KETIKA harian Sinar Harapan ramai memberitakan pembajakan
Woyla, tak sebiji karikatur mendukung pemberitaannya.
Sebetulnya Pramono, karikaturis yang bekerja di harian itu,
sudah gatal. Tapi "berita pertama saja sudah mendapat
peringatan yang berwenang," ceritanya. "Jadi, ya, riskan."
Di negeri yang menghendaki 'kritik membangun' agaknya karikatur
musti tahu diri. Itulah, dari 122 karikatur Pramono yang
dikumpulkan dan diseleksinya sendiri -- dari karyanya 1970-1981
-- yang terbit akhir bulan lalu, kritik tajam justru tentang
kasus luar negeri.
Karikatur memang bukan berita - sekalipun andai dipasang di
halaman I. Gambar yang biasanya lucu, cenderung mengejek itu
lebih dekat dengan tajuk. Lebih menyuarakan sikap dan pendapat
pembuatnya atau media persnya. Gambar memang bisa lebih efektif.
Sebuah contoh tentang peristiwa olahraga di tahun 1975. Final
kejuaraan PSSI tahun itu, antara Persija dan PSMS, tak
berlangsung lancar. Akhirnya Ketua Umum PSSI memutuskan keduanya
sebagai "juara kembar". Dan Pramono pun menurunkan karikaturnya.
Dua pemain bola lagi berhantam -- sementara Bardosono, Ketua
Umum PSSI waktu itu, sedang menggergaji piala kejuaraan menjadi
dua. Lalu omongan sang Ketua Umum: "Biar adil, dan satu-satunya
di dunia . . . ! " Piala pun rusak digergaji, tentu saja.
Tentang perpanjangan tahun ajaran 1979 yang lalu: Dua anak
sekolah naik lori yang didorong orang tua mereka. Halte tempat
lori itu harus berhenti ternyata tutup -- pindah lebih ke
'lebih-kurang 20 minggu'. Dan dengarlah suara lori itu: "Duiit,
duuiit . . . jess, jess . . jesss. "
Yusuf, Ali Wardhana
Bayangkan, coba, bila kecenderungan Pram berkomentar lewat
gambar seperti itu dilepas bebas.
Sebab ia memang jago menampilkan potret katikatural. Dalam
kumpulan ini, untuk kelompok 'Potret Kita', dengan bagusnya ia
menampilkan gambar enam pejabat Indonesia Daryatmo, Ketua DPR
Daoed Joesoef, Menteri P & K, M. Yusuf, Menhankam Awaloedin,
Kapolri Ali Wardhana, Menkeu dan Habibie, Menteri Ristek.
Paling mengesankan adalah gambar Ali Wardhana yang berkeringat
menarik treksando. Asyiknya, di tengah per treksando
itu ada selembar uang sepuluhribuan.
Sebenarnya agak susah menilai kreativitas Pram lewat
karikaturnya yang muncul di SH. Tak sepenuhnya yang dimuat
adalah pilihannya. Untuk menghindari gambar berkomentar terlalu
keras, ia selalu membuat lebih dari satu buah untuk satu topik.
Dan sebuah tim redaksi di koran tersebut menentukan yang bisa
ditampilkan.
Dibanding G.M. Sudarta dari Kompas, Pram hanya kurang berhasil
menghidupkan tokoh tetap.'Oom Pasikom', manusia ciptaan Darta,
seperti telah menjadi seorang warganegara kita. Sementara
'Keong', anak Pram yang muncul tiap Rabu di SH pada halaman XII,
terasa belum populer.
Padahal tak jarang 'Keong' mengomentari satu kasus yang hangat.
Ketika Hawaiian Senior dilarang di TVRI, 'Keong' bermain okulele
di bawah pohon nyiur. Sedang asyik-asyiknya, sebutir kelapa
menimpa kepalanya. "Tapi yang sempat lolos itu kemudian dianggap
oleh tim redaksi SH terlalu keras," tutur Pram. Cuma dalam
kumpulan ini 'Keong' belum ikut -- akan muncul dalam kumpulan
tersendiri, nanti.
Pram, alumnus Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia Asri Yogya,
lahir di Magelang 1942, agaknya memang bertemperamen lebih keras
dibanding Sudarta. Dari garis gambar pun hal itu bisa terasa.
Goresan Pram lebih tajam, dan gerak figur terasa agak
kaku. Darta lebih lembut, gambar figurnya lebih luwes
bergaya, lebih plastis.
Ujian bagi seorang karikaturis agaknya bila ia harus
mengkarikaturkan masalah yang telah rutin. Misalnya soal PSSI
yang selalu kalah itu. Tahun 1977, tentang PSSI yang kalah
melulu -- yang biasanya diikuti alasan ini-itu dari pihak PSSI
-- Pram menampilkan soal ini:
Dalam kotak gambar nampak dua orang berkostum pemain bola,
berpalang hitam lengan bajunya, menggotong bola-bola yang kempes
ditancapi paku. Nah, di sudut luar kotak kanan bawah, seekor
kepala kambing hitam nongol, dan mengembik: "Pasti gua lagi
dicari-cari, nih ! " Biasanya, para karikaturis memfokuskan
gambarnya pada PSSI-nya yang diwakili gambar pemain bola atau
bolanya saja. Misalnya, bola yang dibedah dan kemudian ditemukan
kertas berlembar-lembar bertuliskan 'suap'.
Menarik, dalam buku Karikatur-Karikatur 1970-1981 ini penulis
kata pengantar sama orangnya dengan yang menulis untuk kumpulan
G.M. Sudarta yang terbit duluan: Th. Sumarthana. Bukan apa-apa
--cuma sedikit terasa, seakanakan buku ini tak akan ada bila
buku yang duluan tak terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini