Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari kantor kaum terorisme

Diduga uni soviet & sekutu-sekutunya dengan satu & lain cara mempersenjatai, melatih dan melindungi jaringan teror sejagat demi mengguncangkan lembaga demokrasi barat. (sel)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN senjata tersembunyi di balik pakaian rapi, empat orang lelaki menghampiri sebuah mobil di tengah lalu lintas Kota Milano yang riuh. Dalam sekejap mata peluru berhamburan. Penumpang mobil, kepala salah satu rumah sakit terbesar di Milano, ditemukan dengan hampir sekujur tubuh berlubang. Dan Brigade Merah -- momok nasional Italia -- menyatakan bertanggun jawab atas peristiwa tersebut. Di Iriandia Utara, sepasukan orang sipil bersenjata meledakkan tembok puri kediaman Sir Norman Stronge, 86 tahun, tokoh Protestan dan juru bicara parlemen negeri itu. Sir Norman dan anaknya, James, 48 tahun, kemudian didapati dengan kepala bertatahkan lubang peluru. Kaum gerilyawan IRA (Irish Republican Army) mengakui bencana itu perbuatan mereka. Contoh di atas mungkin bisa diteruskan sepanjang-panjangnya. Hari ini Belfast, esok Paris, lusa Osaka. Kemarin bahkan Indonesia. Terorisme secara estafet menghiasi halaman depan koran pelbagai negeri. Maka tersebutlah Claire Sterling, seorang wartawan Amerika yang bekerja di Italia. Ia mencoba menyimak wabah ini. Dua setengah tahun dihabiskannya untuk riset. Mewawancarai tokoh pemerintah dan polisi di 10 negeri, mulai Swedia sampai Libanon. Menguji catatan pengadilan dan laporan media massa. Dapat dimaklumi kalau kesimpulan yang dituangkan Sterling dalam bukunya The Terror Network cenderung menguntungkan Amerika -- dan menuding Uni SQviet sebagai biang keladi. Dia or'ang Amerika. Sepintas lalu, terorisme sering tampak tak lebih dari sebuah brutalitas lokal."Padahal terdapat bukti yang kuat," ujar Claire, "bahwa dalam satu dekade terakhir ini Uni Soviet dan sekutu-sekutunya dengan satu dan lain cara mempersenjatai, melatih, dan melindungi jaringan teror sejagat demi mengguncangkan lembaga demokrasi Barat." Jaringan itu, seperti diungkapkan sejumlah teroris yang tertangkap dan catatan berbagai sidang pengadilan, terdiri dari kelompok terpisah-pisah dan saling membantu. CIA umpamanya melaporkan tahun lalu, bahwa terdapat lebih 140 kelompok semacam itu di 50 negeri yang tersebar di empat benua. Beberapa kasus diambil sebagai sampel. Tanggal 26 Juli 1974, pabean pelabuhan udara Orly, Paris, menyita sejumlah paspor dan uang palsu dari Yutaka Furuya, penumpang yang baru tiba dari Beirut. Dokumen lain yang dibawanya mengaitkan Furuya dengan Tentara Merah Jepang. Dan pemeriksaan selanjutnya menunjukkan Furuya dalam perjalanan dari sebuah basis gerilyawan Palestina di Libanon, untuk menculik seorang pengusaha Jepang di Jerman Barat. Bantuan logistik ia peroleh dari Tentara Merah Jerman. Beberapa saat setelah pencidukanmya, sepasukan teroris Jepang menduduki kedutaan besar Prancis di Den Haag, Negeri Belanda. Mereka menuntut pembebasan Furuya. Mereka menggunakan bahan-bahan peledak hasil curian kelompok anarkis Swiss dari sebuah depot militer di Zurich. Kelompok ini disutradarai Carlos, spesialis teror asal Venezuela, yang beroperasi di daratan Eropa untuk George Habbash, dari Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. Semuanya kait-mengait. Kalau Claire Sterling -- si wartawan -- bisa dipercaya, titik awal pembinaan jaringan terorisme internasional bermula dari Konperensi Tiga Benua yang dilangsungkan di Havana, Januari 1966. Lebih 500 orang utusan dalam konperensi itu bersepakat mempererat kerjasama di antara "negeri-negeri sosialis" dengan "gerakan pembebasan nasional." Resolusi tersebut tidak hanya menyangkut dunia ketiga. Juga "kaum buruh demokratis dan gerakan mahasiswa" di Eropa Barat dan Amerika Utara. Pokoknya, perlu direncanakan "strategi revolusi sejagat demi menampik strategi imperialisme sejagat Amerika Serikat." "Tak pelak lagi," kata Sterling, "inilah sebuah panggilan perang gerilya internasional." Sepuluh bulan kemudian, konon lebih selusin kamp latihan gerilyawan dari seantero dunia dibuka -- di Kuba. Tokoh di belakang skenario ini kabarnya Kolonel Vadim Kotchergin, dari KGB. Fidel Castro membangun sekolah-sekolah gerilyanya sejak 1961. Dimulai dari merekrut para pejuang Amerika Latin dan Afrika. Tahun 1964, kelompok Palestina dan Eropa mulai mengirimkan siswa. Momentum tercapai 1968. Inilah tahun yang mencengangkan. Sebuah generasi yang lahir setelah Perang Dunia II -- dari Berkeley sampai Tokyo -- memaklumkan perang terhadap tata sosial yang berlaku. Singkat, tapi keras dan mengejutkan. Dunia bagai mendadak miring ke kiri. Ketika badai itu reda, sejumlah pelaku yang merasa betul-betul terpanggil oleh 'revolusi' menemukan persamaan aspirasi satu sama lain. Mereka sesungguhnya pemula yang belum memiliki "ilmu perteroran," juga tak punya duit. Tahun-tahun 1960-an, Amerika Latin memang bagai mekah gerakan pembebasan nasional. Ada Fidel Castro, Camilo Cienfuegos, Ernesto 'Che' Guevara. Tapi sejak kehadiran Uni Soviet di Kuba semakin terbuka, seperti disengaja pamor itu berangsur menyurut. Soko guru gerakan pembebasan nasional lalu berkisar ke Timur Tengah. Palestina ganti membuka kamp latihan untuk 'pejuang-pejuang' asing. Selama 10 tahun kamp-kamp latihan kemudian meluas ke Yaman Selatan, Angola dan Mozambik. Juga Aljazair dan Libya. Dukungan uang datang dari Libya. Senjata dikirim dari Soviet. Pelatihnya campuran: Kuba, Jerman Timur, dan sedikit Korea Utara. Dalam 'daftar tamu' di kamp latihan sekitar Aden, Yaman Selatan -- entah bagaimana Claire Sterling mendapatkannya! -- terdapat namanama anggota Baader-Meinhoff Jerman Barat, Brigade Merah Italia, gerilya Basque ETA, IRA, Tentara Merah Jepang, Tupamaros Uruguay, kelompok Turki, dan gerakan bawah tanah Iran. Tuan rumahnya konon George Habbash, dan Wadi Haddad (meninggal 1978 oleh penyakit kanker), komandan militer Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina yang berhaluan marxis. Operasi pertama mereka dijalin bersama Al Fatah -- melalui September Hitam, penyanderaan dan pembunuhan sejumlah olahragawan Israel padal)limpiade Muenchen 1972. Segera sesudah itu tercatat front Habbash-Haddad menjalankan serangkaian operasi. Di antaranya: penyanderaan 11 orang menteri perminyakan negara Arab dalam pertemuan OPEC di Wina, 1975 pendudukan kedutaan besar Prancis di Negeri Belanda, September 1975 peledakan kedutaan besar Jerman Barat di Stockholm, Februari 1976 pembajakan pesawat terbang Prancis di Entebbe, Juni 1976 dan pembajakan pesawat Lufthansa di Mogadishu, Oktober 1977. Senjata bikinan blok Soviet konondikapalkan dari Eropa Timur ke Timur Tengah. Kemudian diteruskan ke Eropa Barat melalui pelabuhan Bulgaria atau Libya. Adalah Fabrizio Giai, salah seorang pendiri Garda Depan Italia yang tertangkap, mengaku: "Tak pernah orang Palestina mengirim senapan Kalashnikov dan senjata lainnya kepada kami tanpa seizin Uni Soviet." Suaka istimewa bagi teroris Jerman, Italia dan Spanyol, katanya disiapkan sepanjang Eropa Timur. Empat orang teroris Jerman yang dikejar terlibat penculikan dan pembunuhan industrialis Martin Schleyer (1977), konon ditemukan detektif Jerrnan Barat sedang berjemur di sebuah pantai di Bulgaria. Sejumlah teroris top Italia dipertukarkan ke Praha dan Cekoslowakia. DALAM mengemukakan contoh, Claire Sterling memilih Turki, Irlandia Utara, dan Italia. Di tiga negeri ini, katanya, "tanda-tanda keterlibatan Soviet dengan jaringan terorisme jelas terbaca." Di Turki, dalam tahun 1977 terjadi 250 pembunuhan poitik. Tahun 1979 angka itu naik sampai 1500. Tahun lalu menanjak jadi 4000. "Akar terorisme di negeri tersebut adalah Uni Soviet," tuduh Claire Sterling. Dan ia mengutip hasil interogasi Amerika atas Vladimir N. Sakharov, pembelot Soviet yang dulu bekerja untuk Departemen VIII KGB. Departemen ini "mengontrol" negara-negara Arab, Afghanistan, Iran, Yugoslavia, Albania, Yunani dan Turki. Missi Soviet di wilayah ini, menurut Sterling yang konon mengutip Sakharov, antara lain berupa sabotase ladang-ladang minyak Arab Saudi, dan jika mungkin mengubah politik pro-Barat monarki itu. Lalu membina sel teroris di sekitar negara-negara minyak Arab, dengan "ilmu" dan tenaga yang dilatih Soviet. Dan membangkitkan kampanye ganas terorisme kota, penculikan dan pembunuhan melawan pemerintah Turki. Di Irlandia Utara, ketika bentrokan bersenjata mulai meletus (1969), pejuang Katolik tak memiliki apa-apa kecuali beberapa senjata dari setengah abad lalu. Dua tahun kemudian, seorang yang menyebut dirinya Mr. Freeman menyiarkan bahwa kelompok Provos memiliki 4« ton senjata bikinan Cekoslowakia. Maria McGuire, yang menulis buku mengenai hidup di tengah kaum Provos, melaporkan bahwa salah seorang pemimpin kelompok ini, David O'Connell, "berkelana dari Paris ke Bern dan Amsterdam untuk merintis hubungan, diikuti polisi rahasia Ceko dan Soviet." O'Connell dikabarkan menghubungi Omnipol, pabrik senjata milik polisi rahasia Cekoslowakia di Praha. Pabrik ini dikontrol ketat KGB sejak invasi Soviet ke Ceko, 1968. Bulan Mei 1972, gembong-gembong IRA duduk pada KTT teroris internasional yang pertama di Baddawi, Libanon. Pertemuan ini disponsori George Habbash. Dua bulan berikutnya di Paris, Front Palestina Habbash dan 12 kelompok teror lain dari pelbagai nasionalitas menandatangani "Deklarasi Dukungan untuk IRA". Lima puluh orang anggota IRA pilihan dilatih di Libanon. Setahun kemudian, penguasa Republik Irlandia menahan kapal 'Claudia' yang berlayar dari Tripoli, Libya, menuju pantai Irlandia. Kapal itu membawa 250 pucuk senapan Kalashnikov dan sekitar lima ton senjata lain -- "yang terbaik di antara bikinan negara-negara blok Soviet." Persoalannya semakin jelas, tatkala Ruairi O'Bradaigh, salah seorang juru bicara IRA, menjelaskan tujuan kaumnya. "Kami menginginkan sebuah pemerintahan republik sosialis demokratis," katanya. Nah. Menghadapi kanker terorisme yang meruyak ini, apa yang dilakukan Eropa? Berbagai cara ditempuh. Mulai dari konfrontasi sampai 'permainan diplomasi' -- yang buntutnya juga berakhir pada kekerasan. Pelbagai alat baru diciptakan untuk membantu detektif dan pasukan antiteror. Sebuah komputer Jerman Barat di Weisbaden umpamanya, mampu memberikan informasi riwayat hidup, catatan perjalanan, buku kegemaran, sampai laporan dokter gigi para teroris dunia terkemuka. Sudah tentu tak kurang negeri yang membangun pasukan komando khusus dengan kemampuan prima. GSG-9 di Jerman Barat, SAS di Inggris, GIGN di Prancis. Meski demikian, tidak semua pihak lantas setuju dengan semua ihwal yang dipaparkan Claire Sterling. Bukti-bukti, untuk menjadi pasti dan meyakinkan, harus diuji berkali-kali. Dan Sterling sendiri mengaku, "itu bukan perkara gampang." Para negarawan tidak tergesa-gesa mempercayai sesuatu yang dapat menanggung risiko terganggunya hubungan dengan Soviet, atau dengan negara minyak tertentu di Timur Tengah. Apalagi pada bagian lain tulisannya Claire Sterling berkata, "kontrol langsung atas kelompok teroris itu tidak pernah menjadi niat Soviet." Di Moskow sendiri, tuduhan semacam itu dinamakan "kasar dan semata-mata ingin membalas dendam." Pusat kontrol terorisme internasional, kata para pejabat Kremlin, "adalah markas besar CIA di Langley, Virginia ".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus