DENGAN senjata tersembunyi di balik pakaian rapi, empat orang
lelaki menghampiri sebuah mobil di tengah lalu lintas Kota
Milano yang riuh. Dalam sekejap mata peluru berhamburan.
Penumpang mobil, kepala salah satu rumah sakit terbesar di
Milano, ditemukan dengan hampir sekujur tubuh berlubang. Dan
Brigade Merah -- momok nasional Italia -- menyatakan bertanggun
jawab atas peristiwa tersebut.
Di Iriandia Utara, sepasukan orang sipil bersenjata meledakkan
tembok puri kediaman Sir Norman Stronge, 86 tahun, tokoh
Protestan dan juru bicara parlemen negeri itu. Sir Norman dan
anaknya, James, 48 tahun, kemudian didapati dengan kepala
bertatahkan lubang peluru. Kaum gerilyawan IRA (Irish Republican
Army) mengakui bencana itu perbuatan mereka.
Contoh di atas mungkin bisa diteruskan sepanjang-panjangnya.
Hari ini Belfast, esok Paris, lusa Osaka. Kemarin bahkan
Indonesia. Terorisme secara estafet menghiasi halaman depan
koran pelbagai negeri.
Maka tersebutlah Claire Sterling, seorang wartawan Amerika yang
bekerja di Italia. Ia mencoba menyimak wabah ini. Dua setengah
tahun dihabiskannya untuk riset. Mewawancarai tokoh pemerintah
dan polisi di 10 negeri, mulai Swedia sampai Libanon. Menguji
catatan pengadilan dan laporan media massa.
Dapat dimaklumi kalau kesimpulan yang dituangkan Sterling dalam
bukunya The Terror Network cenderung menguntungkan Amerika --
dan menuding Uni SQviet sebagai biang keladi. Dia or'ang
Amerika.
Sepintas lalu, terorisme sering tampak tak lebih dari sebuah
brutalitas lokal."Padahal terdapat bukti yang kuat," ujar
Claire, "bahwa dalam satu dekade terakhir ini Uni Soviet dan
sekutu-sekutunya dengan satu dan lain cara mempersenjatai,
melatih, dan melindungi jaringan teror sejagat demi
mengguncangkan lembaga demokrasi Barat."
Jaringan itu, seperti diungkapkan sejumlah teroris yang
tertangkap dan catatan berbagai sidang pengadilan, terdiri dari
kelompok terpisah-pisah dan saling membantu. CIA umpamanya
melaporkan tahun lalu, bahwa terdapat lebih 140 kelompok semacam
itu di 50 negeri yang tersebar di empat benua. Beberapa kasus
diambil sebagai sampel.
Tanggal 26 Juli 1974, pabean pelabuhan udara Orly, Paris,
menyita sejumlah paspor dan uang palsu dari Yutaka Furuya,
penumpang yang baru tiba dari Beirut. Dokumen lain yang
dibawanya mengaitkan Furuya dengan Tentara Merah Jepang.
Dan pemeriksaan selanjutnya menunjukkan Furuya dalam perjalanan
dari sebuah basis gerilyawan Palestina di Libanon, untuk
menculik seorang pengusaha Jepang di Jerman Barat. Bantuan
logistik ia peroleh dari Tentara Merah Jerman.
Beberapa saat setelah pencidukanmya, sepasukan teroris Jepang
menduduki kedutaan besar Prancis di Den Haag, Negeri Belanda.
Mereka menuntut pembebasan Furuya. Mereka menggunakan
bahan-bahan peledak hasil curian kelompok anarkis Swiss dari
sebuah depot militer di Zurich. Kelompok ini disutradarai
Carlos, spesialis teror asal Venezuela, yang beroperasi di
daratan Eropa untuk George Habbash, dari Front Rakyat untuk
Pembebasan Palestina. Semuanya kait-mengait.
Kalau Claire Sterling -- si wartawan -- bisa dipercaya, titik
awal pembinaan jaringan terorisme internasional bermula dari
Konperensi Tiga Benua yang dilangsungkan di Havana, Januari
1966. Lebih 500 orang utusan dalam konperensi itu bersepakat
mempererat kerjasama di antara "negeri-negeri sosialis" dengan
"gerakan pembebasan nasional."
Resolusi tersebut tidak hanya menyangkut dunia ketiga. Juga
"kaum buruh demokratis dan gerakan mahasiswa" di Eropa Barat dan
Amerika Utara. Pokoknya, perlu direncanakan "strategi revolusi
sejagat demi menampik strategi imperialisme sejagat Amerika
Serikat." "Tak pelak lagi," kata Sterling, "inilah sebuah
panggilan perang gerilya internasional."
Sepuluh bulan kemudian, konon lebih selusin kamp latihan
gerilyawan dari seantero dunia dibuka -- di Kuba. Tokoh di
belakang skenario ini kabarnya Kolonel Vadim Kotchergin, dari
KGB.
Fidel Castro membangun sekolah-sekolah gerilyanya sejak 1961.
Dimulai dari merekrut para pejuang Amerika Latin dan Afrika.
Tahun 1964, kelompok Palestina dan Eropa mulai mengirimkan
siswa.
Momentum tercapai 1968. Inilah tahun yang mencengangkan. Sebuah
generasi yang lahir setelah Perang Dunia II -- dari Berkeley
sampai Tokyo -- memaklumkan perang terhadap tata sosial yang
berlaku. Singkat, tapi keras dan mengejutkan. Dunia bagai
mendadak miring ke kiri.
Ketika badai itu reda, sejumlah pelaku yang merasa betul-betul
terpanggil oleh 'revolusi' menemukan persamaan aspirasi satu
sama lain. Mereka sesungguhnya pemula yang belum memiliki "ilmu
perteroran," juga tak punya duit.
Tahun-tahun 1960-an, Amerika Latin memang bagai mekah gerakan
pembebasan nasional. Ada Fidel Castro, Camilo Cienfuegos,
Ernesto 'Che' Guevara. Tapi sejak kehadiran Uni Soviet di Kuba
semakin terbuka, seperti disengaja pamor itu berangsur menyurut.
Soko guru gerakan pembebasan nasional lalu berkisar ke Timur
Tengah.
Palestina ganti membuka kamp latihan untuk 'pejuang-pejuang'
asing. Selama 10 tahun kamp-kamp latihan kemudian meluas ke
Yaman Selatan, Angola dan Mozambik. Juga Aljazair dan Libya.
Dukungan uang datang dari Libya. Senjata dikirim dari Soviet.
Pelatihnya campuran: Kuba, Jerman Timur, dan sedikit Korea
Utara.
Dalam 'daftar tamu' di kamp latihan sekitar Aden, Yaman Selatan
-- entah bagaimana Claire Sterling mendapatkannya! -- terdapat
namanama anggota Baader-Meinhoff Jerman Barat, Brigade Merah
Italia, gerilya Basque ETA, IRA, Tentara Merah Jepang, Tupamaros
Uruguay, kelompok Turki, dan gerakan bawah tanah Iran. Tuan
rumahnya konon George Habbash, dan Wadi Haddad (meninggal 1978
oleh penyakit kanker), komandan militer Front Rakyat untuk
Pembebasan Palestina yang berhaluan marxis.
Operasi pertama mereka dijalin bersama Al Fatah -- melalui
September Hitam, penyanderaan dan pembunuhan sejumlah
olahragawan Israel padal)limpiade Muenchen 1972. Segera sesudah
itu tercatat front Habbash-Haddad menjalankan serangkaian
operasi.
Di antaranya: penyanderaan 11 orang menteri perminyakan negara
Arab dalam pertemuan OPEC di Wina, 1975 pendudukan kedutaan
besar Prancis di Negeri Belanda, September 1975 peledakan
kedutaan besar Jerman Barat di Stockholm, Februari 1976
pembajakan pesawat terbang Prancis di Entebbe, Juni 1976 dan
pembajakan pesawat Lufthansa di Mogadishu, Oktober 1977.
Senjata bikinan blok Soviet konondikapalkan dari Eropa Timur ke
Timur Tengah. Kemudian diteruskan ke Eropa Barat melalui
pelabuhan Bulgaria atau Libya. Adalah Fabrizio Giai, salah
seorang pendiri Garda Depan Italia yang tertangkap, mengaku:
"Tak pernah orang Palestina mengirim senapan Kalashnikov dan
senjata lainnya kepada kami tanpa seizin Uni Soviet."
Suaka istimewa bagi teroris Jerman, Italia dan Spanyol, katanya
disiapkan sepanjang Eropa Timur. Empat orang teroris Jerman yang
dikejar terlibat penculikan dan pembunuhan industrialis Martin
Schleyer (1977), konon ditemukan detektif Jerrnan Barat sedang
berjemur di sebuah pantai di Bulgaria. Sejumlah teroris top
Italia dipertukarkan ke Praha dan Cekoslowakia.
DALAM mengemukakan contoh, Claire Sterling memilih Turki,
Irlandia Utara, dan Italia. Di tiga negeri ini, katanya,
"tanda-tanda keterlibatan Soviet dengan jaringan terorisme jelas
terbaca."
Di Turki, dalam tahun 1977 terjadi 250 pembunuhan poitik. Tahun
1979 angka itu naik sampai 1500. Tahun lalu menanjak jadi 4000.
"Akar terorisme di negeri tersebut adalah Uni Soviet," tuduh
Claire Sterling. Dan ia mengutip hasil interogasi Amerika atas
Vladimir N. Sakharov, pembelot Soviet yang dulu bekerja untuk
Departemen VIII KGB. Departemen ini "mengontrol" negara-negara
Arab, Afghanistan, Iran, Yugoslavia, Albania, Yunani dan Turki.
Missi Soviet di wilayah ini, menurut Sterling yang konon
mengutip Sakharov, antara lain berupa sabotase ladang-ladang
minyak Arab Saudi, dan jika mungkin mengubah politik pro-Barat
monarki itu. Lalu membina sel teroris di sekitar negara-negara
minyak Arab, dengan "ilmu" dan tenaga yang dilatih Soviet. Dan
membangkitkan kampanye ganas terorisme kota, penculikan dan
pembunuhan melawan pemerintah Turki.
Di Irlandia Utara, ketika bentrokan bersenjata mulai meletus
(1969), pejuang Katolik tak memiliki apa-apa kecuali beberapa
senjata dari setengah abad lalu. Dua tahun kemudian, seorang
yang menyebut dirinya Mr. Freeman menyiarkan bahwa kelompok
Provos memiliki 4« ton senjata bikinan Cekoslowakia. Maria
McGuire, yang menulis buku mengenai hidup di tengah kaum Provos,
melaporkan bahwa salah seorang pemimpin kelompok ini, David
O'Connell, "berkelana dari Paris ke Bern dan Amsterdam untuk
merintis hubungan, diikuti polisi rahasia Ceko dan Soviet."
O'Connell dikabarkan menghubungi Omnipol, pabrik senjata milik
polisi rahasia Cekoslowakia di Praha. Pabrik ini dikontrol ketat
KGB sejak invasi Soviet ke Ceko, 1968.
Bulan Mei 1972, gembong-gembong IRA duduk pada KTT teroris
internasional yang pertama di Baddawi, Libanon. Pertemuan ini
disponsori George Habbash. Dua bulan berikutnya di Paris, Front
Palestina Habbash dan 12 kelompok teror lain dari pelbagai
nasionalitas menandatangani "Deklarasi Dukungan untuk IRA". Lima
puluh orang anggota IRA pilihan dilatih di Libanon.
Setahun kemudian, penguasa Republik Irlandia menahan kapal
'Claudia' yang berlayar dari Tripoli, Libya, menuju pantai
Irlandia. Kapal itu membawa 250 pucuk senapan Kalashnikov dan
sekitar lima ton senjata lain -- "yang terbaik di antara bikinan
negara-negara blok Soviet."
Persoalannya semakin jelas, tatkala Ruairi O'Bradaigh, salah
seorang juru bicara IRA, menjelaskan tujuan kaumnya. "Kami
menginginkan sebuah pemerintahan republik sosialis demokratis,"
katanya. Nah.
Menghadapi kanker terorisme yang meruyak ini, apa yang dilakukan
Eropa? Berbagai cara ditempuh. Mulai dari konfrontasi sampai
'permainan diplomasi' -- yang buntutnya juga berakhir pada
kekerasan. Pelbagai alat baru diciptakan untuk membantu detektif
dan pasukan antiteror. Sebuah komputer Jerman Barat di Weisbaden
umpamanya, mampu memberikan informasi riwayat hidup, catatan
perjalanan, buku kegemaran, sampai laporan dokter gigi para
teroris dunia terkemuka.
Sudah tentu tak kurang negeri yang membangun pasukan komando
khusus dengan kemampuan prima. GSG-9 di Jerman Barat, SAS di
Inggris, GIGN di Prancis.
Meski demikian, tidak semua pihak lantas setuju dengan semua
ihwal yang dipaparkan Claire Sterling. Bukti-bukti, untuk
menjadi pasti dan meyakinkan, harus diuji berkali-kali. Dan
Sterling sendiri mengaku, "itu bukan perkara gampang."
Para negarawan tidak tergesa-gesa mempercayai sesuatu yang dapat
menanggung risiko terganggunya hubungan dengan Soviet, atau
dengan negara minyak tertentu di Timur Tengah. Apalagi pada
bagian lain tulisannya Claire Sterling berkata, "kontrol
langsung atas kelompok teroris itu tidak pernah menjadi niat
Soviet."
Di Moskow sendiri, tuduhan semacam itu dinamakan "kasar dan
semata-mata ingin membalas dendam." Pusat kontrol terorisme
internasional, kata para pejabat Kremlin, "adalah markas besar
CIA di Langley, Virginia ".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini