Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

OJK Vs Cara Pandang Parsial

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poltak Hotradero Pengamat keuangan dan pasar modal

Di Indonesia tak ada yang lebih mengundang kontroversi ketimbang masalah uang dan kekuasaan. Kira-kira hal ini jugalah yang selalu muncul ketika kita mencermati rencana pembentukan badan yang bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lembaga yang seharusnya sudah terbentuk selambat-lambatnya akhir tahun 2002 itu sampai sekarang belum juga terwujud, karena masih dipenuhi berbagai silang pendapat menyangkut kekuasaan yang akan dimilikinya. Hal yang paling umum diungkapkan adalah bagaimana badan ini akan memiliki kendali terhadap pengawasan dan perizinan perbankan nasional, yang per Maret 2003 memiliki total aset Rp 1.100 triliun.

Sedemikian gemuruhnya pro-kontra pembahasan tentang OJK dalam kaitannya dengan bisnis perbankan, hingga nyaris luput dari perhatian kita bahwa fungsi badan ini bukan semata menyangkut perbankan. Ada banyak sektor keuangan lain yang sebenarnya juga masuk dalam lingkup kewenangannya dan memiliki tingkat urgensi tinggi untuk diperhatikan, ditangani, dan diawasi, karena juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem keuangan.

Dana pensiun adalah sebuah contoh. Selain belum adanya sistem jaminan sosial berskala nasional, pengelolaan dana pensiun di Indonesia masih terpisah-pisah, bahkan juga dalam soal pertanggungjawaban. Tengok saja. Jamsostek bertanggung jawab kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Taspen kepada Menteri Keuangan, sedangkan Asabri (Asuransi Sosial ABRI) kepada Menteri Pertahanan. Jelas sulit melihat bakal adanya koordinasi dari tiga meja berbeda untuk urusan yang sama, terlebih lagi dalam soal pengawasan.

Di luar masalah administrasi, sistem pengelolaan dana pensiun juga cukup mengkhawatirkan. Menurut laporan Bank Pembangunan Asia, Taspen diperkirakan mengalami defisit Rp 342 triliun. Angka tersebut belum termasuk tekornya Asabri Rp 38,3 triliun. Artinya, peningkatan kesejahteraan pegawai dan tentara akan selalu terhambat oleh beban dana pensiun yang sedemikian berat ini.

Selain pensiun, asuransi juga meminta perhatian cukup besar. Peningkatan aset dana asuransi nasional (baik asuransi jiwa maupun bukan) telah meningkat tiga kali lipat lebih dalam kurun waktu lima tahun terakhir, hingga mencapai posisi Rp 39,9 triliun pada akhir tahun 2001.

Masalahnya, peningkatan ini belum diiringi dengan manajemen risiko yang memadai. Direktorat Asuransi Departemen Keuangan mengindikasikan, terdapat 25 perusahaan asuransi jiwa yang memiliki negative solvency margin, suatu keadaan ketika sebuah perusahaan asuransi tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi komitmennya terhadap para pemegang polis. Tentu saja keadaan ini membawa risiko yang serius. Mengingat besaran pertumbuhan premi asuransi di Indonesia yang sangat pesat, terus mendiamkan gejala mengkhawatirkan ini sama saja kita hanya menunggu sebuah bom waktu yang terus berdetak.

Di luar faktor ancaman di atas, hanya karena belum kunjung terbentuknya OJK sebagai badan yang khusus menangani hal-hal tersebut, industri keuangan juga telah kehilangan potensi stimulus ekonomi yang bisa meningkatkan perekonomian rakyat. Sebagai contoh, bagian terbesar pembiayaan perumahan saat ini masih berasal dari perbankan. Sedangkan di negara lain, pendanaannya telah berasal dari pasar modal melalui pasar sekunder house mortgage. Pasar sekunder ini bukan hanya menyediakan pendanaan murah perumahan, tapi juga berfungsi menurunkan risiko likuiditas perbankan dalam penyaluran kredit perumahan. Tanpa pendekatan satu meja, kita akan sulit melihat terwujudnya pasar sekunder pendanaan kredit rumah.

Selain itu, masih banyak lagi bagian sektor keuangan yang memerlukan pengawasan terkonsentrasi, ketimbang terpecah-pecah ke beberapa bagian, tak terkoordinasi, dan bersifat parsial. Perusahaan pendanaan, pasar modal, dan dana ventura merupakan bidang yang memerlukan koordinasi dalam pengawasan dan perizinan yang lebih baik ketimbang keadaan sekarang. Kita membutuhkan pola pandang holistik dalam mengurus keuangan.

Pengalaman kita dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selama lima tahun terakhir sudah membuktikan, cara pandang parsial dalam membenahi sektor keuangan sangatlah berbahaya. Menyehatkan perbankan, tanpa juga memulihkan ekonomi nasional, hanya akan menghasilkan ongkos yang teramat mahal: hilangnya kepercayaan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus