Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Restu Para Kiai

Dikecewakan PDI Perjuangan dan belajar dari Pemilu 2009, Prabowo kini masuk ke semua jaringan untuk mendulang suara. Salah satu sasaran terpenting: organisasi Islam.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRABOWO Subianto hanya tersenyum-senyum mendengar Djan Faridz mengkampanyekan dirinya. Rabu malam pekan lalu itu, setelah berbicara perihal pesantren dan demokratisasi dalam Sarasehan Nasional Ulama Pesantren di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Gandaria, Jakarta Selatan, Prabowo ganti mendengarkan pidato Djan.

Tak berbicara panjang-lebar tentang pesantren, Menteri Perumahan Rakyat itu justru lebih banyak memuji calon presiden dari Partai Gerindra tersebut. "Beliau itu sahabat dan guru saya. Saya mengagumi Pak Prabowo sejak masih di Kopassus," kata Djan di hadapan ratusan ulama dan santri.

Menurut Djan, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, cita-cita Prabowo dengan dia sama, yakni ingin menyejahterakan rakyat Indonesia. Karena itu, dia menambahkan, dukungan ke Prabowo tak hanya dalam hal keinginan Prabowo mengembangkan pesantren, tapi juga pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. "Visi-misi Pak Prabowo, Gerindra, dan PPP itu sama. Sama-sama memajukan Nahdlatul Ulama, sama-sama memajukan umat Islam," ujarnya.

Djan dan Prabowo sudah berteman lama. Bersama Prabowo, Djan pernah ikut melobi Megawati Soekarnoputri agar Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu segera merestui Joko Widodo sebagai calon Gubernur DKI, yang kemudian diusung koalisi Gerindra-PDI Perjuangan. Tujuan Djan ketika itu: menghadang Fauzi Bowo, Gubernur DKI yang kembali mencalonkan diri.

Prabowo tak menampik "kemesraan" malam itu buah rentetan kedekatannya dengan petinggi PPP yang terjalin dua pekan terakhir. "Kemesraan" itu pula yang kemudian dibuhulkan dalam acara istigasah kubra partai berlambang Ka'bah ini di Istora Senayan pada Jumat pekan lalu. Ketika itu, Prabowo datang dengan helikopter, meninggalkan acara kampanye Gerindra di Kabupaten Bandung.

Disambut antara lain oleh Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Ketua Majelis Syariah PPP Nur Iskandar, mata Prabowo berbinar saat menatap panggung bergambar dirinya. Seperti Djan, Suryadharma memuji Prabowo dan Gerindra, yang disebutnya partai kebangsaan tapi religius. Ini pula yang membuat keduanya sepakat berkoalisi.

Namun adanya koalisi PPP-Gerindra dibantah Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa. Menurut dia, itu hanya manuver Suryadharma. Suharso menyebutkan, dari enam nama yang dihasilkan Musyawarah Kerja Nasional PPP di Bandung, Februari lalu, nama Prabowo tak masuk daftar. Dari enam nama itu, justru salah satu yang direkomendasikan adalah Joko Widodo. Suharso mengaku terkejut oleh manuver Suryadharma tersebut. "Seluruh pengurus daerah juga kaget," kata Suharso.

Menurut Nur Iskandar, gagasan kampanye bersama itu muncul ketika mereka bertemu dengan Prabowo di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 16 Maret lalu. Saat itu, Prabowo akan melakukan kampanye perdana di Solo dan Sragen. Adapun Suryadharma dan Djan hendak ke Surabaya. Kepada mereka, saat itu Prabowo menyatakan ingin sowan ke Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. "Selain minta restu kiai, dia ingin memaparkan niatnya menghidupkan lagi parpol Islam agar ada kanalisasi politik Islam," ujar Nur.

Dari sinilah safari Prabowo ke para kiai lantas berderap. Ditemani Yenny, putri Abdurrahman Wahid, Prabowo datang menemui Kiai Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, kemudian Kiai Zainuddin Djazuli, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo, Kediri.

Menurut Kiai Anwar Iskandar, adik Nur Iskandar, setelah Prabowo datang ke Sidogiri, Nawawi memanggil sejumlah kiai dan mengisyaratkan telah memberikan dukungan kepada Prabowo. Kiai sepuh kesengsem pada figur Prabowo, yang dianggap tegas dan bisa menjaga Indonesia dalam koridor Negara Kesatuan RI. "Isyarat Kiai itulah yang akhirnya diterjemahkan para kiai NU yang kini bergabung ke PPP," kata Anwar.

n n n

Prabowo mengaku belajar dari kegagalannya pada Pemilu 2009. Kepada Tempo, yang mewawancarainya di rumahnya di Hambalang, Bogor, Oktober tahun lalu, Prabowo menceritakan bagaimana dia harus pontang-panting mencari dukungan koalisi. Habis-habisan berkampanye pada 2009, perolehan yang ditangguknya hanya 4,5 persen suara pemilu legislatif atau sekitar 6,8 juta pemilih (26 kursi).

Jumlah itu kurang dari target perolehan kursi minimal untuk maju sebagai calon presiden, yakni 112 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan koalisi Nusantara yang dibangun Gerindra dengan lima pemimpin partai Islam saat itu buyar. Partai Amanat Nasional kala itu hanya memperoleh 46 kursi, sementara PPP 38 kursi. Jika ditotal, hanya 110 kursi-kurang dua kursi.

Menurut sumber Tempo, dalam pertemuan terakhir di rumah Hashim Djojohadikusumo, adiknya, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, awal Mei 2009, Prabowo berang lantaran gagal mendapat tambahan kursi. Apalagi Suryadharma Ali, Ketua PPP waktu itu, kemudian menyatakan partainya tak bisa melanjutkan koalisi lagi. PPP berpaling ke Demokrat. Prabowo terpaksa merapat ke PDI Perjuangan dan menerima opsi menjadi wakil Megawati. Pasangan ini akhirnya juga gagal meraih kursi presiden dan wakil presiden.

Karena itu, kini Prabowo mati-matian memasang target partainya minimal mendapat 15 persen suara pada pemungutan suara yang berlangsung pekan ini. Itu supaya dia tak lagi disandera perolehan suara koalisi partai-partai yang ada. "Paling tidak, dengan modal 15 persen suara, kondisinya tak separah lima tahun lalu," katanya.

Menurut Ketua Umum Gerindra Suhardi, yang diincar partainya antara lain memang berkoalisi dengan partai-partai Islam. Apalagi jahitan komunikasi membangun koalisi Nusantara, koalisi dengan sejumlah partai Islam, ini pernah dirintis pada 2009-tapi gagal akibat kursi. Saat itu, Prabowo menjalin komunikasi politik dengan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Suryadharma.

Kali ini rintisan membangun koalisi itu juga sudah dilakukan. Prabowo, misalnya, sudah berkali-kali bertemu dengan Hatta Rajasa. Februari lalu, contohnya, Prabowo bertandang ke rumah Hatta di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Salah satu hal yang digagas adalah kemungkinan dua tokoh ini berduet pada pemilu presiden nanti. Kepada Tempo, Hatta membenarkan adanya pertemuan-pertemuan dengan Prabowo. Soal berpasangan dengan Prabowo, ia menjawab, "Politik itu dinamis karena tergantung perolehan suara nantinya berapa."

Kendati pernah dikecewakan PPP, toh akhirnya hubungan Prabowo dengan partai ini pulih kembali. Menurut sumber Tempo yang dekat dengan Prabowo, hubungan itu mencair setelah Suryadharma bersedia mengembalikan sebagian "mahar" yang disetor Prabowo ke PPP pada Pemilu 2009. Kedua petinggi partai itu resmi mulai "rujuk" kembali pada tahun ini.

Kepada Tempo, seorang pengurus pusat Gerindra bercerita, meski sudah membangun jaringan koalisi, sesungguhnya Prabowo masih berjuang keras melawan kekecewaannya lantaran dikhianati sejumlah pemimpin partai politik. Ini, kata sumber Tempo itu, termasuk ingkar janji yang dilakukan PDIP atas "Perjanjian Batutulis Bogor" pada 2009-perjanjian yang menyatakan PDIP akan mendukung Prabowo menjadi presiden pada Pemilu 2014.

Belajar dari "ingkar janji para politikus" inilah Prabowo, kata sumber itu, kemudian memilih cara pendekatan lain: masuk ke organisasi-organisasi Islam, antara lain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, serta tokoh-tokohnya, kampus, dan para pemilih pemula. Saat bertemu dengan Kiai Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Februari lalu, misalnya, Prabowo tak segan mencium tangan sang Kiai.

Menurut Suhardi, semua langkah yang dilakukan Prabowo juga dalam rangka menjaring calon wakil presiden pendampingnya. Nama-nama kepala daerah atau mereka yang memiliki prestasi juga masuk daftar. Suhardi mencontohkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad.

Salah satu kepala daerah yang gencar disebut-sebut layak jadi pendamping Prabowo adalah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Di luar Ahmad, ada dua nama lain, Hidayat Nur Wahid dan Anis Matta. Ketiganya, November tahun lalu, terpilih sebagai orang yang paling diinginkan kader Partai Keadilan Sejahtera-lewat ajang Pemilihan Raya-sebagai calon presiden. Di luar nama ini, ada nama Ketua Dewan Pakar Gerindra Burhanuddin Abdullah dan Kiai Said Aqil Siroj. "Intinya yang diharapkan bisa mendampingi Prabowo untuk memenangi pemilihan presiden," ujar Suhardi.

Suhardi mengakui pencalonan Joko Widodo sebagai presiden berefek untuk Gerindra. Harapan PDIP bergabung dengan Gerindra dalam koalisi besar pemilihan presiden pupus. "Tapi kami yakin akan memperoleh suara signifikan," katanya.

Sigi yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik setelah deklarasi Jokowi memperlihatkan elektabilitas Gerindra di angka 12 persen. Angka itu membayangi perolehan suara Partai Golkar, 14,9 persen. Suara Gerindra ini terkerek seiring dengan naiknya elektabilitas Prabowo-meski sebenarnya mulai menurun akibat pengaruh Jokowi.

Suhardi tak memungkiri efek Jokowi akan mengubah pula peta koalisi. Sejumlah partai, seperti PKS dan Demokrat, misalnya, diperhitungkan sulit bisa berkoalisi dengan PDIP. Partai yang tak mungkin merapat ke PDIP itulah yang diincar Gerindra. Desember tahun lalu, kata Suhardi, Prabowo sudah bertemu dengan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjajaki kemungkinan kedua partai ini berkoalisi. "Namun pembicaraan awal itu belum menghasilkan apa pun. Demokrat masih menunggu perolehan suara pemilu dan selesainya proses konvensi," ujarnya.

Pilihan lain adalah merapat ke Golkar. Untuk yang ini agaknya tak sulit. Menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo, meski belum dibicarakan, hubungan dengan partai ini tak pernah putus. "Bagaimanapun, kami dulu juga Golkar, jadi lebih mudah berkoalisi," kata Hashim.

Widiarsi Agustina, Hari Tri Wasono, Apriliani Gita Fitria, Linda Trianita, Muhammad Muhyiddin, Ahmad Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus