Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Goresan tajam yang tahu diri

122 karikatur karya pramono dibukukan dalam: karikatur-karikatur 1970-1981. goresannya lebih tajam & gerak figur terasa agak kaku. (sr)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA harian Sinar Harapan ramai memberitakan pembajakan Woyla, tak sebiji karikatur mendukung pemberitaannya. Sebetulnya Pramono, karikaturis yang bekerja di harian itu, sudah gatal. Tapi "berita pertama saja sudah mendapat peringatan yang berwenang," ceritanya. "Jadi, ya, riskan." Di negeri yang menghendaki 'kritik membangun' agaknya karikatur musti tahu diri. Itulah, dari 122 karikatur Pramono yang dikumpulkan dan diseleksinya sendiri -- dari karyanya 1970-1981 -- yang terbit akhir bulan lalu, kritik tajam justru tentang kasus luar negeri. Karikatur memang bukan berita - sekalipun andai dipasang di halaman I. Gambar yang biasanya lucu, cenderung mengejek itu lebih dekat dengan tajuk. Lebih menyuarakan sikap dan pendapat pembuatnya atau media persnya. Gambar memang bisa lebih efektif. Sebuah contoh tentang peristiwa olahraga di tahun 1975. Final kejuaraan PSSI tahun itu, antara Persija dan PSMS, tak berlangsung lancar. Akhirnya Ketua Umum PSSI memutuskan keduanya sebagai "juara kembar". Dan Pramono pun menurunkan karikaturnya. Dua pemain bola lagi berhantam -- sementara Bardosono, Ketua Umum PSSI waktu itu, sedang menggergaji piala kejuaraan menjadi dua. Lalu omongan sang Ketua Umum: "Biar adil, dan satu-satunya di dunia . . . ! " Piala pun rusak digergaji, tentu saja. Tentang perpanjangan tahun ajaran 1979 yang lalu: Dua anak sekolah naik lori yang didorong orang tua mereka. Halte tempat lori itu harus berhenti ternyata tutup -- pindah lebih ke 'lebih-kurang 20 minggu'. Dan dengarlah suara lori itu: "Duiit, duuiit . . . jess, jess . . jesss. " Yusuf, Ali Wardhana Bayangkan, coba, bila kecenderungan Pram berkomentar lewat gambar seperti itu dilepas bebas. Sebab ia memang jago menampilkan potret katikatural. Dalam kumpulan ini, untuk kelompok 'Potret Kita', dengan bagusnya ia menampilkan gambar enam pejabat Indonesia Daryatmo, Ketua DPR Daoed Joesoef, Menteri P & K, M. Yusuf, Menhankam Awaloedin, Kapolri Ali Wardhana, Menkeu dan Habibie, Menteri Ristek. Paling mengesankan adalah gambar Ali Wardhana yang berkeringat menarik treksando. Asyiknya, di tengah per treksando itu ada selembar uang sepuluhribuan. Sebenarnya agak susah menilai kreativitas Pram lewat karikaturnya yang muncul di SH. Tak sepenuhnya yang dimuat adalah pilihannya. Untuk menghindari gambar berkomentar terlalu keras, ia selalu membuat lebih dari satu buah untuk satu topik. Dan sebuah tim redaksi di koran tersebut menentukan yang bisa ditampilkan. Dibanding G.M. Sudarta dari Kompas, Pram hanya kurang berhasil menghidupkan tokoh tetap.'Oom Pasikom', manusia ciptaan Darta, seperti telah menjadi seorang warganegara kita. Sementara 'Keong', anak Pram yang muncul tiap Rabu di SH pada halaman XII, terasa belum populer. Padahal tak jarang 'Keong' mengomentari satu kasus yang hangat. Ketika Hawaiian Senior dilarang di TVRI, 'Keong' bermain okulele di bawah pohon nyiur. Sedang asyik-asyiknya, sebutir kelapa menimpa kepalanya. "Tapi yang sempat lolos itu kemudian dianggap oleh tim redaksi SH terlalu keras," tutur Pram. Cuma dalam kumpulan ini 'Keong' belum ikut -- akan muncul dalam kumpulan tersendiri, nanti. Pram, alumnus Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia Asri Yogya, lahir di Magelang 1942, agaknya memang bertemperamen lebih keras dibanding Sudarta. Dari garis gambar pun hal itu bisa terasa. Goresan Pram lebih tajam, dan gerak figur terasa agak kaku. Darta lebih lembut, gambar figurnya lebih luwes bergaya, lebih plastis. Ujian bagi seorang karikaturis agaknya bila ia harus mengkarikaturkan masalah yang telah rutin. Misalnya soal PSSI yang selalu kalah itu. Tahun 1977, tentang PSSI yang kalah melulu -- yang biasanya diikuti alasan ini-itu dari pihak PSSI -- Pram menampilkan soal ini: Dalam kotak gambar nampak dua orang berkostum pemain bola, berpalang hitam lengan bajunya, menggotong bola-bola yang kempes ditancapi paku. Nah, di sudut luar kotak kanan bawah, seekor kepala kambing hitam nongol, dan mengembik: "Pasti gua lagi dicari-cari, nih ! " Biasanya, para karikaturis memfokuskan gambarnya pada PSSI-nya yang diwakili gambar pemain bola atau bolanya saja. Misalnya, bola yang dibedah dan kemudian ditemukan kertas berlembar-lembar bertuliskan 'suap'. Menarik, dalam buku Karikatur-Karikatur 1970-1981 ini penulis kata pengantar sama orangnya dengan yang menulis untuk kumpulan G.M. Sudarta yang terbit duluan: Th. Sumarthana. Bukan apa-apa --cuma sedikit terasa, seakanakan buku ini tak akan ada bila buku yang duluan tak terbit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus