IA sudah hafal jumlah anak tangga ke ruang kerjanya di tingkat
II gedung Fakultas Sastra UI di Rawamangun, Jakarta. Berapa
kali ia harus melangkah agar sampai di pintu, lalu ke meja
kerjanya, juga ia tak pernah lupa.
Di hadapan para mahasiswanya, di ruang kuliah, ia mendengarkan
asistennya membacakan kuliahnya. Sesekali ia menyeling untuk
menjelaskan bagian-bagian kuliah yang diperkirakannya kurang
dipahami para murid. Dan selesai semua tugas hari itu, dengan
tuntunan seorang pembantu, ia kembali ke tempat tinggalnya di
kompleks perumahan dosen UI, tak berapa jauh dari gedung Fak.
Sastra UI.
Profesor Dr. Tujimah memang tak selincah dulu lagi. Tapi para
mahasiswa, asisten maupun rekan-rekannya di lingkungan Fakultas
Sastra UI tak merasa kehilangan apa-apa. Bahkan sampai di rumah
pun ia tetap meneruskan tugasnya sebagai biasa: menyusun laporan
penelitian, memeriksa skripsi para mahasiswanya, dan
menerjemahkan buku-buku.
" Untuk menyelesaikan pekerjaan-pekearjaan itu, saya dibantu
oleh asisten atau mahasiswa saya," katanya. Jika tidak
membacakan naskah laporan atau buku, mereka menuliskan apa yang
didikte sang profesor. Untuk jerih-payah itu, sang guru
mengeluarkan honorarium untuk mereka dari kantungnya sendiri.
Semua itu terjadi, karena Ketua Jurusan Sastra Semit Fak. Sastra
UI itu telah kehilangan daya penglihatannya. "Tapi datangnya
tidak sekaligus," ungkapnya. Pada mulanya ia tidak bisa melihat
benda-benda yang terletak agak jauh. Ini masih tertolong dengan
memakai kacamata. Tapi kemudian, Prof. Tujimah, 58 tahun, juga
mulai tidak mampu melihat benda-benda dalam jarak dekat. Dan
beberapa belas bulan lalu, mata yang uzur itu ternyata sama
sekali sudah tidak berfungsi lagi.
"Susahnya penyakit mata saya ini belum ada obatnya sekarang,"
tutur wanita yang tampak lebih muda dari usianya jni. Jelaslah
itu bukan penyakit mata biasa. Ia pun, tidak ingat lagi apa nama
penyakit yang menyerang bagian belakang bola matanya. Untuk
penyembuhan, berbagai usaha sudah ia lakukan. Misalnya, secara
tetap Prof. Tujimah berobat kepada ahli mata terkemuka, Prof.
Dr. Isak Salim.
Ketika melakukan penelitian ilmiah di Negeri Belanda, tak lupa
ia memeriksakan mata kepada para ahli di sana. Malang, mereka
semua mengemukakan hal yang sama: belum ditemukan obat untuk
penyakit yang dideritanya.
Tapi ia tidak menyerah -- paling sedikit ia terus berusaha agar
tidak menyerah. "Yang saya lakukan adalah mencoba menyesuaikan
diri dengan keadaan saya sekarang ini," katanya,datar. Yang
penting, "saya berusaha mencari kesibukan untuk menghilangkan
pikiran yang macam-macam." Lagi pula untuk tugas ilmiah, ia
memang tidak ada pilihan lain. Buku-buku yang menyangkut
bidangnya, semua tertulis dalam huruf biasa. Karena itu untuk
menembus kegelapan, wanita kelahiran Kotagede, Yogyakarta itu,
harus dibantu oleh asisten dan mahasiswa. Kecuali untuk membaca
majalah Gema Braille, sudah dapat dilakukannya sendiri, berkat
latihan sekali seminggu sejak enam bulan yang lalu.
Nyaris Celaka
Di samping itu, seperti umumnya tuna-netra, guru besar yang
belum juga menikah ini sangat memerlukan seorang pendamping.
Tempat ini sehari-hari diisi oleh seorang pembantu rumah tangga.
Pernah, karena pembantunya pulang kampung, dua kali ia nyaris
celaka. Pertama, ketika ia berusaha sendiri memasak air dengan
sebuah kompor listrik. Kompor sudah dinyalakan, teko air hampir
diletakkan, tatkala secarik kain lap jatuh persis di atas
tungku. "Untung saya mencium bau kain yang terbakar. Cepat-cepat
sakelar kompor saya cabut," tutur Tujimah sambil mengingat-ingat
kejadian itu.
Peristiwa kedua juga karena kompor. Entah mengapa waktu itu ia
tak berhasil mematikan kompor gasnya. Setengah panik, Tujimah
minta tolong pada orang-orang di warung, yang terletak tidak
jauh dari rumahnya. Kebakaran bisa dihindarkan.
Di kalangan cerdik-cendekia, tenaga ahli seperti Prof. Tujimah
masih belum banyak. Dia adalah murid yang sangat diandalkan oleh
almarhum Prof. Husein Djajadiningrat, ahli Islamologi yang
kenamaan itu. Dia juga yang diminta Prof. Prijono, Dekan
Fakultas Sastra UI waktu itu, untuk mengambil spesialisasi dalam
sastra dan bahasa Arab. Ini terjadi tahun 1953, tak lama sesudah
ia lulus sebagai sarjana sastra dan bahasa Timur. "Sebenarnya
saya kurang berminat dalam bidang ini," ungkap Tujimah. Tapi
tugas belajar ke Kairo diterimanya juga. Bahkan ia mendalami
sastra Arab sedemikian rupa, hingga diperkirakan kelak akan
sulit mencari gantinya. Meskipun begitu, ia mengaku sekarang
kurang lancar berbicara bahasa Arab. "Maklum, jarang saya
pergunakan untuk berbicara," katanya.
Minat dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan, agaknya sudah
bisa dilihat sejak usia muda. Anak pertama di antara lima
bersaudara dari keluarga pedagang biasa itu, berturut-turut
menamatkan HIS Muhammadiah, Neutrale Hollandshe Javanse Meisjes
School, MULO dan HIK Muhammadiah Pada 1942 ia mulai mengajar di
SMP Putri Muhammadiah, sekaligus kuliah di Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
Setelah lulus sarjana muda, Tujimah pindah kuliah ke Fakultas
Sastra UI, tempat ia kemudian mengabdikan diri hingga kini.
Sehari-hari, ia kini memberi kuliah untuk mata pelajaran Qur'an
dan Hadits kepada mahasiswa jurusan sastra semit, Fak. Sastra
UI.
Sekembali dari Kairo, 1955, Tujimah langsung diangkat sebagai
asisten ahli pada Fakultas Sastra UI. Tahun 1961 ia
mempersiapkan disertasi berjudul Asrarul Insan fi Ma'rifaturruhi
walrahman, yang merupakan satu analisa ilmiah atas karya
Arraniri, filsuf Islam keturunan Aceh yang terkenal itu.
Pada 1965 wanita berperawakan kecil mungil ini dikukuhkan
sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UI dalam ilmu sejarah Islam
dan bahasa Arab. Pidato pengukuhannya berjudul Al Quran dan
ajaran-ajarannya, kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Balai
Pustaka.
Waktu-waktu senggang di rumah, dihabiskan Tujimah dengan
mendengarkan kaset gamelan, musik klasik dan memelihara tanaman
di depan rumahnya. Ia tak pernah menyesali kebutaannya. Sebab,
"saya selalu membayangkan penderitaan dari orang-orang lain yang
justru mendapatkan musibah lebih buruk daripada saya," ucapnya
dengan tabah.'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini