Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cina dan Kita

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arianto A. Patunru*

Dalam dingin di Incheon, Korea Selatan, Maret lalu, Panel Ekonomi Asia mendiskusikan, salah satunya, peran Cina di dunia yang terus berubah. Baru saja Amerika Serikat dihajar oleh krisis yang datang dari dalam, yang lalu menjalar ke negara lain, termasuk Cina dan Indonesia. Karena stimulus fiskal, kebijakan moneter, serta koordinasi lintas negara, badai itu kini reda. Resesi tak menjadi depresi, seperti pada 1930-an. Negara-negara berangsur pulih. Tiga di antaranya bangun dengan tingkat pertumbuhan yang mengesankan pada 2009: Cina (8,7 persen), India (6,4 persen), dan Indonesia (4,5 persen). Cina bahkan telah merilis angka pertumbuhan triwulan pertama 2010 yang sangat tinggi, yaitu 11,9 persen.

Bangkitnya Cina sempat menimbulkan diskursus mengenai ”internasionalisasi” mata uang Cina, renminbi. Salah satu peserta panel, Yung Chul Park, mengatakan, adalah logis jika mata uang sebuah negara yang mungkin akan menjadi ekonomi terbesar kedua setelah AS digunakan secara internasional. Tentunya ini juga adalah refleksi Cina sebagai kekuatan besar: tingkat pertumbuhan tinggi dalam waktu lama, ekspor yang besar, serta cadangan devisa lebih dari US$ 2 triliun.

Namun Cina adalah seekor naga besar yang belum kukuh. Park mencatat, walaupun ada kemungkinan internasionalisasi renminbi, hal itu takkan terjadi dalam waktu cepat. Penghalang utamanya adalah keterbelakangan sistem finansial Cina. Sekalipun ekspor barang dan jasanya besar, sistem keuangan Cina masih sangat tertutup, dan rezim nilai tukar yang dianutnya sangat kaku. Bank-bank di Cina masih banyak yang belum bisa memberikan fungsi intermediasi keuangan berkualitas internasional. Dan, dengan mematok renminbi terhadap dolar AS, kemampuan bertukarnya terhadap mata uang lain menjadi sangat terbatas. Kedua hal ini menjadi aral utama jika Cina ingin mempromosikan mata uangnya.

Keputusan Cina melakukan soft-pegging renminbi atas dolar AS sejak 2008 juga telah menjadi sumber ketegangan antara Cina dan AS. Menurut AS, hal itu membuat produk Cina menjadi sangat murah di pasar AS pada saat dolar melemah terhadap mata uang lainnya, sebagaimana saat krisis kemarin. Bahkan ada yang menganggapnya perampasan lapangan kerja di AS.

Tuduhan itu tampaknya berlebihan. Pertama, sulit membuktikan bahwa kebijakan mata uang Cina memang ditujukan untuk penetrasi pasar. Jikapun betul, hal itu tidak efektif. Yiping Huang dari Universitas Peking menunjukkan bahwa ketika renminbi dilepas pada 2005-2008, terjadi apresiasi 22 persen. Namun, pada neraca transaksi berjalan, yang terlihat bukanlah defisit, tapi justru kenaikan surplus dari 3,5 persen menjadi 9,6 persen. Dengan demikian, terdapat faktor di luar kurs mata uang yang mungkin lebih menentukan arah neraca perdagangan dan transaksi berjalan Cina.

Salah satunya adalah distorsi di pasar input di Cina. Huang menunjukkan bahwa selama ini tenaga kerja, modal, serta sumber daya alam di Cina disubsidi. Hal ini menyebabkan dapat ditekannya biaya produksi, yang pada ujungnya menghasilkan produk yang murah di pasar internasional. Produk seperti ini lalu mengalir masuk ke negara-negara seperti AS, menggeser barang yang lebih mahal.

Apakah strategi itu menguntungkan Cina? Peserta diskusi sepakat bahwa dalam jangka panjang praktek distorsi pasar input tersebut akan menjadi bom waktu. Dengan makin terbukanya perdagangan dan terlibatnya Cina dalam jejaring produksi global, kemampuan mensubsidi akan tergerus dengan cepat. Ketika subsidi habis, otomatis harga produknya menjadi mahal dan kehilangan daya saing. Tentu Cina tidak bisa terus-menerus melakukan hal ini. Transisi Cina menjadi raksasa ekonomi dunia mau tidak mau mengharuskannya berinteraksi secara penuh dengan negara lain. Mobilitas faktor produksi tidak konsisten dengan strategi distortif.

Jika Cina bukan monster seperti dicitrakan beberapa kalangan di AS, demikian pula di Indonesia. Hubungan ekonomi Cina dan Indonesia beberapa waktu belakangan ini menjadi topik besar lagi, sehubungan dengan ACFTA (Perjanjian Perdagangan ASEAN-Cina). Perjanjian ini ditandatangani pada 2004 dan efektif per 1 Januari 2010. Untuk Indonesia hal itu mencakup lebih dari 6.000 item pada 17 sektor.

Walaupun ACFTA sudah ditandatangani sejak 2004, ternyata menjelang tanggal efektif 1 Januari 2010, kalangan pengusaha dan DPR memprotes dan meminta pemerintah melakukan renegosiasi. Sampai saat ini masih banyak resistansi terhadap perjanjian tersebut. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyikapi hal ini.

Pertama, benar sejak beberapa waktu belakangan Indonesia mulai mencatat defisit perdagangan dengan Cina. Namun data defisit/surplus bilateral dalam analisis perdagangan internasional sesungguhnya tidak relevan. Karena berdagang dengan negara-negara lain, wajar bila sebuah negara mengalami defisit dengan satu negara dan surplus dengan yang lain.

Informasi yang lebih relevan adalah neraca perdagangan total, yaitu interaksi dengan semua negara. Kenyataan bahwa secara total Indonesia masih mencatat surplus perdagangan, misalnya, sekadar menunjukkan bahwa negara ini mengekspor lebih besar daripada mengimpor. Surplus atau defisit komponen-komponen di dalamnya lebih menunjukkan keunggulan komparatif negara-negara yang terlibat. Dalam kasus Indonesia dan Cina, misalnya, penurunan tarif menyebabkan kenaikan ekspor produk pertanian dan mineral dari Indonesia ke Cina, dan impor barang modal dari Cina ke Indonesia (Bank Dunia, 2010). Di sini unsur komplementaritas lebih kental ketimbang substitusi, sebagaimana tujuan dasar perdagangan.

Kedua, Cina adalah sebuah faktor yang tak mungkin dinafikan. Namun ia penting bukan karena posisi neraca bilateral Indonesia-Cina, tapi karena ia adalah lokomotif sebuah rantai nilai raksasa yang bernama Jejaring Produksi Asia. Saat ini perdagangan dunia semakin diwarnai oleh fragmentasi produksi, di mana negara-negara saling memperdagangkan bagian-bagian dan komponen barang, dirakit di satu negara, untuk kemudian dikirim ke konsumen. Sebagian besar negara di Asia juga terlibat dalam pola perdagangan ini. Walaupun belum banyak menunjukkan keterlibatan dalam jejaring produksi ini, sebagaimana negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk tidak masuk.

Salah satu sebabnya adalah kebutuhan membalikkan gejala de-industrialisasi. Beberapa pihak mengkhawatirkan semakin rendahnya kontribusi sektor manufaktur dalam pertumbuhan ekonomi, padahal sektor ini adalah salah satu yang terbanyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, untuk melengkapi proses transformasi struktural, memang Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pertanian dasar dan tambang. Untuk memajukan sektor manufaktur, salah satu caranya adalah dengan ikut di dalam jejaring produksi di atas.

Namun tentu saja tantangannya juga tidak sedikit. Masalah utama perekonomian Indonesia berada di sisi penawarannya, terutama di aspek logistik, infrastruktur, dan konektivitas. Indonesia hanya bisa memanfaatkan jejaring produksi Asia dan global jika ketiga hal ini juga dibenahi. Rasio ekspor terhadap PDB Indonesia yang di bawah 30 persen (bandingkan dengan Thailand yang 70 persen) sedikit-banyak disebabkan oleh daya saing yang rendah yang berhubungan dengan inefisiensi pada sistem logistik dan infrastruktur.

Biaya logistik di Indonesia sekitar 14 persen, sementara di Jepang hanya 4 persen (LPEM-JBIC, 2005). Dalam laporan Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia 2010 yang meliputi 155 negara, Indonesia menempati urutan ke-75, di bawah Cina dan India serta negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, bahkan Filipina. Rata-rata biaya transportasi darat di Indonesia lebih mahal 50 persen dibanding rata-rata Asia, dan yang melibatkan pelayaran antarpulau bahkan bisa lebih mahal 80 persen (LPEM-TAF, 2010). Terakhir, infrastruktur yang jelek juga memberikan sumbangan terhadap rendahnya konektivitas antarwilayah di Indonesia.

Dengan kondisi di atas, kita perlu menghargai tawaran Cina untuk membantu program peningkatan sistem logistik dan infrastruktur di Indonesia. Tentu saja Cina serta negara mitra dagang kita lainnya akan diuntungkan dengan sistem arus barang yang lebih lancar. Bagi kita, itu adalah modal memasuki jejaring produksi Asia. Seperti yang dikatakan Max Corden dari Universitas Melbourne, tampaknya kita perlu menyesuaikan diri dengan guncangan dari Cina ketimbang melawannya.

*) Direktur LPEM FEUI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus