SUKATNO, sebut sajalah demikian namanya, berusia 38 tahun, barangkali tak menduga hari itu bakal mengalami peristiwa yang pahit. Sebagai sopir Metro Mini T-44 yang sudah delapan tahun mengarungi jalur Pulogebang - Pulogadung, Jumat dua pekan lalu itu adalah harinya yang bersejarah. Seperti hari-hari rutinnya, ia berangkat dari rumah seusai salat subuh mengambil kendaraan dari taukenya, dan pukul 5 pagi ia sudah meluncur di jalan raya. Kejadian yang membuat ciut nyalinya itu berawal pukul 11.30 WIB, saat anak sekolah dan pegawai pulang kerja. Posisinya ketika itu di pertigaan lampu pengatur lalu lintas, sekitar 500 meter dari terminal Pulogadung. Waktu itu semua tempat duduk, yang jumlahnya 31, terisi. Bahkan sekitar 13 orang berdiri. Hanya tersisa sedikit ruang kosong di pintu. Tiba-tiba lima penumpang menyetop. "Saya sih tak pikir panjang. Ini penumpang, ya, saya berhenti, dong," ceritanya. Lima penumpang yang berusia sekitar 25 tahun itu, begitu masuk, langsung menyebar. Satu dari pintu depan, tiga sisanya masuk dari pintu belakang, yang dua di antaranya langsung ke tengah. Laki-laki kelahiran Sleman, Yogya, yang sudah delapan tahun jadi pilot bus oranye itu tak merasa curiga. Tiba-tiba ia mendengar teriakan penumpang, "Aduh, jangan, dong. Saya tak punya duit." Kemudian terdengar suara gertakan yang lebih menyeramkan, "Diam. Pokoknya, duit atau barang berharga harus diserahkan." Rupanya, itu gertakan salah seorang dari lima penumpang tadi. "Terus terang saja, pikiran saya kalut. Waduh, jangan-jangan saya malah dibantai," cerita Sukatno. Maka, otaknya pun berpikir keras bagaimana cara menyelamatkan diri. "Semua orang, kalau kepepet lantaran dirampok seperti saya, pasti punya pikiran yang sama." Perampok jalanan itu makin beringas. Mereka mulai merogoh saku penumpang satu demi satu. "Saya lihat perampok bengis itu tak pandang bulu. Nenek-nenek maupun anak sekolah disikatnya," tutur Sukatno. Seorang penumpang, Anto Suprianto, pelajar STM kelas 3, adalah salah satu korban. Duit di sakunya, sebanyak Rp 5 ribu, melayang. Sukatno berpikir mencari jalan penyelamatan. Sambil tetap menjaga laju kendaraannya, dia mencari-cari tempat yang bisa mengamankannya, mumpung belum disandera. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sebuah bangunan putih. Itulah gedung baru Markas Kepolisian Sektor Cakung, Jakarta Timur, yang terletak di Jalan Bekasi Raya. Sebenarnya bangunan itu belum digunakan karena baru akan diresmikan pemakaiannya Senin, atau dua hari kemudian. Maka, dia pun sempat ragu, jangan-jangan gedung ini belum ada yang jaga. Tapi sopir itu tak punya pilihan lain. Begitu lewat gerbang kantor kepolisian itu, setir segera dibantingnya ke kanan, menyeberangi jalan yang padat dan riuh. Untung, jalanan lancar, sehingga dengan gampang mobil berpelat nomor B 7785 EV itu mencapai halaman kantor polisi. Kebetulan di gedung itu sudah ada polisi yang jaga. Penumpang, yang nyalinya hampir habis, tiba-tiba mendapat suntikan semangat. Segera mereka berhamburan turun sambil berteriak kencang, "Rampok, rampok...." Lima pembajak muda itu langsung lari. Tapi usaha mereka tak mulus. Endang, 21 tahun, salah satu dari mereka, kurang sigap menghindar. Dengan gampang dia dibekuk. Empat lainnya berhasil kabur. Dari mulut Endang inilah keluar nama empat pelaku lainnya. Ia menyebut antara lain nama Oon, Mastak, Rodent. Ketika ditemui TEMPO di tahanan Polsek Cakung, Senin pekan lalu, keluar pengakuan bahwa dirinya bukanlah aktor utama dalam tindak pembajakan itu. "Saya waktu itu pulang kerja. Kebetulan diajak untuk cari duit di atas Metro Mini. Jadi saya, ya, ikut saja," katanya, dengan wajah memelas. Atas keberaniannya itu, Sukatno mendapat penghargaan dan sejumlah uang dari Kepolisian Jakarta, Senin pekan lalu. "Keberanian sopir ini patut diteladani," kata Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol.) Hindarto. Tapi, bagi Sukatno, persoalan belum rampung. "Terus terang saja, saya ngeper. Takut untuk membawa penumpang," katanya. Ia merencanakan, paling tidak, selama sebulan ini beristirahat. Siapa tahu kawanan bandit itu balas dendam. Maka, ketika ditemui di rumahnya, yang dibangun berlantai dua di atas tanah 50 meter persegi, Sukatno tampak sangat berhati-hati. Bak petugas intelijen, ia menanyai identitas wartawan TEMPO dengan detail. "Maaf, ya, Mas. Ini persoalan keselamatan. Saya diperintahkan oleh Pak Polisi untuk berhati-hati," tuturnya. Ia mau diwawancarai asalkan identitasnya disamarkan. Di jalur yang setiap hari dilewati Sukatno, beraksinya pencoleng di atas kendaraan bukan barang baru. Seingatnya, di jalur itu pernah ada sopir yang ditodong penumpang, pernah pula ada kenek yang ditusuk oleh penumpang yang tak mau bayar. "Ini memang risiko menjadi sopir Metro Mini," tuturnya. Sukatno sebelumnya adalah sopir truk pada suatu pabrik minuman. Setiap hari kerjanya mengangkut ribuan botol minuman. Pernah pula ia kerja di pelabuhan Tanjungpriok. Setiap hari tugasnya mengangkut kontainer untuk dikapalkan. "Tapi kerja begitu itu tak enak. Disuruh-suruh terus," katanya. Ketika jadi sopir Metro Mini, ia seperti menemukan kemerdekaan. Dia menjadi majikan bagi dirinya sendiri. Itu di jalan, karena setelah tidak jalan, majikannya adalah pemilik bus. "Saya kena kewajiban setor Rp 80 ribu sehari." Itu masih ditambah untuk solar sekitar Rp 30 ribu. Kalau setoran tak tercapai? "Ya, risikonya nombok," katanya. Meski begitu, Sukatno memilih bekerja tak ngoyo. Ia bekerja dari pukul 05.00 pagi sampai siang hari. Habis itu ia pulang ke rumah untuk makan, dan main dengan anak-anaknya yang masih kecil. Bukan berarti busnya ikut istirahat. Seorang temannya sudah siap menggantikannya untuk siang sampai malam hari. Tentu saja semua sopir punya gaya sendiri-sendiri. Tak semua sopir langsung pulang ke rumah seusai dinasnya, seperti Sukatno. Banyak sopir yang, seusai bekerja, menghabiskan waktunya dengan kongko-kongko, atau makan-minum di warung. Ini pemandangan yang gampang ditemukan di mana-mana. Sopir dari Medan biasanya memilih tempat di lapo tuak. Sedangkan sopir yang dari Jawa, banyak yang pilih warung tegal. Banyak juga yang membunuh waktu luang dengan gaple, karambol, atau main catur. Pemandangan itu juga yang dijumpai di terminal Manggarai, Jakarta Selatan, dua pekan lalu. Ketika itu TV baru saja usai menyiarkan "Dunia Dalam Berita". Banyak penumpang yang kecele karena bus sudah lama habis. Dua Metro Mini diparkir, lampunya dimatikan, tanda tak lagi mencari penumpang. Artinya, sopir bus pun berhak mengaso. Di sebuah pojok terminal itu, Benny, sopir Metro Mini trayek S-61, yang tiap hari hilir-mudik Manggarai-Kampung Melayu, asyik menekuni buah caturnya. "Inilah acara rutin saya seusai dinas, catur sekalian menjaga batangan," kata laki-laki yang sebenarnya bernama Kursid itu. Yang ia maksud dengan "batangan" adalah bus yang ia jalankan. Di tengah tiupan angin yang cukup kencang itu Benny membiarkan kancing baju atasnya terbuka. Jari kanannya memegang biji catur, jari kiri mengapit rokok, menempel di mulut. Sekali-sekali tangan kanannya yang dihiasi cincin batu akik menepuk-nepuk perutnya yang gendut. Setelah satu jam, permainan catur itu baru berakhir. Benny, laki-laki Brebes yang sudah 10 tahun jadi sopir Metro Mini malam itu keluar sebagai pemenang. Ia kemudian membeli dua bungkus rokok Dji Sam Soe dan segelas kopi. "Tanpa rokok dan kopi, otak jadi bebel," tuturnya. Ia juga minum jamu yang dicampur dengan telur bebek. "Ini untuk menambah tenaga," katanya. Benny menginjakkan kakinya di Jakarta 27 tahun lalu. Waktu itu ia datang karena diajak seorang rekannya. Untuk ongkos jalan, ia terpaksa menjual seekor kambing. Sampai di Jakarta, bersama temannya itu, Benny mengontrak sebuah rumah di kawasan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Ia mencoba berdagang bubur kacang hijau dengan pikulan keliling. Tapi ia tak menemukan hoki di sini. "Suram, rugi terus," tuturnya. Pernah, saking jengkelnya, ia membuang dagangannya, yang masih sisa separuh, ke selokan. Ia hanya tahan setahun, kemudian mudik ke Brebes. Ia balik lagi ke Jakarta tahun 1984. Kali ini tujuannya adalah pul Metro Mini di Kuningan, Jakarta Selatan. Kariernya diawali dengan ngenek alias menjadi kernet atau kondektur. "Jadi kernet," tuturnya, "harus mau disuruh nyuci mobil." Di situ ia belajar menggerakkan mobilnya: maju, mundur, membelok, dan memasukkan ke kandang. Ini rupanya pelajaran yang berharga. Ia kemudian mencari SIM. Ini mengantarnya menjadi sopir Metro Mini. Sejak itu ia punya jam "kantor". Setiap hari mulai dinas pukul 05.30, seusai mobilnya dilap dan diisi solar. Di situlah ia bersaing dengan 29 mobil lain, yang mengarungi trayek yang sama. Kemudian istirahat pukul 12.00. Seorang temannya, Sukadi, menggantikannya dengan jabatan sopir tembak. Benny tampil lagi pukul 18.00 sampai paling larut pukul 21.30. Dengan jadwal itu, ia bisa mengumpulkan Rp 140 ribu sehari. Setelah dikurangi untuk ongkos, di antaranya solar, air minum, mel (bahasa sandi artinya pungutan liar di jalan), ia terima bersih Rp 42 ribu. Jumlah ini dibagi tiga, yaitu dua sopir, masing-masing Rp 16 ribu, sisanya untuk kenek. Seusai kongko-kongko, ia baru pulang ke penginapannya, di sebuah bedeng kayu ukuran 4 meter persegi, yang disewanya dari seorang janda Betawi. Setiap hari ia membayar Rp 500 untuk ongkos tidur semalam, dan Rp 500 lagi ia setorkan untuk ongkos mandi. Kalau mencucikan pakaian, ia masih ditarik lagi Rp 1.000, untuk setiap potongnya. Katanya, sepanjang mengemudi, ia punya pedoman untuk taat pada rambu. "Saya juga pantang mengoper penumpang ke bus lain," tuturnya. Akibatnya, ketika sopir lain sudah mendapat tiga putaran, Benny baru dapat dua. Itu sebabnya ia juga dikenal sebagai sopir ngendol alias lembek. Tapi, ternyata tak mudah menjadi sopir yang patuh pada peraturan. Berkali-kali penumpang menyetop mobilnya di leter S, tempat kendaraan diharamkan mandek. "Kalau saya nggak ambil, kan bokek saya," kata bapak tiga anak ini. Pernah, ulahnya itu diketahui polisi. Yang disalahkan oleh polisi adalah sopir bus, bukan penumpang. Surat-surat mobil diambil polisi. "Tapi biarin dah. Dengan Rp 3 ribu paling juga sudah balik," katanya. Itu berarti pendapatannya berkurang, karena setoran tak bisa diajak berdamai. Sopir angkutan Kota Jakarta memang lebih banyak yang mengenaskan. Lebih memprihatinkan kalau tiba-tiba bus mogok di tengah jalan. Kalau yang ngadat hanya aki, masih mending, dengan sekali dorong mesin jalan lagi. Tapi kalau yang rusak kampas kopling, master pecah, atau perangkat lain yang vital, celaka. "Satu-satunya jalan adalah memanggil mobil derek," kata Benny. Berarti duitnya bakal terkuras Rp 40 ribu lagi. Bisa diduga, sopir akan nombok setoran. Karena itu, bagi sopir bus kota, yang ditakuti bukanlah polisi (bagaimanapun bisa diajak berdamai), tetapi bus yang mogok setelah keluar dari pul. Kalau mogok di jalan, juragan bus tak bisa diajak damai. Alasannya, dari pul sudah tak ada masalah. Rupanya, nasib sopir bergantung pada majikan, tak bisa sama. Ada majikan yang mau diajak "bicara" jika mobil mogok. Kalau kerusakan itu karena "sudah semestinya", biaya perbaikan ditanggung majikan. Kalau kerusakan karena ulah sopir, apalagi kalau tabrakan, biaya ditanggung sopir. Tapi setoran tetap jalan sampai mogok itu terjadi. Itu yang dialami Amsal, lelaki kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara. "Kalau mobil mogok, saya tak bakal dapat duit untuk dibawa pulang. Boro-boro," keluh Amsal. Amsal datang di Jakarta 20 tahun lalu. Menjadi sopir Metro Mini sebenarnya bukan tujuan hidupnya. Profesi ini ia tempuh karena terpaksa saja. Semula ia adalah pegawai pada sebuah kontraktor. Ketika proyek perbaikan kampung Muhammad Husni Thamrin sedang marak di Jakarta, ia mencoba menjadi pemasok pasir. Ia sukses. "Aku sempat punya mobil sendiri untuk antar dan jemput barang," tuturnya. Tapi kisah suksesnya tak panjang. Baru beberapa saat ia menikmati kejayaan, tubuhnya tumbang karena digerogoti darah tinggi dan kencing manis, sampai hampir lumpuh separuh badan. Bersamaan dengan sakitnya itu, lumpuh pula bisnisnya. Duitnya habis untuk berobat. Setelah setahun ia menganggur, ada seorang kawan yang mengajaknya menyopiri Metro Mini, yang sampai kini memberinya hasil sekitar Rp 350 ribu sebulan. "Itu tidak utuh. Karena saya harus minum pil ini tiap hari," katanya sambil menunjukkan obat diabetes, yang entah sudah berapa kali resepnya ia kopi dari apotek. Sampai kapankah Amsal akan bertahan sebagai pilot Metro Mini? Wallahualam. Ia sendiri, bersama ribuan sopir Metro Mini lain, tak tahu jawabannya. Para sopir itu sadar sekali hidup mereka tak bisa beranjak jauh dari keadaan yang mereka terima saat ini. Dalam pengamatan wartawan TEMPO, semakin tenang kehidupan rumah tangga para sopir, semakin tenang ia di jalan, semakin sadar ia akan nasib penumpang, seperti Sukatno itu. Tetapi, semakin tak teratur kehidupannya, tak ada rumah tempatnya mangkal, tak ada anak atau istri tempat hatinya berlabuh di malam hari, caranya membawa mobil mencerminkan jiwanya yang resah, berontak, tak terkendali, dan entah apa lagi namanya. Barangkali pembenahan yang dilakukan pemerintah terhadap kesemrawutan lalu lintas di Jakarta perlu juga menengok kehidupan pribadi sopir-sopir ini. Termasuk menertibkan majikan bus-bus mini ini.Iwan QH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini