PUKUL lima pagi, Sukyatno Nugroho dapat ditemui di Pasar Minggu, bercelana pendek, berbelanja nangka, alpokat, dan kelapa muda. Mudah ditebak, komoditinya es teler. Pukul tujuh pagi, paling lambat, ia sudah berada di pusat jaringan tujuh kios telernya di belakang Gajah Mada Plaza. Ia sibuk mengawasi pembagian bahan belanjaannya, untuk dikirim ke kios-kios cabangnya. Lalu, tiba-tiba Sukyatno mengeluarkan mesin ketiknya. Ia memang tidak mempunyai kantor khusus. Tempat di belakang meja kasir tentu terlalu kecil untuk mengetik. Tetapi meja yang paling depan dari deretan meja-meja untuk makan es teler dan bakmi itu rupanya sudah merupakan meja kantornya. Keringat masih bercucuran, rambut masih acak-acakan. Ketak-ketik itu bukan untuk membuat laporan stok nangka atau alpokat. Ia mengetik suratnya. Tak jarang suratnya tiba di meja Menteri Emil Salim, Menteri Alamsyah, atau Gubernur R. Soeprapto. Anda tentu bertanya. Siapa, sih, Sukyatno itu? Ya, penjual es teler itulah. Tidak lebih. Tidak kurang. Dulu ia memang pernah jadi pemborong dan leveransir proyek-proyek pemerintah. Lalu bangkrut berat. Habis tandas. Dan masih pula terpuruk utang. Ia jadi pusing tujuh keliling ketika anaknya merengek minta uang sekolah. Lalu ia bangkit. Masa harus mati hanya karena kegagalan? Ia lalu memanfaatkan kepandaian adik iparnya di bidang tata rambut. Dua pucuk surat dilayangkannya kepada produsen kosmetik bayi dan anak-anak. Ia minta dibantu dana dan fasilitas guna mendirikan salon untuk anak-anak yang pertama di Indonesia. Berhasil, ternyata. Salon itu didirikan di Duta Merlin, yang ketika itu masih merupakan tempat belanja paling mewah di Jakarta. Tahun 1982, mertuanya memenangkan lomba es teler di Duta Merlin. Sukyatno lalu menyambar kesempatan itu. Segera didirikannya kios es teler di Duta Merlin itu juga. Tak tanggung-tanggung, ia memasang papan "Es Teler Juara Indonesia". Itu sah saja. "Karena baru sekali ada lomba semacam itu di Indonesia, dan kamilah pemenangnya," kata Sukyatno. Bukan perjalanan yang mudah. Tiba-tiba sewa tempat di Duta Merlin dinaikkan lima kali lipat. Sukyatno tak punya pilihan lain, kecuah pindah. Ia bahkan harus membongkar kiosnya dalam waktu yang sangat pendek. Pukul empat subuh barulah mereka selesai membongkar. Istrinya menangis dalam perjalanan pulang. Bukan karena kecapekan. Tapi putus asa. Untung, akhirnya ia menemukan tempat lain di sebelah Gajah Mada Plaza. Tetapi ketika kios es teler dan bakmi itu makin laris yang empunya tempat pun minta kenaikan sewa. Sepuluh kali lipat. Sukyatno haru pindah lagi. Kali ini ia tak mau terlunta-lunta lagi. Ia langsung membuka cabang-caban lain. "Supaya kalau tergusur lagi, kami tidak langsung mati," kiatnya. Dengan tujuh kios yang dimilikinya itu, sebetulnya sudah memenuhi syarat untuk menikmati hidup lebih baik. Tetapi itu ternyata tak dipilihnya. "Setiap bentuk kemewahan harus saya tunda," katanya. Mobilnya pun jip dari merk yang termurah. Baju kaus yang dipakainya sudah banyak berlubang kecipratan bara cengkih kreteknya. Lantas, dipakai untuk apa uangnya? Orang edan yang satu ini ternyata punya kegilaan tersendiri. Ia adalah orang yang paling getol menyelenggarakan berbagai macam lomba. Ia pernah menyelenggarakan lomba memanfaatkan barang bekas. Ia juga pernah menyelenggarakan lomba poster lingkungan hidup -- hal yang membuat nama dan fotonya dimuat dalam buletin PBB terbitan New York. Ia jugalah penyelenggara lomba melukis di atas kanvas yang terpanjang di dunia. Bila hingga deadline 1987 nanti belum ada pihak lain yang menumbangkan rekornya itu, prestasi Sukyatno sudah disepakati akan dimuat di Guinness Book of Records. "Saya bahkan pernah menyelenggarakan 19 lomba dalam seminggu," katanya. Mungkin, berkat es teler, ia tidak menjadi teler. Padahal, ia tak punya sekretaris ataupun asisten. Semua diselenggarakannya singlehandedly. Ada menteri yang menganjurkan agar ia membuat yayasan. Ia tak mau. "Kalau sudah jadi yayasan, malah tak akan jalan," katanya. Pertengahan Desember ini untuk kedua kalinya Sukyatno menyelenggarakan lomba membuat gado-gado. Pada lomba pertama dulu, keluar belasan juara. Semuanya juara, tak ada yang nomor dua. Semua mendapat hadiah Rp 25 ribu dan spanduk kecil bertuliskan "Juara Gado-Gado". Untuh apa? Agar orang itu bisa memulai usaha sebagai penjual gado-gado. Dengan spanduk juara terpampang, siapa yang tak berminat beli? Itu memang tujuan Sukyatno. Es teler telah mengentasnya dari kehancuran. Ia pun ingin mengentaskan orang-orang kesrakat untuk berdiri di atas kaki sendiri. Sekalipun sebagai penjual gado-gado. Tetapi dengan kebanggaan juara. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini