Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tanggul kolam lumpur Lapindo, ribuan orang berkumpul. Terik matahari Ahad pekan lalu seperti tak mereka pedulikan. Menengadahkan tangan ke atas, ribuan warga Sidoarjo itu mengucapkan syukur kepada Tuhan. "Putusan ini membuat hati kami seperti disiram es saking senengnya," kata Juwito, koordinator korban lumpur panas tersebut, kepada Tempo. Menurut dia, ada sekitar 6.000 korban Lapindo yang berkumpul memanjatkan syukur.
Empat hari sebelumnya, di Jakarta, majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Hamdan Zoelva mengetuk putusan yang membuat warga menggelar doa syukur itu. Mahkamah mengabulkan uji materi yang diajukan enam korban semburan lumpur Lapindo atas Pasal 9 ayat 1 huruf a Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran Perubahan 2013.
Pasal ini menyatakan anggaran negara dapat digunakan membayar ganti rugi terhadap korban yang berada di luar peta area terkena dampak. Ketentuan hanya untuk korban yang berada di luar peta area terkena dampak inilah yang dinilai keenam warga itu tak adil. Padahal masih 3.800 korban di dalam peta area terkena dampak yang belum selesai soal ganti ruginya.
Dalam penanganan lumpur Lapindo, pemerintah memang membagi dua kategori korban: yang berada di dalam dan di luar peta area terkena dampak. Dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, korban di dalam peta area terkena dampak menjadi tanggungan Lapindo, sementara yang di luar tanggungan pemerintah. Peraturan itu juga menyatakan Lapindo harus rampung menyelesaikan pembayaran pada 2009.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan pasal itu memang menimbulkan ketidakadilan terhadap korban yang berada di dalam dan di luar peta. Menurut Mahkamah, negara semestinya juga memastikan penyelesaian ganti rugi korban yang berada di dalam peta. "Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah peta area terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu," tulis Mahkamah dalam putusan setebal 74 halaman tersebut.
Salah seorang warga yang berharap segera mendapat ganti rugi dengan diketuknya putusan ini adalah Hamidah. Warga Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, ini mengaku belum mendapatkan sisa pembayaran ganti rugi sebesar Rp 700 juta yang harus dibayarkan oleh PT Minarak Lapindo. "Pembayarannya selalu ditunda-tunda," ujarnya.
Menurut Hamidah, sudah delapan tahun ia menunggu janji pembayaran atas lahannya yang lenyap karena lumpur. Tak memiliki apa pun, kini ia tinggal di sebuah kamar kos dengan sewa per bulan Rp 250 ribu bersama suami dan tiga anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia bekerja sebagai "pemandu wisata" di bibir tanggul bagi mereka yang ingin menonton kolam Lapindo. Pekerjaan ini tak selalu mendatangkan uang. "Kadang pulang enggak membawa uang," katanya. Jika dia tak membawa uang, harapan satu-satunya adalah dari penghasilan suaminya yang menjadi tukang ojek.
Perempuan 38 tahun ini mengatakan ingin segera memiliki rumah kembali. Jika mendapat ganti rugi, Hamidah menyatakan yang dilakukan pertama kali adalah melunasi utangnya yang sudah menumpuk di sejumlah kerabatnya. Lalu uang itu juga akan ia gunakan mengobati penyakit kanker yang dideritanya, yang menurut dokter sudah stadium II. "Satu-satunya harapan saya hanyalah ganti rugi ini," ujarnya. Saat Hamidah mengucapkan kata-kata itu, air mata mengalir di pipinya.
Gelagat bakal berlarut-larutnya pembayaran yang menjadi tanggungan Lapindo sebenarnya sudah tercium sejak dulu. Pasca-putusan Mahkamah Agung pada 2008, yang menyatakan Lapindo tak bersalah atas musibah semburan lumpur dari sumur Banjar Panji-1, pembayaran ganti rugi warga mulai tersendat. "Apalagi setelah Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan kasus ini, pembayaran semakin tersendat," ucap pengacara korban Lapindo, Mursid Murdiantoro, kepada Tempo.
Pada awal 2009, korban sempat menggeruduk kantor Lapindo karena khawatir pembayaran tak kunjung selesai tepat target. Lapindo pun sempat melunak dan membayar lunas sebagian korban. Namun, pada akhir 2009, pembayaran kembali tersendat. Ujungnya, pada akhir 2012, Lapindo menyatakan tak lagi memiliki uang untuk melunasi sisa pembayaran. Sejak itu, nasib 3.800 korban pun terkatung-katung. "Nilai tunggakan yang masih harus dibayar Lapindo Rp 850 miliar," kata Mursid.
Upaya advokasi sempat beberapa kali dilakukan. Namun sikap Lapindo makin keras. Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan mereka tak bersalah menjadi tameng perusahaan miliki Aburizal Bakrie itu. "Mereka semakin berani menyatakan mereka hanya memberikan uang belas kasihan saja karena putusan MA itu," ujar Mursid.
Merasa lemah secara hukum, sejumlah korban sempat pesimistis bakal mendapatkan haknya. Tapi harapan mereka kembali muncul setelah pemerintah menyatakan akan menyelesaikan pembayaran ganti rugi korban di luar area terkena dampak pada 2013. Sejumlah korban lalu mendatangi Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pada Maret 2013.
Dalam pertemuan di Kementerian Keuangan itu, mereka meminta pemerintah mengambil alih pembayaran korban sisa kewajiban Lapindo. Namun yang mereka terima jawaban pahit. Pemerintah menyatakan tak bisa mengabulkan permintaan mereka karena tak ada dasar hukumnya. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang menjadi Ketua Dewan Pengarah, lalu memberi masukan. Ia menyarankan korban mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. "Pak Djoko bilang, supaya ada dasar hukumnya, makanya kami layangkan gugatan itu pada September," ucap Mursid.
Juru bicara Lapindo, Andi Darussalam Tabusalla, membantah jika pihaknya disebut lepas tangan dalam soal ganti rugi ini. Menurut dia, Lapindo tetap bertanggung jawab terhadap nasib korban lumpur. Hanya, kata dia, perusahaannya tengah dalam kondisi keuangan yang tak memungkinkan untuk melunasi kewajibannya. "Yang jelas, kami ingin ini cepat selesai. Kalau ada uang pasti akan kami bayar," ujar Andi.
Dari sisi hukum, putusan Mahkamah itu ternyata menimbulkan sejumlah tafsir yang berbeda. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, misalnya, mengatakan, dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, pemerintah dengan kekuasaannya bisa melakukan upaya paksa terhadap Lapindo untuk membayar kerugian korban. Pemerintah, kata dia, bisa saja menyita seluruh aset Lapindo dan perusahaan "di atas"-nya untuk menalangi pembayaran warga. "Di situ disebutkan dengan segala kekuasaannya, jadi bisa saja dilakukan penyitaan," ujarnya.
Nah, pendapat berbeda dinyatakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Sulardi. Menurut dia, putusan Mahkamah ini sebenarnya hanya menegaskan bunyi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Pemerintah dianggap tak bisa melakukan upaya paksa kepada Lapindo karena putusan Mahkamah Agung menyatakan Lapindo tak bersalah. "Dan dalam perpres itu sebenarnya disebut jual-beli antara warga dan Lapindo, bukan ganti rugi. Perbedaannya, jual-beli itu tak bisa dipaksakan, sementara ganti rugi itu bisa dipaksakan," tuturnya.
Namun, Sulardi mengatakan, putusan Mahkamah menyatakan pemerintah harus memperlakukan semua korban lumpur Lapindo secara adil. Karena itu, menurut dia, pemerintah sebaiknya menalangi dulu pembayaran terhadap korban. "Ini perspektifnya adalah kepastian nasib warga negara yang harus dijamin oleh pemerintah, tapi kewajiban pembayaran tetap pada Lapindo."
Pendapat Sulardi disetujui Mursid. Menurut dia, pemerintah memang harus menalangi ganti rugi terhadap korban. Menurut dia, konsep memaksa yang dapat dilakukan negara adalah dengan memastikan apakah Lapindo masih memiliki uang atau tidak untuk dapat membayar kerugian. Jika Lapindo tak memiliki uang tunai lagi, kata dia, pemerintahlah yang berkewajiban menjamin pembayaran terhadap korban. "Harus ditalangi dulu," ujarnya.
Pemerintah sendiri rupanya masih gamang dalam menentukan sikap pasca-putusan Mahkamah Konstitusi itu. Meski menyatakan masih mempelajari putusan tersebut, Menteri Keuangan Chatib Basri sudah memberi sinyal tak akan menalangi utang Lapindo. "Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo harus manggil Lapindo," ucapnya.
Juru bicara Kementerian Pekerjaan Umum, Danis Sumadilaga, menyatakan pihaknya belum bisa memberi tanggapan. Dia menyatakan Menteri Djoko Kirmanto akan membahas putusan ini dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lebih dulu. "Ada kemungkinan baru pekan depan dibahas," ujarnya.
Febriyan (Jakarta), Muhammad Syarrafah (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo