Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada teriakan ”Baleo! Baleo!” hari itu. Paus, yang diharapkan melintas di Laut Sawu, seakan enggan melintasi jalur tahunannya itu. Beberapa pledang—perahu khusus penangkap paus—menganggur saja di pinggir pantai.
Ratusan orang yang ikut dalam Festival Baleo di Lamalera, 27-31 Oktober lalu, berharap paus sperma (Physeter macrocephalus) melintas dan menyemburkan air dari lubang hidung di kepalanya ketika hendak bernapas. Semburan itu dapat terlihat dari tepi pantai dan orang-orang akan segera menyerukan ”Baleo!” secara bersahutan. Kaum lelaki kemudian buru-buru menaiki pledang menuju pantai untuk memburu mamalia laut raksasa itu.
Festival tahun ini cukup istimewa. Festival ini dipimpin Yesaya Zadrak Mandala sebagai ketua pelaksana dan sosiolog Ignas Kleden sebagai panitia pengarah. Para tamu yang hadir berasal dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), yang merupakan gabungan berbagai organisasi nonpemerintah yang peduli pada nelayan, laut, dan perikanan.
Pulau Lembata terletak sekitar 190 kilometer sebelah utara Kupang, ibu kota provinsinya. Lamalera adalah desa kecil di pulau itu dengan penduduk sekitar 1.700 orang pada 2004. Meski semua warganya beragama Katolik sejak misionaris Belanda masuk pada 1886, warga tetap menjalankan adat nenek moyangnya. Ada 15 klan di Lamalera A (Atas) dan Lamalera B (Bawah), pembagian wilayah yang sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka. Setiap klan punya rumah adat, rumah kapal (najeng), dan tali penangkap paus (tale leo) masing-masing.
Namun, sepanjang pelaksanaan Festival Baleo di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, tak ada paus yang muncul di perairan yang terbentang di hadapan desa. Semua berharap paus melintas, sehingga dapat menyaksikan aksi lamafa (juru tikam) menghujamkan tombaknya ke tubuh paus.
Tak semua cukup sabar. Wiliam, wisatawan asal Swiss yang sudah beberapa hari bermukim di desa tersebut, selalu bertanya apakah paus akan datang. ”Kalau datang, kapan?” tanyanya.
Lama menunggu tanpa kepastian, Wiliam memutuskan untuk mengarungi Laut Sawu dengan meminjam pledang milik nelayan. Tapi, setelah seharian di laut, dia mengaku tidak menemukan satu paus pun. ”Semoga saja, setelah ritual adat ada paus yang melintas sehingga bisa ditangkap,” kata Abdul Halim dari Kiara.
Tidak munculnya paus sebenarnya adalah hal yang biasa terjadi. Adat warga setempat memang menunggu paus lewat dan menangkapnya, bukan memburunya ke mana-mana seperti yang dilakukan para nelayan Jepang. ”Kami juga hanya menangkap paus di sekitar perairan dekat kampung kami. Biasanya berangkat pagi dan sorenya sudah kembali,” kata Bona Beding, lelaki asli Lamalera yang menggagas festival ini.
Berdasarkan data di Desa Lamalera, dalam lima tahun terakhir jumlah tangkapan paus memang tidak stabil. Pada 2006, warga Lamalera hanya menangkap 4 ekor paus, pada 2007 beroleh 44 ekor, 2008 sebanyak 35 ekor, 2009 ada 6 ekor, dan selama Maret-Oktober 2010 mendapat 22 ekor.
Data yang lebih tua pernah disusun R.H. Barnes, peneliti dari Universitas Oxford. Dalam bukunya mengenai nelayan Lamalera, Sea Hunters of Indonesia: Fisher and Weaves of Lamalera (1996), Barnes menyusun data sejak 1959 hingga 1995. Angka perolehannya memang bervariasi. Meski jarang, ada tahun-tahun keemasan, ketika nelayan bisa memanen 20 hingga 30 ekor paus. Angka tertingginya adalah 56 ekor pada 1969. Kadang mereka cuma menangkap 2 ekor pada 1983, dan 4 ekor pada 1989, tapi bisa mencapai 27 pada 1994 dan 38 pada 1995.
Menurut Barnes, ada banyak faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah paus itu. Dia dan seorang biolog kelautan yang mendampinginya pada 1979 cenderung menganggap penurunan jumlah itu bukan karena penangkapan berlebihan yang dilakukan nelayan Lamalera. ”Itu mungkin berhubungan dengan pola meteorologis dan dinamika populasi. Tidak ada hubungannya dengan penangkapan yang berlebihan,” tulisnya.
Dia menduga penurunan jumlah paus pada 1970-an dan 1980-an berhubungan dengan kapal bermotor dan senjata penembak paus yang justru digunakan dalam sebuah proyek Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) di sana pada pertengahan 1970-an. Faktor lain, kata Barnes, adalah pendidikan modern. Dulu anak-anak sudah dilatih menjadi penangkap paus, tapi kini sebagian besar waktu mereka habis di sekolah.
Festival Baleo, yang digelar pertama kali pada Oktober 2009, diadakan untuk menegaskan bahwa budaya berburu paus dan ikan laut lainnya merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat yang patut dipertahankan. Warga Lamalera sudah turun-temurun punya tradisi menangkap paus, yang mereka sebut koteklema. ”Festival ini untuk membuat gerakan kebudayaan tentang identitas Lamalera yang perlu dimiliki orang-orang muda dan menjadi kebanggaan mereka. Supaya budaya ini tidak hilang begitu saja,” kata Bona pekan lalu.
Penegasan ini perlu dilakukan karena belakangan ini pemerintah berencana mengkonservasi Laut Sawu. Sejak 2008 pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature (WWF) telah gencar mengkampanyekan ini. Salah satu alasannya, data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata menunjukkan bahwa selama 22 tahun ada sekitar 475 paus yang ditangkap. Padahal kemampuan perkembangbiakan paus sperma tergolong lambat. Paus ini baru bisa berkembang biak setelah usia 20 tahun dan usia hidupnya sekitar 77 tahun. Departemen Kelautan dan Perikanan kemudian mendeklarasikan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Word Ocean Conference di Manado pada Mei 2009.
Deklarasi itu memicu kemarahan warga Lamalera. ”Kami tetap menolak konservasi, karena kami tidak mau menjual laut di depan ini. Karena itu, kami usir WWF dari Lamalera,” kata Benediktus Blikololong, salah satu kepala suku Lamalera.
Menurut mereka, konservasi itu akan membatasi warga Lamalera berburu paus. ”Mereka akan pagari itu laut. Kalau paus lari ke situ, tentunya kami tidak bisa berburu ke lokasi itu,” kata Benediktus.
Perwakilan WWF di Lembata, Dwi Arioyoga Gautama, mengatakan bahwa tujuan WWF di Lembata membentuk suatu kawasan konservasi, yang meliputi terumbu karang, bakau, dan perikanan. Untuk jenis spesies seperti paus, kata dia, konservasinya menggunakan hukum internasional, tapi ada beberapa daerah yang diperbolehkan menangkap paus dengan pertimbangan budaya. ”Warga Lamalera tidak dilarang oleh hukum internasional untuk menangkap paus, karena budayanya,” katanya.
Namun sejak 2009 WWF diusir oleh warga Lamalera dan tidak diberi kesempatan berbicara di desa itu. ”Jika menolak, silakan buat surat resmi,” kata Dwi.
Konservasi ini, kata Dwi, sangat mendesak untuk dilakukan, karena Nusa Tenggara Timur terdiri atas selat-selat dan maraknya pengeboman ikan serta penggunaan pukat harimau. ”Kami menjaga agar potensi yang masih dijaga dengan baik di Lembata tetap baik, walaupun terumbu karang banyak yang rusak,” katanya. Dengan adanya konservasi, keanekaragaman hayati di Lembata akan terjaga dan perikanan nelayan terus berlanjut hingga puluhan tahun ke depan. Apalagi perairan Lembata adalah jalur migrasi ikan seperti paus, lumba-lumba, dan duyung.
Selain deklarasi itu, pemerintah daerah hendak menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Laut Sawu. Wakil Bupati Lembata, Andreas Liliweri, mengatakan penolakan warga itu menunjukkan masyarakat Lamalera sudah tidak lagi membutuhkan pemerintah. ”Mereka tidak butuh bantuan pemerintah. Sejak dulu mereka hidup tanpa pemerintah,” kata Andreas, mengutip nada sinis warga Lamalera terhadap pemerintah.
Namun Andreas yakin lambat-laun budaya warga Lamalera menangkap paus akan hilang dengan sendirinya. Tanda-tanda itu, kata dia, sudah ada, karena lamafa dan matros (pendayung) pledang rata-rata sudah tua. Regenerasi perburuan paus hampir sama sekali tidak ada, karena anak-anak mereka kebanyakan disekolahkan di luar Lamalera. ”Suatu saat budaya ini akan hilang, karena tidak ada penggantinya,” katanya.
Bona membantahnya. ”Jumlah penangkap paus masih stabil. Anak mudanya masih banyak. Tapi kadang mereka kini berlayar pakai celana jins. Kalau saya lihat, saya tegur,” katanya.
Jumlah penduduk, kata Bona, juga tak banyak berubah. Separuh penduduk memang pindah ke daerah lain atau merantau. ”Yang sedikit menyenangkan hati saya, sebagian yang sudah keluar dan jadi sarjana itu mau kembali jadi nelayan,” katanya.
Penolakan itu membuat pemerintah melunak. Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian menyatakan bahwa deklarasi itu tidak memasukkan perairan Laut Lembata dan sekitarnya, sehingga kawasan konservasi itu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek, dan sekitarnya.
Namun, berapa lama sikap pemerintah ini bertahan? M. Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Kiara, mengingatkan bahwa Indonesia turut mendukung Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (CTI), yang meliputi kawasan yang kaya terumbu karang di enam negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Salomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Pemerintah juga sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, yang juga memuat soal hak pengusahaan perairan pesisir.
”Saya melihat ada kepentingan yang lebih besar di sini. Aturan-aturan itu merupakan langkah untuk melakukan privatisasi wilayah perairan,” kata Riza. Tanda-tanda ke arah itu sudah tampak, kata dia, seperti banyaknya penjualan pulau ke pihak swasta.
Konservasi di Laut Sawu, kata Ricard Damanik, Ketua Kiara, bakal menghapus kearifan lokal menangkap ikan secara tradisional yang ramah lingkungan. Konservasi versi pemerintah, kata dia, sifatnya statis. Padahal aturan masyarakat sangat dinamis, karena penangkapan paus tidak dilakukan setiap hari, hanya pada Mei-Oktober.
Untuk mengegolkan konservasi itu, pemerintah pun mencari alasan bahwa paus terancam punah karena eksploitasi ikan secara berlebihan. ”Ini alasan yang dipaksakan oleh pemerintah. Eksploitasi itu bukan dilakukan oleh masyarakat Lamalera, tapi oleh para pendatang dan industri ikan. Juga karena kegagalan negara menjaga sumber ikan dari pencuri ikan asing,” katanya.
Menurut Ricard, masyarakat Lamalera sejak ratusan tahun lalu sebenarnya sudah menerapkan nilai-nilai konservasi, walaupun mereka tak menyebutnya demikian. Warga Lamalera menyebutnya tradisi Baleo. Konservasi, menurut dia, merupakan upaya untuk industrialisasi atau lahan bisnis baru. Instrumen konservasi sudah disalahartikan untuk kegiatan yang sifatnya eksploitasi, seperti industri pariwisata dan pertambangan. ”Konservasi secara terminologi tidak salah, tapi prakteknya selalu salah, karena diikuti dengan kegiatan lainnya,” katanya.
Sejak kapan tradisi menangkap paus itu berawal? Sukar dipastikan. Dalam bukunya, Barnes menyebut catatan Portugis—yang menyatakan adanya penangkapan paus pada 1643—sebagai catatan terawal mengenai tradisi ini.
Nelayan Lamalera menangkap paus secara tradisional dengan kapal kayu tak bermesin. Talinya pun dibuat sendiri dari rajutan daun pohon gebang dan serat batang waru. Menurut Bona, mereka hanya menangkap paus sperma, bukan paus lain. Bahkan, bila bertemu paus biru (Balaenoptera musculus), binatang terbesar yang masih hidup hingga kini, mereka justru menggiringnya ke perairan lepas. ”Kami menghormati paus biru, karena ada legenda bahwa dulu paus raksasa itu menyelamatkan Lamalera,” kata Bona, yang sudah ikut menangkap paus sejak usia 12 tahun.
Warga Lamalera juga hanya menangkap paus secukupnya. Setiap paus yang ditangkap akan dibagi untuk semua warga desa. Lamafa menangkap paus juga dengan niat membantu fakir miskin, janda, dan anak-anak yang menanti mereka di darat. Niat itu terucapkan dalam syair-syair laut yang mereka nyanyikan pada saat berkayuh. ”Bila mereka pulang dengan tangan hampa, kami tetap bersyukur karena yakin bahwa besok paus pasti akan datang,” kata Bona.
Kehidupan masyarakat Lamalera sangat bergantung pada paus. Di luar itu mereka hanya menangkap ikan berukuran besar, seperti lumba-lumba dan pari. Karena tidak menangkap ikan kecil seperti kombong dan tongkol, mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli ikan kecil yang dijual oleh warga Desa Wulandoni di daerah lain.
Paus yang ditangkap dibarter dengan barang kebutuhan mereka, seperti jagung dan beras. Sedangkan sisanya dijual untuk membiayai sekolah anak dan kebutuhan lainnya. Abel Beding, 56 tahun, misalnya, menyekolahkan anaknya, Rafel Beding, hingga sarjana hanya dengan menjual daging paus. ”Sebagian daging paus kami jual untuk biaya sekolah anak. Setelah usai kuliah, anak yang akan membangun rumah untuk orang tua,” katanya.
Salah satu tetua adat di Desa Lamalera itu juga memiliki satu pledang untuk berburu paus. Namun pledang itu sedang rusak akibat amukan paus ketika melakukan perburuan pada Juni lalu. ”Saya mau menangis melihat pledang yang rusak akibat amukan paus,” kata Rafel Beding, 34 tahun.
Pledang itu sumber kehidupan keluarganya. Jika pledang rusak, kehidupan keluarga Beding pun terganggu. ”Kami hidup dari paus sejak nenek moyang kami, sehingga pledang itu adalah napas kehidupan kami,” katanya.
Hasil dari penangkapan satu ekor paus bisa memenuhi kebutuhan hidup semua warga Lamalera selama sebulan. Sebagian kulit paus biasanya mereka jemur untuk nanti dijual ke masyarakat di pegunungan atau wisatawan yang berkunjung ke desa tersebut.
Yoseph Keraf, 50 tahun, warga Lamalera yang juga saudagar pledang Menu Lablolo, juga bergantung pada paus. Dia tak punya pekerjaan lain selain memelihara pledang yang digunakan suku Keraf untuk berburu paus.
Rumah Yoseph Keraf pun sangat sederhana, hanya berdinding bebak dan beratap seng. Setiap hari Yos, panggilan akrabnya, selalu mengecek pledang yang ditambatkan di naje (hanggar perahu) di tepi pantai. ”Pledang harus selalu siap, sehingga jika warga teriak ’Baleo! Baleo!’, pledang sudah siap untuk lakukan penangkapan paus,” katanya.
Tidak jauh beda dengan Abel Beding, Yoseph juga membiayai sekolah anaknya di Jawa dari hasil tangkapan paus. Sisanya untuk kebutuhan hidup rumah tangganya dan biaya operasional pledang. Tak semua anaknya bersekolah di Jawa, karena ada beberapa anak yang mengurus pledang.
Penangkapan paus oleh warga Lamalera menggunakan sistem gotong-royong sehingga hasil tangkapan pun dibagikan kepada warga di desa tersebut dengan sistem pembagian yang telah ditetapkan sejak nenek moyang dulu.
Tradisi Baleo, kata Riza, melahirkan tradisi pembudidayaan ikan yang ramah terhadap lingkungan. Ikan yang ditangkap itu untuk satu kampung, bukan untuk satu orang, sehingga ramah secara sosial. Di sisi lain, kata dia, ada nilai-nilai tertentu di situ, seperti laut adalah mama (ibu). ”Secara filosofis, dia yang menjaga dan melindungi masyarakat. Tidak mungkin seorang anak mengotori laut, karena itu sama saja dengan membunuh ibunya sendiri,” katanya.
Kurniawan, Pramono, Yohanes Seo (Lamalera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo