Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMA-SAMA divonis bersalah di pengadilan banding, tapi beda di tingkat Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Badan Kehormatan Rakyat Nusa Tenggara Barat meradang. Lembaga swadaya masyarakat ini menuding ”sesuatu” terjadi di lembaga yang dijuluki benteng terakhir peradilan itu.
Juni lalu, majelis kasasi Mahkamah Agung membebaskan Sunardi Ayub, bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat. Putusan ini berbeda dengan putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya memutusnya hukuman lima tahun penjara. Putusan ini jauh berbeda dengan yang diterima rekan senasib Sunardi, bekas Ketua DPRD dan bekas Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu Serinata, yang divonis majelis kasasi hukuman tiga tahun penjara.
Sebelumnya, bersama 54 anggota DPRD Nusa Tenggara Barat lainnya, keduanya diduga melakukan korupsi anggaran belanja daerah 2001-2002 Rp 17,5 miliar. Modus korupsi berjemaah itu dilakukan dengan menggelembungkan anggaran, semacam biaya operasional, asuransi, hingga dana purnabakti. Masing-masing anggota diduga meraup dana itu Rp 300 juta.
Bau amis ini tercium Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kejaksaan turun tangan dan 18 anggota panitia anggaran diperiksa. Dari jumlah itu, sebelas masuk pengadilan, di antaranya Sunardi Ayub selaku anggota panitia anggaran dan Lalu Serinata yang saat itu sebagai Ketua DPRD.
Di pengadilan tingkat pertama, hakim membebaskan Sunardi dan sebelas anggota panitia anggaran lainnya. Menurut hakim, dakwaan jaksa lemah dan tidak menyertakan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan. Hakim juga menilai putusan panitia anggaran DPRD tidak final, masih harus disetujui panitia anggaran eksekutif. Tapi di tingkat banding, putusan hakim lain lagi. Pengadilan Tinggi memvonis Sunardi lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Lalu Serinata juga tak lolos dari jerat hukum. Pada pengadilan tingkat pertama, hakim memvonisnya lima tahun penjara. Di tingkat banding, hukumannya dikorting jadi tiga tahun. Sunardi dan Serinata sama-sama mengajukan permohonan kasasi. Di sinilah perbedaan itu muncul. Kasasi Lalu Serinata ditolak. Bekas Gubernur Nusa Tenggara Barat ini sempat mendekam di penjara sebelum jadi tahanan kota lantaran sakit. ”Majelis kasasi membebaskan Sunardi karena, kendati terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, perbuatan itu sendiri bukan tindak pidana,” kata juru bicara Pengadilan Negeri Mataram, Setyawan Hermawan.
Bebasnya Sunardi inilah yang tidak diterima sejumlah aktivis antikorupsi di Mataram yang menamakan diri Badan Kehormatan Rakyat Nusa Tenggara Barat. Soalnya, sebelumnya di website Mahkamah tertulis kasasi Sunardi ditolak. ”Kami melihat ada kejanggalan dalam kasus ini,” kata salah satu aktivis Badan Kehormatan, Mesir. Menurut Mesir, sejumlah anggota Badan sudah mendatangi Mahkamah Agung mempertanyakan putusan yang membebaskan Sunardi.
Di sana, misalnya, mereka menemui panitera majelis yang menyidangkan kasus Sunardi. ”Tapi petugas arsip dan panitera menolak memperlihatkan berkas aslinya,” ujar Mesir. Saat didesak, ujarnya, petugas hanya menyodorkan salinan putusan. Menurut Mesir, salinan itu janggal. ”Karena hanya berupa printout komputer, tanpa tanda tangan dan paraf hakim lazimnya putusan.”
Saat didesak, ujar Mesir, panitera beralasan berkas asli telah dikirim ke Mataram. Aktivis Badan lalu mendatangi Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat. Di sini, kata dia, mereka mendapat salinan putusan kasasi terhadap Sunardi yang dikabulkan. Berlawanan dengan data website Mahkamah Agung yang sebelumnya sempat menyatakan menolak permohonan kasasi Sunardi.
Selain status putusan yang bertolak belakang, tanggal putusan berbeda. Sementara dalam website disebut perkara diputus 9 Januari 2008, dalam salinan petikan putusan yang dikirim ke Pengadilan Negeri Mataram perkara diputus pada 24 Juni 2008. Amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Sunardi Ayub dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Mataram.
Kejanggalan ini juga sudah dipertanyakan Badan Kehormatan ke Mahkamah Agung lewat surat yang mereka kirim ke Ketua Mahkamah Harifin A. Tumpa. Tapi hingga kini surat itu tak berjawab. Menurut Mesir, setiap kali utusan Badan mempertanyakan soal ini ke Mahkamah, pihak Mahkamah hanya menjawab perkara ini hendaknya ditanyakan ke Kejaksaan Negeri Mataram.
Menurut Mesir, yang membuat pihaknya heran, saat kasus ini mereka ributkan, status kasasi Sunardi di website Mahkamah Agung langsung berubah. Sementara sebelumnya ”ditolak”, kini berubah menjadi ”kabul”.
Mesir menduga terjadi manipulasi terhadap perkara ini. Ia menduga bisa saja putusan hakim tidak sama dengan putusan yang dikirim ke pengadilan di tingkat bawah. ”Indikasinya jelas, tanggal putusan tidak sama satu sama lain,” katanya. Selain itu, kata dia, ada keganjilan lain. Pada surat Mahkamah Agung yang dikirimkan ke Pengadilan Negeri Mataram, tercantum tembusannya kepada Kepala Rumah Tahanan Negara. Ini, menurut dia, tidak lazim. ”Jadi sepertinya pembuat surat copy-paste surat untuk putusan yang ditolak, hanya dia lupa menghapus tembusan yang tidak perlu,” ujar Mesir. Mesir sudah mengadukan keganjilan ini kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Yudisial.
Benarkah surat yang dikirim ke Mataram itu tidak asli? ”Intinya, ini putusan Mahkamah Agung. Jangan dibilang asli atau tidak,” kata Setyawan Hermawan, juru bicara Pengadilan Negeri Mataram. Hal serupa dinyatakan Kepala Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Sugiyanta. ”Saya tak bisa menjelaskan asli atau tidaknya,” katanya. Yang pasti, ujarnya, bebasnya sebelas bekas anggota DPRD itu karena mereka dilindungi peraturan pemerintah yang mengatur hak DPRD menentukan anggaran. ”Perbuatan mereka dinyatakan sah,” ujarnya, Kamis pekan lalu.
Kamis pekan lalu, Tempo menghubungi mantan hakim agung Iskandar Kamil, ketua majelis hakim kasasi kasus Sunardi. Saat ditanya apakah dulu ia menolak atau menerima permohonan kasasi Sunardi, Iskandar Kamil tak bisa menjawab. Ia mengaku lupa. Dia meminta penelusuran dilakukan ke Mahkamah Agung. ”Semua berita acara dan berkas disimpan di sana.”
Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menyatakan, jika ada perbedaan antara putusan yang dikirim dan putusan yang diumumkan lewat website, patokan yang diambil salinan putusan yang dikirim Mahkamah lewat pengadilan. ”Karena website bisa saja salah,” katanya.
Adanya perbedaan putusan antara terdakwa yang satu dan lainnya dalam perkara yang sama, ujar Djoko, bisa saja terjadi karena majelisnya berbeda. Menurut Djoko, jika pihak beperkara merasa tidak puas terhadap putusan kasasi, masih ada upaya mengajukan peninjauan kembali. Kuasa hukum Lalu Serinata, Totok Ismono, memastikan akan mengajukan peninjauan kembali atas perkara kliennya.
Sunardi Ayub sendiri menilai tudingan ketidakbenaran putusan Mahkamah Agung mengada-ada. Ia telah meminta pengacaranya mencari bukti jika ada copy putusan palsu tersebut untuk diadukan ke polisi. ”Sifatnya sudah politis, sudah merendahkan diri saya,” katanya. Menurut Sunardi, semua ini dimunculkan untuk membunuh karakter dirinya.
Mesir sendiri membantah jika dikatakan semua ini dilakukan untuk menjebloskan Sunardi ke penjara. ”Kami bergerak karena ada pengaduan. Kami hanya minta klarifikasi supaya tidak ada keraguan pada masyarakat Nusa Tenggara Barat,” katanya.
Ramidi, Supriyantho Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo