Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Prof.dr. tujimah, hari ini

Guru besar fak. sastra ui-ilmu sejarah islam & bahasa arab, prof.dr. tujimah diserang kebutaan. ia tidak menyerah dan tetap memberi kuliah, membuat laporan ilmiah dan berlatih membaca braille. (tk)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA sudah hafal jumlah anak tangga ke ruang kerjanya di tingkat II gedung Fakultas Sastra UI di Rawamangun, Jakarta. Berapa kali ia harus melangkah agar sampai di pintu, lalu ke meja kerjanya, juga ia tak pernah lupa. Di hadapan para mahasiswanya, di ruang kuliah, ia mendengarkan asistennya membacakan kuliahnya. Sesekali ia menyeling untuk menjelaskan bagian-bagian kuliah yang diperkirakannya kurang dipahami para murid. Dan selesai semua tugas hari itu, dengan tuntunan seorang pembantu, ia kembali ke tempat tinggalnya di kompleks perumahan dosen UI, tak berapa jauh dari gedung Fak. Sastra UI. Profesor Dr. Tujimah memang tak selincah dulu lagi. Tapi para mahasiswa, asisten maupun rekan-rekannya di lingkungan Fakultas Sastra UI tak merasa kehilangan apa-apa. Bahkan sampai di rumah pun ia tetap meneruskan tugasnya sebagai biasa: menyusun laporan penelitian, memeriksa skripsi para mahasiswanya, dan menerjemahkan buku-buku. " Untuk menyelesaikan pekerjaan-pekearjaan itu, saya dibantu oleh asisten atau mahasiswa saya," katanya. Jika tidak membacakan naskah laporan atau buku, mereka menuliskan apa yang didikte sang profesor. Untuk jerih-payah itu, sang guru mengeluarkan honorarium untuk mereka dari kantungnya sendiri. Semua itu terjadi, karena Ketua Jurusan Sastra Semit Fak. Sastra UI itu telah kehilangan daya penglihatannya. "Tapi datangnya tidak sekaligus," ungkapnya. Pada mulanya ia tidak bisa melihat benda-benda yang terletak agak jauh. Ini masih tertolong dengan memakai kacamata. Tapi kemudian, Prof. Tujimah, 58 tahun, juga mulai tidak mampu melihat benda-benda dalam jarak dekat. Dan beberapa belas bulan lalu, mata yang uzur itu ternyata sama sekali sudah tidak berfungsi lagi. "Susahnya penyakit mata saya ini belum ada obatnya sekarang," tutur wanita yang tampak lebih muda dari usianya jni. Jelaslah itu bukan penyakit mata biasa. Ia pun, tidak ingat lagi apa nama penyakit yang menyerang bagian belakang bola matanya. Untuk penyembuhan, berbagai usaha sudah ia lakukan. Misalnya, secara tetap Prof. Tujimah berobat kepada ahli mata terkemuka, Prof. Dr. Isak Salim. Ketika melakukan penelitian ilmiah di Negeri Belanda, tak lupa ia memeriksakan mata kepada para ahli di sana. Malang, mereka semua mengemukakan hal yang sama: belum ditemukan obat untuk penyakit yang dideritanya. Tapi ia tidak menyerah -- paling sedikit ia terus berusaha agar tidak menyerah. "Yang saya lakukan adalah mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan saya sekarang ini," katanya,datar. Yang penting, "saya berusaha mencari kesibukan untuk menghilangkan pikiran yang macam-macam." Lagi pula untuk tugas ilmiah, ia memang tidak ada pilihan lain. Buku-buku yang menyangkut bidangnya, semua tertulis dalam huruf biasa. Karena itu untuk menembus kegelapan, wanita kelahiran Kotagede, Yogyakarta itu, harus dibantu oleh asisten dan mahasiswa. Kecuali untuk membaca majalah Gema Braille, sudah dapat dilakukannya sendiri, berkat latihan sekali seminggu sejak enam bulan yang lalu. Nyaris Celaka Di samping itu, seperti umumnya tuna-netra, guru besar yang belum juga menikah ini sangat memerlukan seorang pendamping. Tempat ini sehari-hari diisi oleh seorang pembantu rumah tangga. Pernah, karena pembantunya pulang kampung, dua kali ia nyaris celaka. Pertama, ketika ia berusaha sendiri memasak air dengan sebuah kompor listrik. Kompor sudah dinyalakan, teko air hampir diletakkan, tatkala secarik kain lap jatuh persis di atas tungku. "Untung saya mencium bau kain yang terbakar. Cepat-cepat sakelar kompor saya cabut," tutur Tujimah sambil mengingat-ingat kejadian itu. Peristiwa kedua juga karena kompor. Entah mengapa waktu itu ia tak berhasil mematikan kompor gasnya. Setengah panik, Tujimah minta tolong pada orang-orang di warung, yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Kebakaran bisa dihindarkan. Di kalangan cerdik-cendekia, tenaga ahli seperti Prof. Tujimah masih belum banyak. Dia adalah murid yang sangat diandalkan oleh almarhum Prof. Husein Djajadiningrat, ahli Islamologi yang kenamaan itu. Dia juga yang diminta Prof. Prijono, Dekan Fakultas Sastra UI waktu itu, untuk mengambil spesialisasi dalam sastra dan bahasa Arab. Ini terjadi tahun 1953, tak lama sesudah ia lulus sebagai sarjana sastra dan bahasa Timur. "Sebenarnya saya kurang berminat dalam bidang ini," ungkap Tujimah. Tapi tugas belajar ke Kairo diterimanya juga. Bahkan ia mendalami sastra Arab sedemikian rupa, hingga diperkirakan kelak akan sulit mencari gantinya. Meskipun begitu, ia mengaku sekarang kurang lancar berbicara bahasa Arab. "Maklum, jarang saya pergunakan untuk berbicara," katanya. Minat dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan, agaknya sudah bisa dilihat sejak usia muda. Anak pertama di antara lima bersaudara dari keluarga pedagang biasa itu, berturut-turut menamatkan HIS Muhammadiah, Neutrale Hollandshe Javanse Meisjes School, MULO dan HIK Muhammadiah Pada 1942 ia mulai mengajar di SMP Putri Muhammadiah, sekaligus kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Setelah lulus sarjana muda, Tujimah pindah kuliah ke Fakultas Sastra UI, tempat ia kemudian mengabdikan diri hingga kini. Sehari-hari, ia kini memberi kuliah untuk mata pelajaran Qur'an dan Hadits kepada mahasiswa jurusan sastra semit, Fak. Sastra UI. Sekembali dari Kairo, 1955, Tujimah langsung diangkat sebagai asisten ahli pada Fakultas Sastra UI. Tahun 1961 ia mempersiapkan disertasi berjudul Asrarul Insan fi Ma'rifaturruhi walrahman, yang merupakan satu analisa ilmiah atas karya Arraniri, filsuf Islam keturunan Aceh yang terkenal itu. Pada 1965 wanita berperawakan kecil mungil ini dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Sastra UI dalam ilmu sejarah Islam dan bahasa Arab. Pidato pengukuhannya berjudul Al Quran dan ajaran-ajarannya, kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Balai Pustaka. Waktu-waktu senggang di rumah, dihabiskan Tujimah dengan mendengarkan kaset gamelan, musik klasik dan memelihara tanaman di depan rumahnya. Ia tak pernah menyesali kebutaannya. Sebab, "saya selalu membayangkan penderitaan dari orang-orang lain yang justru mendapatkan musibah lebih buruk daripada saya," ucapnya dengan tabah.'

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus