Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA sembilan belas tahun silam masih membekas dalam ingatan Sofjan Wanandi. Pemilik kelompok usaha Gemala ini bertemu dengan Wang Daohan, Wali Kota Shanghai, di Cina. Perasaannya campur aduk antara senang dan deg-degan. Gembira lantaran bisa mengutarakan niatnya berinvestasi di Negeri Tirai Bambu. Tapi ia juga waswas karena saat masih kuliah di Universitas Indonesia, aktivis angkatan 66 itu kerap mendemo kedutaan Tiongkok di Jakarta. ”Ternyata sambutannya positif. Dia siap menyediakan tanah untuk pabrik seberapa pun luasnya,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tawaran itu bukan basa-basi. Kurang dari dua bulan izin penguasaan tanah sudah diterima. Tentu saja hal ini sangat mengejutkan karena selama bertahun-tahun pemerintah Cina melarang pemindahan hak penguasaan tanah, termasuk oleh warganya sendiri. Kemudahan itu berbanding terbalik dengan di Indonesia. Izin penggunaan tanah di Tanah Air bisa bertahun-tahun. ”Lihat saja proyek jalan tol kita yang terkatung-katung,” ujar Sofjan.
Sofjan bukan satu-satunya pengusaha Indonesia yang masuk Cina. Sepuluh tahun sebelumnya beberapa pengusaha nasional sudah merintis berinvestasi di sana. Ketika itu Cina baru saja membuka lembaran sejarah baru, memulai reformasi ekonomi. Negara ini baru saja beralih dari ekonomi terpusat ke ekonomi pasar. Pemimpin baru Cina, Deng Xiaoping, yang menggantikan Mao Zedong, mengundang investor asing dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk menanamkan modal di dua provinsi, Fujian dan Guangdong.
Berbondong-bondonglah Eka Tjipta Widjaja (Grup Sinar Mas), Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Mochtar Riady (Grup Lippo), Suhargo Gondokusumo (Grup Dharmala), Ciputra, Burhan Uray (Grup Djajanti), dan Sukanto Tanoto (Grup April) menaruh duit di tanah leluhur mereka.
Laporan East Asia Analytical Unit Kementerian Perdagangan Australia menyebutkan Eka Tjipta mendirikan 88 perusahaan di Cina, khususnya di Fujian, Zhejiang, dan Shanxi. Eka Tjipta menanamkan modal melalui perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Hong Kong. Sinar Mas Paper (China) Investment Co. Ltd. merupakan perusahaan Grup Sinar Mas yang eksis dan ternama di Cina. Unit usaha Asia Pulp & Paper (APP) itu memproduksi pulp dan kertas.
Fokus investasi Asia Pulp & Paper dilakukan di Delta Sungai Yangtze dan kawasan Delta Sungai Pearl. Secara keseluruhan, APP memiliki 17perusahaan pulp dan kertas di Cina dan lebih dari 20 pusat kehutanan. Kapasitas dan produksi tahunan lebih dari 5 juta ton. Nilai asetnya mencapai 56 miliar renminbi (sekitar Rp 73 triliun).
Mochtar Riady termasuk investor terbesar Indonesia di Cina. Grup Tati, unit usaha Lippo, membenamkan modal US$ 10 juta pada 1990-an. Investasi Lippo kebanyakan di Putian, tempat kelahiran ayah Riady, di Provinsi Fujian. Di kota ini Tati City, sebuah zona residensi dan industri Lippo, dibangun. Meizhou Island, dekat Tati City, juga dikembangkan menjadi sebuah zona turis dan tempat tinggal. Pertengahan 1990-an, Lippo menginvestasikan sekitar US$ 1 miliar di Cina. Lippo juga membangun apartemen, kompleks perkantoran, dan hotel di Zuhai dan Fujian bernilai US$ 500 juta, bekerja sama dengan China Travel Service.
Salim tak ketinggalan. Dia menanamkan modal dalam usaha sepatu, minyak goreng, hotel, dan properti. Pada 1990-an, Salim meneken kontrak dengan pemerintah Fujian untuk mendirikan perusahaan bernama Fujian Auto Industries. Menurut eksekutif Grup Salim Franciscus Welirang, sampai saat ini Grup Salim masih berinvestasi di Cina. ”Iklim investasi di sana bagus,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Adapun Sukanto Tanoto, dengan bendera Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (April), membangun pabrik pulp dan kertas di Kota Rizhao, Shandong. Pada November 2008, April SSYMB (April divisi Shandong) meneken perjanjian pinjaman 7,5 miliar renminbi untuk membangun pabrik pulp baru di negara itu.
Kehadiran investor asing memberikan dampak positif bagi Cina. Perekonomian Cina berkembang pesat. Negara ini tumbuh menjadi macan ekonomi baru di Asia, bahkan di dunia. Alih teknologi dari perusahaan-perusahaan top dunia kepada penduduk Cina juga terjadi. Sekarang para pengusaha atau industriawan di Cina bisa memproduksi massal produk atau barang apa pun. ”Mulai barang kualitas jelek sampai canggih bisa diproduksi Cina,” ujar Sofjan, yang mengetuai Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Setelah lebih dari tiga dekade, perusahaan Cina mulai menguasai pasar dalam negerinya sendiri. Menurut Ketua Perhimpunan Masyarakat dan Pengusaha Indonesia-Tiongkok, Tahir, pemerintah Cina sangat melindungi perusahaan lokalnya dengan berbagai insentif, dari kemudahan pemberian kredit sampai insentif pajak. Tak mengherankan bila perusahaan asing kesulitan bersaing dengan korporasi Cina, yang 90 persen merupakan perusahaan negara. Lambat-laun izin investasi di Cina tak semudah dulu. ”Lebih rumit, dan sistem hukumnya agak kontroversial.”
Penilaian itu dirasakan juga oleh Sofjan. Sekarang, menurut dia, pemerintah Cina tak serta-merta menerima investasi asing karena masyarakatnya sudah bisa membuat semua produk. Pemerintah Cina hanya mau menerima investasi berteknologi tinggi dan nilai investasinya besar. ”Jika tak memenuhi, thank you saja,” ujar Sofjan menirukan ucapan pejabat negeri Cina. Tak mengagetkan bila pemerintah Cina merelakan perusahaan asing merelokasi pabriknya ke India, Vietnam, atau Indonesia.
Beberapa pengusaha dari negara lain juga mengeluhkan iklim investasi di Cina. Sebut saja Google Inc. Perusahaan asal Amerika Serikat ini melancarkan protes lantaran disensor pemerintah Cina.
Tapi pejabat Kementerian Luar Negeri Cina, Qin Gang, menampik sinyalemen itu.” Saya tidak setuju pada pendapat itu,” ujarnya seperti dilansir Chinadaily.com pekan lalu. Qin Gang mengatakan pemerintah Cina akan terus menerima investasi asing dan menciptakan lingkungan investasi yang terbuka, adil, dan transparan. Iklim investasi di Cina, kata Gang, semakin baik dan bahkan paling menarik ketimbang negara lain. Gang mengajak perusahaan-perusahaan asing beradaptasi dengan situasi baru di Cina yang pasarnya semakin kompetitif.
Gang sah saja berkelit. Yang jelas, pengusaha Indonesia kesulitan berkompetisi di negeri yang terkenal dengan kisah Jalur Sutra di masa Dinasti Han ini. Menurut Sofjan, tidak banyak pengusaha Indonesia yang sukses di Cina. Perusahaan elektronik, makanan, dan perusahaan milik pengusaha Indonesia gulung tikar dan merugi. Hanya pengusaha Indonesia yang berinvestasi di Cina 25 tahun silam yang tetap bertahan dan untung, seperti Sinar Mas, Lippo, Salim, Sukanto Tanoto, dan Ciputra. ”Pengusaha yang baru berinvestasi pasti rugi,” ujarnya. ”Mau untung di Cina itu susah,” kata Tahir menambahkan.
Menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, sejumlah perusahaan Indonesia memang telah menarik investasi mereka dari Cina karena sudah tidak kompetitif lagi. ”Mata uang yuan menguat dan upah minimum regional di Cina dua kali lipat lebih mahal,” ujarnya dalam seminar ”Peningkatan Daya Saing dan Kesiapan Usaha Kecil dan Menengah Menghadapi Asean-China Free Trade Area” di Universitas Atma Jaya Jakarta, pertengahan Maret lalu. Sinyalemen ini dibenarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wiryawan. Gita mengakui adanya eksodus pengusaha asal Indonesia yang menanamkan modalnya di Cina. ”Tapi jumlah pengusaha yang kembali belum terdata,” katanya.
Berinvestasi di Cina memang tidak mudah bagi para pengusaha Indonesia. Tapi tak berarti mereka lalu harus berkecil hati. Mereka tetap punya peluang menjual barang ke negara itu. Mereka bisa mencontoh Grup Kapal Api (produsen kopi) dan Grup Sindebudi (produsen larutan penyegar cap Kaki Tiga) yang sukses berdagang di sana. Alternatif lainnya adalah mengundang pengusaha Cina berinvestasi di Indonesia. Lalu produknya diekspor ke negara lain, termasuk juga ke Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo