HAMPIR separuh dari biaya pembangunan lapangan terbang Sumenep
yang Rp 69 juta lebih di antaranya Rp 30 juta diperoleh dari
bantuan Pertamina. Adakah kepentingan Pertamina di daerah ini.
Jawabnya: "memang betul", kata Bupati Soemar'oem dan Sekwilda
R. Sami'uddin BA dengan kalimat yang sama kepada Anshari Thayib
dari TEMPO, sehari setelah peresmian lapangan itu. Kepentingan
itu, bahkan telah dimulai 10 tahun yang lalu, ketika mulai
membangun perkampungan untuk kegiatan eksplorasi lepas pantai
Indonesia Timur di Kepulauan Masa Lembu. Meski hasil
eksplorasinya belum jelas, sebab "nampaknya amat dirahasiakan",
kata Bupati Soemar'oem, namun Ibnu Sutowo bagai dikatakannya
menyebut "akan jalan terus", tambah Soemar'oem.
Agaknya, bukan hanya Masa Lembu saja yang dilirik Ibnu Sutowo.
Beberapa tempat di kepulauan Kangean misalnya, "kemungkinan
besar juga terdapat sumber minyak", tutur Gubernur Noer. Bahkan,
kemungkinan juga berupa gas bumi. Namun, minyak telah meleleh di
desa Paloklokan -- beberapa kilometer dari Sumenep. Di situ,
terdapat "pipa bekas instalasi yang dipasang BPM sekitar tahun
1934 - 1938', tukasnya. Disamping pipa-pipa ukuran kecil,
terdapat pula 6 pipa yang berlingkaran sebesar drum minyak pada
jarak antara 250 m. Tapi, BPM tak keburu menghirup hasilnya
karena pecah perang dunia ke II. Meski begitu, berharap dapat
menghisapnya seusai perang, pipa-pipa itu disumbatnya dengan
batu-batuan.
Nampaknya, BPM yang mengendus banyak minyak di Sumenep tak
berhenti di situ. Meskipun kemudian baru sempat memasang
patok-patok yang ingin dibornya nanti. Patok-patok bertuliskan
BPM itu, menurut Sekwilda terdapat pula di Batang-Batang,
Batuputih serta Ambunten. Adakah bantuan lain yang diberikan
Pertamina kepada Sumenep? "Sementara belum", jawab Bupati
Soemar'oem, "sebetulnya saya menginginkan, tapi situasi
Pertamina masih demikian saja sendiri tak sampai hati", tambah
Soemar'oem pula.
Makelar
Agaknya menarik pula, karena ternyata Sumenep merupakan pusat
pegaraman, baik oleh PN Garam, maupun rakyat. Malahan, PN Garam
yang kini nemprodusir lebih dari 150 ribu ton setahun,
merencanakan modernisasi pegaraman dengan areal 1000 hektar.
Tentu saja, pelabuhan Kalianget yang kini ramai dilabuhi
kapal-kapal yang mengangkut garam, bakal kecipratan diperbaiki
pula. Lain halnya dengan garam rakyat, dulu nasibnya memang tak
begitu beruntung. Apalagi setelah ada peraturan larangan membuat
garam rakyat, yang kemudian dicabut dan diperbolehkan hanya pada
radius 3 km dari wilayah PN Garam. Namun "sementara itu masih
sulit dilaksanakan", kata Sekilda. Tapi, dengan modernisasi
nanti mau tidak mau mereka mesti tergusur rapi, "sebetulnya tak
menjadi soal" ata Sekwilda pula. Sebab, areal pegaraman rakyat
bisa juga dipindahkan ke kepulauan Sepeken Giliraja atau Ra'as.
Nyatanya potensi garam rakyat dengan produksi 50 - 100.000 ton
setahun, cukup lumayan juga. Dulu, karena permainan
tengkulak-tengkulak, harganya tak pernah melewati angka Rp 2 per
kg. Melihat itu, Bupati Sumenep membentuk BUUD unit pegaraman
rakyat. Tanpa kalimat monopoli, namun diharap seluruh pembelian
dan penjualan garam rakyat lewat BUUD ini. Dengan memberi harga
dasar yang lebih baik dari harga ketika itu, petani-petani garam
terus mendapatkan harga yang kian membaik. Malahan, "kini bisa
sampai Rp 20", kata Sekwilda. Akan halnya lahirnya BUUD garam
ini, tak selancar yang diharap. Sebab, BUUD sendiri tak punya
modal hingga terpaksa melakukan kontak penjualan, tak ada harga
dasar dari pemerintah serta belum dikenalnya BUUD sendiri oleh
masyarakat.
Kontrak BUUD dengan kontraktor dilakukan dengan sistim lelang.
Lelang pertama yang juga diikuti oleh PN Garam, nampaknya
dimenangkan oleh CV Bagosari dengan harga tawaran Rp 9/kg. Meski
ketika itu masih menunjuk harga yang baik, BUUD telah pasang
kuda-kuda dengan membuat klausul "manakala ada kenaikan harga
maka harga berikutnya sesuai dengan harga umum". Barangkali yang
tak kebagian rejeki karena kalah dalam lelang, bisa saja
menyebut itu sebagai monopoli.
Memang tak bisa dibantah bahwa hasilnya belum 100% dirasakan
oleh rakyat. Namun, setidak-tidaknya bak disebut oleh Bupati
Soemar'oem, dengan BUUD ini petani garam rakyat bisa menikmati
harga yang lebih baik. tak menjadi "bulan-bulanan cukong",
katanya, pemda juga bisa mengkontrolnya. Mungkinkah tengkulak
dan pengijon diberantas sama sekali? Barangkali tidak. Tapi,
Sekwilda yang menirukan kalimat Gubernur Noer pernah bilang pada
mereka -- petani-petani garam itu: "ambil saja, tapi tak usah
kembalikan kemplang saja", katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini