa. "Untuk tiga ekor macan saja, idealnya diperlukan lahan enam ribu meter persegi," ujar Nonot. Dan di TSI, harimau ternyata merupakan satwa yang paling cepat berbiak. Dalam setahun, seekor induk harimau berbiak dua kali dengan 3 - 4 ekor anak sekali melahirkan. Paling subur tentu saja monyet, yang berbiak terus. Karena tujuan utama TSI adalah penangkaran (khususnya binatang langka), penghuni TSI memang tidak dibatasi. Tidak ada keluarga berencana (KB) di sini. Lain dengan Kebun Binatang Ragunan yang menerapkan program KB. Harimau terkena program ini, sedangkan untuk menekan populasi monyet, maka monyet betina sengaja dipisahkan dari monyet jantan. Tanpa KB, TSI pun penuh sesak. Koleksinya terus bertambah, termasuk macan putih yang langka itu. Kini dianggap peristiwa biasa bila ada hewan langka lahir di TSI. Kini timbul masalah baru: perkembangan satwa tak diimbangi dengan pertambahan lahan. Semula, dengan 30 hektare, TSI memang akan menampung 700 ekor satwa saja. Tapi karena populasinya meledak, tak aneh bila satwa-satwa itu sampai berdiri di atas kotorannya sendiri. "Sejak awal, lahan Taman Safari Indonesia sudah terasa kurang. Apalagi sekarang," kata Nonot prihatin. Tak terhindarkan kalau kawanan satwa itu dijangkiti penyakit, mulai dari cacingan sampai penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri. Ini diungkapkan sendiri oleh Direktur TSI, Jansen Manansang. Pengelola TSI ini tentu tak bisa disalahkan karena 2.500 ekor satwa langka di TSI jelas menarik banyak pengunjung. Taman Safari yang terbesar di Asia Tenggara itu, selain menelan investasi Rp 15 miliar, setiap hari harus menyediakan satu ton daging, 0,5 ton buah-buahan, dan empat truk rumput. Perluasan lahan sudah lama diupayakan pihak TSI. Pada awal April silam, diperolehlah 70,5 hektare tanah tambahan bekas kebun teh di Desa Cibeureum, Cisarua. Lokasinya di bawah TSI, membujur dari barat, timur, dan selatan. Kendati kurang dari 100 hektare, lahan baru itu bagaikan rezeki nomplok yang lama dinanti-nanti. Jansen tidak bisa memastikan kapan perluasan TSI akan dimulai. Tapi dengan perluasan itu, direncanakan hunian badak sumatera akan diperluas dari 1.500 persegi menjadi 4 hektare. Adapun 45 ekor harimau akan menempati kapling seluas dua hektare (tingkat kepadatannya 450 meter persegi per ekor). Kapling singa -- populasinya 70 ekor -- akan diperluas menjadi sekitar 5 hektare. Pembangunan taman satwa di areal baru ini akan dibuat sedikit berbeda dengan yang sudah ada. Kelak, sebelum menyaksikan beraneka satwa, pengunjung harus mendaki dulu. Sesampai di pucaknya, sebuah jalan berbelok-belok menurun, membelah kawasan itu. "Karena jalannya menurun, mesin mobil bisa dimatikan. Ini mengurangi polusi, ngirit bensin, dan kopling tidak cepat aus," tutur Jansen. Selebihnya, tak banyak berbeda dari desain TSI lama. Binatang dikelompokkan dalam kapling-kapling. Untuk binatang buas seperti singa, beruang, dan macan, ada pagar kawat setinggi 4,5 meter yang memisahkan tiap-tiap jenis binatang. Pintu berlapis dua, yang dapat ditutup-dibuka, menghubungkan kapling-kapling. Berapa besar pihak TSI harus mengeluarkan dana untuk perluasan dan penataan lahan yang baru? Kata Jansen, untuk pembebasan tanah, pihaknya telah mengeluarkan Rp 2,5 miliar. Untuk reboisasi dan penyiapan areal, diperlukan dana Rp 2 miliar lagi. Sampai pembangunan selesai, sedikitnya diperlukan dana puluhan miliar rupiah. Kabarnya, dana itu diperoleh pihak TSI dari bantuan lembaga asing. Namun, hal ini dibantah Jansen. Katanya, bantuan dari lembaga internasional seperti Adelaide Zoo, University of California, New York Zoological Society, maupun CBSB Amerika (yang memberi sumbangan US$ 20 ribu), sifatnya insidentil. "Untuk perluasan ini kami sudah mendapat tawaran dari Amex dan Bank Danamon. Tapi belum kami putuskan," kata Jansen. Tambahan areal itu juga punya masalahnya sendiri, yang konon berbau pelanggaran. Bisa dimaklumi bila lahan baru TSI sempat mengundang pertanyaan banyak orang. Menurut sebuah sumber, penggunaan kawasan Cisarua (Puncak, Bogor) sebagai kawasan pariwisata bertentangan dengan Keppres Nomor 79/1985 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Keppres tersebut antara lain mengatur RUTR Puncak. "Sebenarnya kawasan TSI yang telah ada juga menyalahi hukum," kata sumber yang tak bersedia disebut namanya itu. Lihatlah kembali Keppres No. 48/1981 yang mengatur kawasan Cisarua sebagai daerah penyangga yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan wisata. Lalu, mengapa izin itu keluar dan kemudian berdiri TSI? Inilah yang tak jelas. Dulu Jansen Manansang, sang pendiri TSI, berniat mendirikan taman wisata, seperti yang pernah dilihatnya di Spanyol dan Malaysia. Keinginan itu disambut oleh Pemda Jabar, lalu disediakanlah 60 hektare tanah HGB di Cibeureum, Cisarua. Pembangunan proyek TSI, yang dimulai tahun 1986 itu, selesai empat tahun kemudian. Jadi? Dari awal, TSI memang sudah berada di luar ketentuan yang berlaku. Bila sekarang proyek perluasan TSI, kabarnya, mendapat dukungan Menteri Lingkungan Hidup, Mendagri, Mensesneg, dan Menparpostel, tentu tak terlalu mengherankan. Apalagi di kawasan Puncak yang sarat dengan kasus pertanahan, untuk memperoleh lahan baru bukan soal gampang, tak terkecuali untuk perluasan TSI. Menurut Hidayat Hibani, Koordinator Program Jaringan Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia Skephi, pihak TSI memanfaatkan UU Pokok Agraria. "Pemerintah berniat menyempurnakan UU Pokok Agraria yang lebih berpihak pada masyarakat," kata Hidayat. Maksudnya, sebelum izin perolehan tanah diperketat, kini banyak pengusaha yang tiba-tiba meminta lahan baru. Kesempatan tersebut dimanfaatkan pula oleh para spekulan. Ketika terdengar TSI akan meluaskan arealnya, seorang warga bernama Haji Teteng tiba-tiba mengaku sebagai pemilik 200 hektare bekas perkebunan teh Cisarua. Untuk mendapatkan ganti rugi, ia mengupah petani untuk menanami bekas perkebunan teh itu dengan sayur-mayur. Cara itu rupanya berhasil. Buktinya, untuk lahan 70,5 hektare itu, TSI bersedia membayar ganti rugi Rp 2.900 per meter persegi. "Itu hanya ekses-ekses dari persoalan yang lebih mendasar," kata Bupati Bogor, Edi Yosodipura. Ditambahkannya, daripada tanah digarap oleh petani sebagai ilegal, lebih baik jika lahan tidak produktif itu dikelola oleh pengusaha. Termasuk untuk pembangunan lapangan golf. Penegasan seperti itulah yang dipersoalkan kalangan pencinta lingkungan hidup. Sedang untuk TSI, mereka sedikit melunak. Soalnya, pembangunan fisik di TSI hanya 10%. Sisanya dibiarkan hijau. "Bangunan untuk hotel dan restoran tak akan lebih dari 7 hektare," kata Jansen. Benarkah? Kita lihat nanti.Bambang Aji, Diah Purnomowati, dan Juwarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum