Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah malam, terdengar langkah tergesa yang menyeruak gelap. Wajah Severus Snape (Alan Rickman) muncul. Dia si pengkhianat, yang di lima novel Harry Potter posisinya tak pernah jelas. Dan pada novel dan film keenam, barulah kita melihat, bahkan Dumbledore—sang penyihir terkemuka—bisa naif dan terlalu percaya kepada penyihir yang salah. Kini tak ada keraguan lagi, dalam episode ini, Snape sang mata-mata Lord Voldemort yang malam itu tengah mengadakan pertemuan dengan anak buahnya. Agenda pertemuan: memburu Harry Potter. ”Dia adalah bagianku,” kata Lord Voldemort (Ralph Fiennes) ketika Bellatrix Lestrange (Helena Bonham-Carter) mengungkapkan kegairahannya untuk membunuh penyihir yang kini sudah menanjak dewasa itu.
Dunia Hogwarts dan dunia sihir sudah berubah gelap. Sejak tewasnya kepala sekolah Hogwarts, Albus Dumbledore, penyihir terkemuka dan pelindung Harry Potter, runtuhlah segala rasa aman. Menteri Sihir Rufus Scrimgeour (Bill Nighy) mengumumkan secara resmi bahwa bahaya ada di setiap sudut. Sekolah Hogwarts ataupun Kementerian Sihir kini sudah dikuasai Lord Voldemort dan antek-anteknya. Artinya, para ”manusia biasa” (yang dihina sebagai ”mudblood”) atau para pemberontak anti-Voldemort akan segera tewas. Kehidupan dihantui rasa waswas, karena setiap hari ada saja pengumuman daftar mereka yang ”hilang” atau tewas.
Dan ketegangan itulah yang kita rasakan sepanjang film. Perjalanan trio Harry-Ron-Hermione mencari lima dari tujuh ajimat Horcrux—yang merupakan belahan jiwa Voldemort yang menyebabkan penyihir jahat ini imortal—adalah perjuangan mereka menyelamatkan umat penyihir (dan manusia).
Episode ketujuh seri Harry Potter yang terbagi dua ini sudah dinanti-nanti dengan harap cemas oleh para penggemar novel dan filmnya. Inilah saat-saat kita akan berpisah dengan dunia yang sudah mengguncang dunia imajinasi kita selama bertahun-tahun. Sutradara David Yates kini langsung terjun pada pokok persoalan; tanpa perkenalan, tak peduli penontonnya pasti ada yang belum pernah membaca atau menyaksikan seri sebelumnya. Kali ini bagian pertama (dan kedua) Harry Potter and the Deathly Hallows langsung menggunakan bahasa Potter yang hanya akan dipahami oleh para pengikutnya. Ketiga remaja di awal film mengucapkan selamat tinggal (sementara) pada rumah dan keluarganya. Harry memandang keluarga paman dan bibinya yang tergesa mengungsi. Hermione menyihir orang tuanya agar mereka lupa akan dirinya sesaat. Adegan yang menyayat sekaligus mendebarkan.
Yates tak lupa humor. Agar Harry Potter bisa dipindahkan tanpa gangguan, tokoh Mad-Eye Moody (Brendan Gleeson) memberikan cairan polyjuice kepada rekan-rekannya sesama Order of the Phoenix agar mereka semua berubah bentuk menjadi Harry Potter untuk mengelabui musuh. Maka kita melihat tujuh orang Harry Potter terbang membelah angkasa London menuju rumah keluarga Weasley. Untuk 20 menit pertama saja, dengan kejam, tanpa ampun Yates sudah menjatuhkan korban (ya, Saudara-saudara, pada episode ini dan yang terakhir, kalau Anda pembaca novelnya, Anda sudah tahu: korban akan semakin banyak). Kita seperti dihadapkan pada sebuah persiapan perang mahabesar yang merobek hati.
Pesta perkawinan abang Ron, Bill Weasley, dan Fleur (bidadari yang kita kenal pada episode Harry Potter and the Goblet of Fire) diwarnai keprihatinan. Pesta itu tetap diadakan karena mereka ingin mencoba berbahagia di antara rasa waswas dan sedih. Di antara puluhan tamu, Harry tetap menemukan banyak tanda ganjil yang kelak membuka jalan untuk membasmi Voldemort. Kalung yang dikenakan ayah Luna Lovegood, Xenophilius Lovegood (Rhys Ifans), dan kisah Elphias Doge, penulis obituari Dumbledore yang mengungkap masa kecil Dumbledore yang tak diketahui banyak orang, perlahan terbentuk. Pada saat itulah terjadi penyerangan hebat. Kali ini trio Harry-Ron-Hermione tak lagi bisa mengucapkan pamit. Mereka langsung menyelinap (dengan ilmu apparate) dan tiba-tiba saja sudah menyembul di tengah Kota London yang ramai.
Sejak itu, hidup trio remaja ini seperti buron yang dikejar-kejar aparat yang keji. Bahkan di kafe yang sepi, dengan sigap mata Harry bisa melihat gerak-gerik tangan penyihir anak buah Voldemort. Pertempuran segera berlangsung. Di setiap pojok Kota London, mereka diburu. Apa daya, mereka harus mencari Horcrux sialan itu. Ada di mana? Di Kementerian Sihir.
Berdasarkan analisis Hermione si kutu buku dan temuan kode-kode serta warisan Dumbledore kepada mereka, akhirnya ketiganya nekat mengubah diri menjadi tiga penyihir dari Kementerian Sihir—untuk menyelinap dan merebut Horcrux yang tengah dikenakan Dolores Umbridge.
Di sinilah film Harry Potter mencapai salah satu titik tegang tertinggi. Ketiganya menyamar. Kita berdebar karena identitas mereka akan mudah terungkap. Bukankah mereka berada di sarang penyihir jahat? Apakah mereka berhasil mendapatkan kalung Horcrux yang berisi salah satu helai jiwa Voldemort?
Meskipun sudah berhasil mencengkeram kalung itu, trio penyihir muda ini harus bersembunyi di hutan dan bergerak secara gerilya (gaya penyihir). Artinya, Hermione menggunakan aji-aji untuk melindungi diri dari penglihatan ”mata biasa”, agar siapa saja yang lewat tak bisa melihat kemah mereka di tengah hutan. Periode di hutan dan pinggir pantai inilah yang mungkin membuat para penonton agak ”lelah”. Inilah fase persahabatan ketiga sahabat ini ditantang.
Kita sudah terbiasa menyaksikan mereka diselimuti tembok perlindungan sekolah Hogwarts dan dahsyatnya kesaktian Dumbledore. Kini mereka seperti anak yatim yang terpaksa mandiri dan dibebani tugas menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kegelapan. Gara-gara kalung berisi sehelai Horcrux yang mereka bawa ke mana-mana, terjadilah pertengkaran hebat antara Ron dan Harry. Kita sudah telanjur tahu mereka sahabat sejati. Mereka bertengkar hebat dan berpisah.
Adegan kasih sayang persahabatan yang semakin erat antara Hermione dan Harry serta adegan dansa yang jenaka sekaligus pedih memperlihatkan akhirnya mereka sudah menjadi aktor yang sesungguhnya (ingat betapa kaku dan datarnya akting mereka pada Harry Potter pertama dan kedua). David Yates sudah berhasil mengeluarkan sinar tiga aktor ini, terutama Rupert Grint, pemeran Ron Weasley.
Bangunan emosi persahabatan pada paruh kedua film ini—yang mungkin membosankan bagi mereka yang menunggu adegan pertempuran—diwarnai adegan animasi yang unik. Hermione membacakan dongeng tiga abang-adik yang mencari tiga kesaktian sebelum kematian datang. Diiringi suara Hermione, dongeng ini disajikan dalam bentuk serangkaian animasi yang gelap dan purba. Ini salah satu bagian terbaik. Bukan saja membuka kode-kode yang mereka cari, visualisasi itu memang hanya bisa terjadi di dalam film.
Seperti juga kisah-kisah perang besar di dunia, katakanlah Bharatayuda, bagian awal selalu memunculkan pertempuran dengan para pemegang ujung tombak. Jadi jangan berharap perang fisik antara Harry dan Voldemort sudah terjadi. Sabarlah. Itu disimpan untuk babak akhir. Tapi, sebagaimana biasa, J.K. Rowling memang merasa harus kejam. Orang baik bertumbangan menjadi korban. Harry semakin pecah hatinya. Harus berapa orang lagi yang tewas sebelum akhirnya dia bisa menghajar makhluk terjahat di dunia yang bernama Voldemort itu?
Pertemuan trio muda melawan penyihir psikopat Bellatrix Lestrange adalah salah satu adegan terkeji (dan itulah sebabnya film ini bukan lagi film anak-anak). Adegan penyiksaan yang sebetulnya tak terlalu grafis ini tetap saja menimbulkan imaji yang hitam dan melahirkan trauma.
Film Harry Potter and the Deathly Hallows (bagian pertama) ini memang sebuah persiapan menuju perang besar dan titik akhir. Di antara persiapan itu terjadi beberapa pertempuran yang menyebabkan kematian, kerusakan tubuh, terkikisnya persahabatan, dan (yang paling mengharukan) sentuhan dengan sejarah: pertemuan Harry dengan makam orang tuanya.
Pada bagian ini, kita melihat sisi ”kemanusiaan” para penyihir hebat itu: hati yang pecah berkeping dan upaya penyusuran identitas diri. Juli tahun depan, kita sudah harus bersiap mengucapkan selamat tinggal kepada dunia Harry Potter. Selamanya.
Leila S. Chudori
Harry Potter and the Deathly Hallows (Part 1)
Sutradara: David Yates
Skenario: Steve Kloves, berdasarkan novel karya J.K. Rowling
Pemain: Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Ralph Fiennes, Bill Nighy, Imelda Staunton
Produksi: Warner Bros
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo