Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pertamina Dan Garam

Pertamina membantu pembangunan lapangan terbang sumenep, untuk kegiatan eksplorasi lepas pantai di masalembo. Sumenep merupakan pusat penggaraman yang produksinya lebih dari 150.000 ton/tahun. (dh)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR separuh dari biaya pembangunan lapangan terbang Sumenep yang Rp 69 juta lebih di antaranya Rp 30 juta diperoleh dari bantuan Pertamina. Adakah kepentingan Pertamina di daerah ini. Jawabnya: "memang betul", kata Bupati Soemar'oem dan Sekwilda R. Sami'uddin BA dengan kalimat yang sama kepada Anshari Thayib dari TEMPO, sehari setelah peresmian lapangan itu. Kepentingan itu, bahkan telah dimulai 10 tahun yang lalu, ketika mulai membangun perkampungan untuk kegiatan eksplorasi lepas pantai Indonesia Timur di Kepulauan Masa Lembu. Meski hasil eksplorasinya belum jelas, sebab "nampaknya amat dirahasiakan", kata Bupati Soemar'oem, namun Ibnu Sutowo bagai dikatakannya menyebut "akan jalan terus", tambah Soemar'oem. Agaknya, bukan hanya Masa Lembu saja yang dilirik Ibnu Sutowo. Beberapa tempat di kepulauan Kangean misalnya, "kemungkinan besar juga terdapat sumber minyak", tutur Gubernur Noer. Bahkan, kemungkinan juga berupa gas bumi. Namun, minyak telah meleleh di desa Paloklokan -- beberapa kilometer dari Sumenep. Di situ, terdapat "pipa bekas instalasi yang dipasang BPM sekitar tahun 1934 - 1938', tukasnya. Disamping pipa-pipa ukuran kecil, terdapat pula 6 pipa yang berlingkaran sebesar drum minyak pada jarak antara 250 m. Tapi, BPM tak keburu menghirup hasilnya karena pecah perang dunia ke II. Meski begitu, berharap dapat menghisapnya seusai perang, pipa-pipa itu disumbatnya dengan batu-batuan. Nampaknya, BPM yang mengendus banyak minyak di Sumenep tak berhenti di situ. Meskipun kemudian baru sempat memasang patok-patok yang ingin dibornya nanti. Patok-patok bertuliskan BPM itu, menurut Sekwilda terdapat pula di Batang-Batang, Batuputih serta Ambunten. Adakah bantuan lain yang diberikan Pertamina kepada Sumenep? "Sementara belum", jawab Bupati Soemar'oem, "sebetulnya saya menginginkan, tapi situasi Pertamina masih demikian saja sendiri tak sampai hati", tambah Soemar'oem pula. Makelar Agaknya menarik pula, karena ternyata Sumenep merupakan pusat pegaraman, baik oleh PN Garam, maupun rakyat. Malahan, PN Garam yang kini nemprodusir lebih dari 150 ribu ton setahun, merencanakan modernisasi pegaraman dengan areal 1000 hektar. Tentu saja, pelabuhan Kalianget yang kini ramai dilabuhi kapal-kapal yang mengangkut garam, bakal kecipratan diperbaiki pula. Lain halnya dengan garam rakyat, dulu nasibnya memang tak begitu beruntung. Apalagi setelah ada peraturan larangan membuat garam rakyat, yang kemudian dicabut dan diperbolehkan hanya pada radius 3 km dari wilayah PN Garam. Namun "sementara itu masih sulit dilaksanakan", kata Sekilda. Tapi, dengan modernisasi nanti mau tidak mau mereka mesti tergusur rapi, "sebetulnya tak menjadi soal" ata Sekwilda pula. Sebab, areal pegaraman rakyat bisa juga dipindahkan ke kepulauan Sepeken Giliraja atau Ra'as. Nyatanya potensi garam rakyat dengan produksi 50 - 100.000 ton setahun, cukup lumayan juga. Dulu, karena permainan tengkulak-tengkulak, harganya tak pernah melewati angka Rp 2 per kg. Melihat itu, Bupati Sumenep membentuk BUUD unit pegaraman rakyat. Tanpa kalimat monopoli, namun diharap seluruh pembelian dan penjualan garam rakyat lewat BUUD ini. Dengan memberi harga dasar yang lebih baik dari harga ketika itu, petani-petani garam terus mendapatkan harga yang kian membaik. Malahan, "kini bisa sampai Rp 20", kata Sekwilda. Akan halnya lahirnya BUUD garam ini, tak selancar yang diharap. Sebab, BUUD sendiri tak punya modal hingga terpaksa melakukan kontak penjualan, tak ada harga dasar dari pemerintah serta belum dikenalnya BUUD sendiri oleh masyarakat. Kontrak BUUD dengan kontraktor dilakukan dengan sistim lelang. Lelang pertama yang juga diikuti oleh PN Garam, nampaknya dimenangkan oleh CV Bagosari dengan harga tawaran Rp 9/kg. Meski ketika itu masih menunjuk harga yang baik, BUUD telah pasang kuda-kuda dengan membuat klausul "manakala ada kenaikan harga maka harga berikutnya sesuai dengan harga umum". Barangkali yang tak kebagian rejeki karena kalah dalam lelang, bisa saja menyebut itu sebagai monopoli. Memang tak bisa dibantah bahwa hasilnya belum 100% dirasakan oleh rakyat. Namun, setidak-tidaknya bak disebut oleh Bupati Soemar'oem, dengan BUUD ini petani garam rakyat bisa menikmati harga yang lebih baik. tak menjadi "bulan-bulanan cukong", katanya, pemda juga bisa mengkontrolnya. Mungkinkah tengkulak dan pengijon diberantas sama sekali? Barangkali tidak. Tapi, Sekwilda yang menirukan kalimat Gubernur Noer pernah bilang pada mereka -- petani-petani garam itu: "ambil saja, tapi tak usah kembalikan kemplang saja", katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus