Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Gerbong ke Stasiun Terakhir

Melaju ke putaran kedua, Susilo Bambang Yudhoyono mulai melirik koalisi dengan partai lain. Figur kandidat memang penting, tapi dukungan partai dilupakan jangan.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTARUNGAN babak kedua itu waktunya masih agak jauh, sekitar sembilan pekan lagi. Tapi Susilo Bambang Yudhoyono?akrab disapa SBY?sudah bersiap pasang kuda-kuda. Setelah berhasil menyabet suara teratas setidaknya dalam penghitungan suara sementara Komisi Pemilihan Umum sampai Sabtu pekan silam, kandidat Presiden RI dari Partai Demokrat itu mulai melirik kekuatan pesaingnya: Megawati Soekarnoputri.

Dalam peta perolehan suara, Megawati kini bertengger di posisi kedua. Sampai Sabtu dini hari pekan lalu, suara pemilih yang masuk di Tabulasi Nasional Pemilu telah mencapai sekitar 85 juta dari 148 juta pemilih yang terdaftar. Yudhoyono disokong 28 juta suara atau sekitar 33 persen, sementara Megawati mendapat 22 juta suara atau 26 persen. Dengan meraup suara di 16 provinsi, meski belum menjadi hasil definitif, laju SBY tampaknya sudah tak terbendung.

Tentu, bagi SBY, putaran kedua harus dihadapi dengan strategi baru. Lawannya lumayan berat: Megawati yang kini masih menjabat Presiden RI plus Ketua Umum PDI Perjuangan, partai runner-up di parlemen hasil pemilu 5 April lalu. Sampai akhir pekan lalu, SBY memang belum membuat gebrakan politik penting, semisal koalisi baru ke putaran kedua. "Tunggu sampai hasil penghitungan suara selesai," ujarnya.

Tapi, kuda-kuda memang sudah mulai dipasang. Yudhoyono, misalnya, akan mengulang resep manjur di putaran awal: komunikasi politik ke akar rumput. Dengan cara itu, "Dukungan lintas identitas dan partai politik masih dapat saya pertahankan," ujarnya. Seandainya terpilih, kata SBY, ia akan membangun koalisi terbatas dengan satu atau dua partai. "Saya akan menjajaki tiga partai yang tak ikut lagi dalam kompetisi di putaran kedua," tutur SBY.

Kalau hasil skor suara di KPU nantinya tak berubah banyak, diperkirakan tiga partai akan menepi: Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dari kubu SBY dan Jusuf Kalla terbetik kabar mereka mencoba merapat ke Golkar dan PAN. Dari keduanya, peluang terbesar adalah Golkar. "Soalnya, Jusuf Kalla kan juga berasal dari Golkar," ujar wakil ketua tim kampanye nasional SBY-Kalla, Alwi Hamu.

Menurut Alwi, faktor Kalla sangat penting menggaet suara Golkar. Kalla terbilang senior di partai berlogo beringin itu. Dia salah seorang pendiri Sekretariat Bersama Golkar, cikal-bakal partai tunggangan Orde Baru itu, pada 1964. Dalam putaran pertama, suara massa Golkar memang banyak menyeberang ke SBY. Bukan cuma di Sulawesi Selatan, kampung halaman Kalla, tapi juga di sejumlah daerah yang menjadi kantong suara bagi Golkar. "Itu karena massa melihat Kalla sebagai tokoh Golkar," ujarnya.

Untuk isi gerbong ke "stasiun" putaran kedua, mereka menarik dukungan Golkar dan kekuatan politik lainnya. Tim lobi SBY pun sudah dibentuk dari tingkat pusat sampai daerah.

Memang, masih kata Alwi, belum ada pembicaraan yang bersifat resmi dengan Golkar. Tapi lobi-lobi politik sudah bekerja. Apalagi, Alwi juga pernah menjadi tokoh Golkar pada masa awal partai itu berdiri. "Banyak pengurus Golkar itu teman saya," ujarnya. Menurut dia, sudah ada pengurus Golkar yang menghubunginya soal rencana koalisi itu. Kendati belum resmi, kata dia, "Yang formal itu tinggal ketuk palu saja."

Di daerah lain juga sama. "The Golkar connection" ini memang bisa menjadi jalur lobi tokcer. Koordinator tim sukses SBY-Kalla Jawa Tengah, H.M. Ismail, mengakui mereka segera merangkul Partai Golkar, PKB, dan PPP. Ismail, bekas Gubernur Jawa Tengah, yakin ia bisa merayu Golkar agar memilih SBY. Jalur yang dipakai adalah "perkawanan lama" dari bekas birokrat sampai dengan purnawirawan yang kini berteduh di bawah rimbunan Partai Beringin itu. Kata Ismail, ia pun sudah menjalin kontak dengan tokoh Golkar setempat. "Mereka pasti mau diajak berkoalisi," ujarnya.

Ismail tak bertepuk sebelah tangan. Soejatno Pedro, Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Tengah, mengatakan di lingkaran dalam partainya kini bergulir inisiatif mendukung SBY. "Selain kesamaan platform, faktor Jusuf Kalla sangat penting," ujar Pedro. Namun, kata dia, inisiatif politik itu belum beranjak ke pembicaraan resmi.

Tapi, tak semua basis Golkar gampang terpikat ke SBY. Wakil Sekretaris Golkar Dewan Pengurus Daerah (DPD) Jawa Barat, Bambang Haryono, misalnya. Ia lebih suka memetik pelajaran dari anjloknya suara bagi jago mereka, Wiranto-Salahuddin Wahid. Memang, kata Bambang, terbuka dukungan bagi SBY di putaran kedua nanti. Tapi, bagi dia, sikap hati-hati lebih penting. "Buktinya, kemarin kita sudah terlalu pede, ternyata perolehan di luar dugaan," tuturnya.

Mungkin karena khawatir "demam SBY" ini cepat menular, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung langsung membangun pagar bagi anggotanya. Menurut dia, langkah politik resmi Golkar akan ditentukan setelah proses penghitungan suara selesai. "Dukungan fungsionaris Golkar kepada kandidat tertentu adalah pernyataan pribadi," ujar Akbar di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Dari kubu SBY, selain Golkar, mereka juga melirik Partai Kebangkitan Bangsa, sayap politik dari Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Alwi Hamu, melejitnya suara SBY antara lain banyak ditopang oleh pemilih di basis NU. Kata Alwi, faktor Kalla yang punya latar belakang keluarga nahdliyin juga turut berperan. "Sejak 1950-an, banyak tokoh NU yang singgah ke Makassar dibantu oleh ayahnya Jusuf Kalla," ujarnya.

Di lapangan memang terbukti, SBY-Jusuf Kalla berhasil mendobrak basis "kaum sarungan". Seperti dilaporkan wartawan Tempo News Room Mahbub Djunaedi, SBY pun unggul di Jawa Timur, basis utama warga NU.

Setidaknya, dari hasil penghitungan suara sementara sampai Jumat pekan lalu, di empat wilayah basis Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi, pasangan itu mendapat suara total terbesar, 32 persen. Angka itu lebih tinggi tiga persen dibandingkan dengan angka pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid. Sementara itu, Megawati-Hasyim Muzadi hanya menggondol 28 persen.

Lalu, bagaimana reaksi PKB? Meski SBY-Kalla menang di kantong massa NU, Wakil Ketua Umum PKB, Mahfud Md., mengatakan partainya masih tetap lihat-lihat dulu. Pilihannya, kata dia, ada tiga. Pertama, kaum nahdliyin tidak ikut dalam pertarungan di putaran kedua. Pilihan ini sebagai risiko dari calon mereka yang kalah di putaran awal. Kedua, mendukung SBY. Terakhir, mengalihkan suara ke Megawati. "Semua alternatif ini masih sama kuat pendukungnya," ujarnya.

Kalaupun nanti dukungan jatuh pada Megawati, kata Mahfud, itu karena ikatan emosional. Betapapun, Hasyim Muzadi, pasangan Megawati, adalah warga NU. Tapi, menurut dia, yang lebih rasional dan menjanjikan perubahan adalah SBY. "Mega diberi kesempatan untuk memberantas korupsi, enggak ada hasilnya," ujarnya. Sedangkan SBY, kata Mahfud, belum pernah punya catatan gagal. "Kalau ikut hati, pilih Hasyim. Tapi kalau akal sehat, ya, pilih SBY," ujarnya. Dari ketiga opsi, kata Mahfud, belum terlihat mana yang menjadi keputusan. Apalagi PKB masih menunggu nasib akhir Salahuddin Wahid dan Wiranto.

Seperti kata Mahfud, akal sehat itu rupanya sudah lebih awal menyihir sebagian warga NU. Sekretaris PKB Jawa Tengah, Muzamil, mengaku secara resmi partainya belum bersikap. Meski begitu, Muzamil mengatakan citra politik SBY mampu mengalahkan Wiranto-Salahuddin. Hasilnya, rakyat lebih suka memilih SBY ketimbang Wiranto. "Sosok SBY yang tenang mampu merebut simpati rakyat," ujarnya.

Di Jawa Tengah, peluang ini juga ditangkap oleh kubu SBY. Ismail, misalnya, mengatakan saat ini tim sukses SBY giat melobi kelompok nahdliyin. Soalnya, dalam putaran pertama lalu, dukungan massa NU kepada SBY di Jawa Tengah mencapai 20 persen. Ismail yakin di putaran kedua hasilnya tak jauh berbeda. Sebab, kaum nahdliyin belakangan kian rasional. Apalagi, Kalla juga dari keluarga NU. "Meski ada Hasyim Muzadi, tidak serta-merta semua orang NU akan mendukung dia."

Kendati fenomena SBY seakan memapas batas politik aliran, Ismail tetap memperhitungkan kelompok nasionalis di Jawa Tengah. Salah satu pintu masuknya adalah Mardijo, bekas tokoh penting PDI Perjuangan di Jawa Tengah yang kini membentuk Komar alias Konco Marhaenisme. Selain itu, tentu saja pendekatan ke akar rumput. "Kalangan ini pada kampanye putaran pertama tidak tersentuh. Kita terlalu sibuk di permukaan saja," kata Ismail.

Kubu SBY sendiri tak menganggap enteng kekuatan Megawati. Menurut Alwi Hamu, PDI Perjuangan punya organisasi yang bagus dengan jaringan hingga pelosok desa. Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri melihat peluang Megawati lebih besar dari dirinya karena masih menjabat Presiden RI (lihat, "Megawati Lebih Memiliki Ruang Manuver".)

Tugas terpenting tim sukses SBY, kata Alwi, adalah menjaga suara 30-an persen suara yang diraup dalam putaran pertama. Mereka yakin suara dari 18 provinsi itu akan tetap setia. "Kalau ada penurunan, paling sekitar 1 persen," ujarnya. Kubu SBY menargetkan menang dengan angka 60 persen pada putaran kedua. Sebagai basis suara, mereka akan mempertahankan Jawa Timur dan Jawa Barat, sambil berharap suara di Jawa Tengah bisa meningkat. Modal lain adalah pendukung fanatik di Sumatera, seperti Jambi, Palembang, Lampung, dan Riau. Begitu juga di Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah daerah di bagian timur Indonesia.

Tentu, dukungan tak mungkin disandarkan pada Partai Demokrat semata. Sebagai partai baru yang miskin pengalaman, kata Alwi, kubu SBY mengandalkan tim relawan yang muncul spontan di sekujur negeri. Mereka tumbuh dari berbagai komunitas seperti seniman, artis, anak purnawirawan, petani, nelayan, juga buruh pabrik. "Inilah mesin politik SBY," ujarnya.

Nezar Patria, Ecep S. Yasa, Yandhrie Arvian (TNR), Sohirin (Semarang), Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus