PROGRAM manajemen kini merupakan barang dagangan. Pekan silam, bertempat di Institut Manajemen Prasetiya Mulya (Jakarta), Universitas Parahyangan (Bandung) dan Universitas Petra (Surabaya), Erasmus Universiteit dari Rotterdam menjual program M.B.A. Program empat semester, yang ditawarkan berlangsung di Belanda, itu meminta biaya US$ 7.500 per semester -- di luar biaya makan dan penginapan. Tawaran dari Eropa itu, agaknya, muncul setelah minat orang mengejar titel M.B.A. di AS dan Australia menciut sejak devaluasi lalu. Namun, ada pula Indonesian European University (IEU), yang dilahirkan September lalu oleh Kadin Indonesia bekerja sama dengan European University, yang menjual program BBA dan M.B.A. dengan tarif hanya US$ 4.800 (sekitar Rp 7,5 juta). Tarif ini cukup murah dibandingkan program M.B.A. yang ditawarkan tiga lembaga pendidikan manajemen yang sudah berjalan lebih dulu, IMPM (Institut Manajemen Prasetiya Mulya), IPMI (Institut Pengembangan Manajemen Indonesia), dan IPPM (Institut Pendidikan & Pembinaan Manajemen). Ketiganya menjual program M.B.A. dengan tarif Rp 11 juta-Rp 12 juta. Apakah tarif banting harga seperti dilakukan IEU itu pertanda program M.B.A. kini mulai menjadi ajang bisnis? Kwiek Kian Gie pengamat ekonomi yang juga menjadi Direktur Dewan Guru IMPM, berpendapat demikian. Hal itu diakui juga Siswanto Sudomo dari IPMI. Titel M.B.A. memang tidak diakui pemerintah dan, tentu saja programnya tidak diatur pemerintah. "Ini merupakan peluang bagi orang-orang tertentu mencari untung secara tak bertanggung jawab," ujar Siswanto Sudomo. Sekarang ini, kabarnya, jumlah pendidikan M.B.A. sudah "diusahakan" delapan institut. IEU membantah disebut bersaing dengan membanting harga. Alasannya menawarkan tarif murah, menurut ketua yayasan yang mengelola IEU, Kemala Motik, tak lain untuk menyesuaikan kemampuan masyarakat yang ingin menjadi wiraswata. "Usaha kami memang kecil dibandingkan IPMI atau IMPM, tapi tidak berarti harus kalah mutu," ujar Nyonya Menteri Pemuda dan Olah Raga Abdul Gafur itu. Program di IEU diberikan dalam bahasa Inggris. Usaha pendidikan manajemen, menurut Nyonya Kemala, menuntut investasi besar tanpa mengharapkan keuntungan. Investasi yang telah ditanamkan untuk gedung IEU di Jalan Blora saja berikut peralatan, katanya, sekitar US$ 750.000. Itu belum termasuk perangkat lunak seperti dosen. Kampus IPMI pun telah menelan modal sekitar Rp 3,3 milyar hanya untuk gedung dan perangkat lunak. Sedangkan IPMI telah menanamkan sekitar Rp 4 milyar. Biaya operasi pun, konon, tidak bisa ditutup dengan penghasilan. IMPM, yang setiap tahun menampung 50 mahasiswa, menerima uang kuliah Rp 550 juta, sedangkan biaya operasi sekitar Rp 1 milyar. Defisit tentu saja harus ditanggung yayasan yang didirikan tokoh-tokoh seperti Bustanil Arifin dan Sukriya Atmaja dari Bulog, Ahmad Nurhani dari Grup Berdikari, serta para bankir, seperti James Riady, Omar Abdalla. IMPM, yang didirikan para pengusaha seperti Sudono Salim, William Soeryadjaya, Mendiang Panglaykim, dan Ciputra, ternyata juga masih merugi. Kwiek Kian Gie mengungkapkan bahwa tahun 1983 IMPM rugi Rp 700 juta, 1984 masih rugi Rp 500 juta, dan tahun silam juga masih tekor Rp 400 juta. Biaya paling banyak untuk membayar honor para pengajar. Sampai kapan akan merugi? "Semula kami menargetkan sudah bisa mandiri dalam tempo lima tahun. Tapi, melihat keadaan ekonomi sekarang, mungkin itu tidak akan tercapai," ujar salah seorang direktur IMPM, Leo Utama. Kendatipun ekonomi membaik, menurut Leo, kemungkinan IMPM harus terus hidup dengan bantuan. Tentu saja tidak dengan subsidi pemerintah. "Di luar negeri pun, lembaga-lembaga pendidikan manajemen umumnya harus hidup dengan bantuan perusahaan-perusahaan," kata Leo Utama lagi. "Karena kami menganggap lembaga ini untuk meningkatkan kualitas manusia, jagan bicara soal modal kembali," ujar Siswanto Sudomo dari IPMI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini