DI Dukuh Sigundul, Kabupaten Batang, Ja-Teng, sudah biasa penduduk menyimpan tembakau di atas tungku. Maksudnya jelas: sambil berdiang, tembakau kering. Maklum, ini desa di pegunungan -- dingin, mek. Mbah Darmo, 63, adalah salah seorang yang berpikiran lebih praktis: di sebelah tungku dibuatnya kandang kambing. Jadi, sambil berdiang, tembakau kering, kambing tidak kering tapi tetap terawasi. Awal November lalu, malam Jumat Pon, Simbah masih ngobrol di tungku itu ditemani empat orang, sambil mengisap-isap rokok klobot. Nah. Setitik api memercik dari tungku. Entah bagaimana, api itu melompat dari induknya dan menjilat gumpalan tembakau kering. Angin bertiup. Percikan api membesar. Tapi kelima orang itu masih juga asyik mengobrol dan merokok-rokok. Sampai kemudian tercium bau tembakau terbakar. Ributkah mereka? Eh, tidak. Tak seorang pun beranjak, termasuk Simbah. Kenapa, ya? "Mbah Darmo menyuruh kami membaca Surat Yasin bersama-sama," tutur Sardi salah seorang yang ikut kongko malam itu. Kendati mereka bertanya-tanya di dalam hati, perintah Simbah diturut juga. Entah berapa kali ayat-ayat suci itu dilafalkan dalam suasana khusyuk pengajian, tapi api terus juga menyala. Bahkan makin besar. Dan para tetangga pun bangun -- bukan lantaran Yasin, tapi lantaran jerit kambing-kambing yang kepanasan. Orang-orang segera memburu ke asal api, beramai-ramai menanggulangi kobaran itu. Sayang. Apa mau dikata. Tembakau dan 15 kambing, termasuk kandang mereka, hangus dan jadi arang. Kerugian ditaksir Rp 1,5 juta. Musibah itu tentu saja menggusarkan Simbah. Namun, yang membuatnya tak habis pikir Surat Yasin (yang memang tidak diturunkan sebagai pengganti kebutuhan air) ternyata tidak mempan membunuh api. Padahal, katanya, ketika terjadi kebakaran 41 desa tetangga tiga tahun lalu, dalam tempo singkat api meredup, setelah dibacakan Yasin di bawah pimpinan Kiai Mustajab. "Saya heran, mengapa sekarang api tidak mau mati. Padahal, kami membacanya dengan jiwa yang pasrah!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini