Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Terang di Gunung Padang

Tim dari berbagai disiplin ilmu meneliti situs purbakala yang mengundang kontroversi: Gunung Padang. Diyakini 10 kali lebih luas daripada Candi Borobudur. Mengapa sejumlah arkeolog dan vulkanolog ragu terhadap temuan bangunan purba di situs itu?

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Mencari Terang di Gunung Padang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ANGIN menyapu awan di langit Cianjur, Jawa Barat, malam itu. Sang candra mulai mengintip, memamerkan bentuk penuhnya di tengah Ramadan, mengusir gelap di bumi Parahyangan. Di Gunung Padang, 45 kilometer barat daya Cianjur, terangnya setara dengan fajar. Mata yang sebelumnya terselimuti kelam kini bisa dengan mudah menyaksikan ribuan batu yang terserak di situs purbakala tersebut.

"Sesuai dengan namanya, gunung yang terang-benderang," ujar Nanang, seorang juru pelihara situs, kepada Tempo, awal bulan ini. Di situs purbakala inilah sekelompok ilmuwan tengah mencari terang rahasia bangunan purba yang bersemayam di dolok yang menjulang seratus meter tersebut. Mereka menduga usia bangunan itu supertua: antara 4.700 dan 10.900 tahun sebelum Masehi. Kalau hitungan mereka benar, bangunan di tanah Sunda itu jauh lebih tua ketimbang Piramida Giza di Mesir, sekitar 2.550 sebelum Masehi, dan Stonehenge di Inggris, 2.400-2.200 sebelum Masehi.

Ukurannya pun masif. Sementara luas situs sekarang—terdiri atas lima teras dan tangga batu—sekitar 4.000 meter persegi, bangunan yang tertimbun tanah Gunung Padang memiliki ketinggian 100 meter persegi dan luas sekitar 15 hektare. "Kita akan melihat peninggalan sejarah yang sepuluh kali lebih besar daripada Borobudur," ujar arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar.

Benarkah sejumlah klaim itu?

l l l

Gunung Padang mengacu pada gunung dengan puncak 894 meter di atas permukaan laut di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur. Di pucuknya terdapat struktur yang terdiri atas susunan batu gunung. Terdiri atas tangga batu dan lima undakan yang menghadap ke Gunung Gede di barat laut. Catatan Pusat Arkeologi Nasional menyatakan bangunan yang diduga untuk pemujaan itu ditemukan oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom, pada 1914. Setelah terlupakan oleh dunia akademis, situs ditemukan kembali oleh tiga petani Desa Karyamukti, Endi, Soma, dan Abidin, saat membuka lahan di atas gunung pada 1979.

Catatan itu tidak sepenuhnya benar. Zainal Abidin, kini 69 tahun, mengatakan sedang bekerja di Kementerian Agama Kabupaten Cianjur ketika seorang penilik kebudayaan dari Kecamatan Campaka memintanya mengantar ke "sebuah tempat ziarah keramat" di Desa Karyamukti, 33 tahun lalu. "Saya antar ke Gunung Padang," ujar Abidin. Mereka datang ke lokasi bersama kuncen Endi dan wakil lurah Soma.

Warga Karyamukti mengenal Gunung Padang sebagai bekas tempat tinggal Prabu Siliwangi. Sebagai pengantar tidur, ibu Abidin menceritakan legenda itu. Pada masa akhir Kerajaan Pajajaran, 1482, Raden Pamanah Rasa Prabu Siliwangi yang menganut Hindu terdesak pengaruh Islam, sehingga meninggalkan ibu kota Pajajaran, Pakuan—sekitar Bogor—ke arah selatan. Satu di antara sekian tempat persinggahannya adalah Gunung Padang. "Sewaktu Prabu pergi, 29 anak buahnya yang ahli seni tetap tinggal dan moksa di sini," kata Abidin, yang kini tinggal di Desa Cimangkok, Kecamatan Sukalarang, Sukabumi.

Jadilah Gunung Padang tempat cari berkah, terutama bagi pekerja seni. Abidin paling sering menemui sinden—datang paling jauh dari Karawang, sekitar 80 kilometer di utara—yang menginap bermalam-malam di puncak gunung guna membeningkan pita suara. Ada pula dalang dan pemain gamelan.

Pencatatan pada 1979 itu memasukkan Gunung Padang dalam peta arkeologi. Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo mengatakan struktur di Gunung Padang dahsyat dari sisi ukuran dan komponen yang memiliki teras dan balai. Strukturnya mirip Candi Penanggungan, peninggalan Majapahit abad XV, dan jadi dasar pembangunan semua pura di Bali, yang terdiri atas halaman luar, tengah, dan utama. Meskipun masuk golongan "istimewa" dan "satu-satunya di Asia Tenggara", Gunung Padang, seperti yang diakui Junus, tak mendapat prioritas arkeolog. Sepanjang 33 tahun, hanya satu buku yang membahas situs tersebut, yaitu Peninggalan Megalitik di Cianjur terbitan Arkeologi Nasional pada 1985. Itu pun digabung dengan cerita situs lain.

Gunung Padang jadi buah bibir setelah Tim Katastropik Purba meneliti patahan gempa Cimandiri, sekitar empat kilometer utara situs tersebut. Tim ini bentukan Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam Andi Arief. Anggotanya lima geolog. Kontroversi merebak sejak Andi merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang pada awal tahun lalu. "Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang," kata Andi tiga pekan lalu (baca "Mimpi Nobel Gunung Emas"). "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade." Kecurigaannya berawal dari bentuk Gunung Padang yang mirip segitiga sama kaki jika dilihat dari utara. Sebelumnya, tim juga menemukan bentuk serupa di Gunung Sadahurip di Garut dan Bukit Dago Pakar di Bandung saat meneliti Patahan Lembang.

Tim meminjam alat geolistrik dan ground-penetrating radar alias georadar milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Geolistrik memanfaatkan arus listrik untuk meneliti material di bawah tanah. Arus yang dialirkan akan mengalami perbedaan tegangan di setiap perbedaan material. Georadar bekerja dengan prinsip yang sama. Bedanya, alat ini menggunakan radiasi elektromagnet di frekuensi radio. Hasil alat yang biasa digunakan untuk eksplorasi tambang ini, "Ada struktur yang teratur di dalam gunung," ujar Andi. Dengan bekal temuan ini, Andi kemudian membawa tim ke Istana. Mereka bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Februari 2011.

Mendapat restu Presiden, Andi melaju. Pencitraan geolistrik dan georadar baru temuan awal yang harus diverifikasi. Sebagai pembuktian awal, tim mengambil gambar bawah tanah dari Bukit Dago Pakar yang memiliki terowongan sisa masa kolonial. Maknyus, gambarnya mirip dengan struktur yang diduga bangunan di Gunung Padang.

Pembuktian berlanjut dengan pengeboran. Di bawah arahan pakar gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, tim mengebor—diameter 20 sentimeter, sampai kedalaman 26 meter—untuk melihat material di bagian bawah. Posisinya di sisi barat teras dua dan selatan teras lima. "Sampai kedalaman itu, masih ditemukan batu seperti di permukaan," ujar Danny.

Pengeboran juga mendapati lapisan pasir dan kerikil sungai di kedalaman 4-5 meter. Dugaan awal, menurut mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, lapisan ini sebagai peredam gempa. Temuan yang paling fantastis adalah dugaan umur bangunan. Tim menggunakan perhitungan carbon dating, penanggalan karbon. Uji laboratorium di Badan Tenaga Nuklir Nasional memperkirakan umur sampel karbon di sisi barat teras dua 4.700 sebelum Masehi dan selatan teras lima 10.900 sebelum Masehi.

Mulai Maret 2011, tim diperkuat ahli dari berbagai disiplin ilmu, dari arsitek, filolog, astronom, sampai arkeolog. Anggotanya membengkak dari lima geolog jadi selusin cendekiawan lintas ilmu. Namanya jadi Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang. Selapis demi selapis, mereka mencari jawaban atas misteri Gunung Padang.

Peneliti kompleksitas sosial Hokky Situngkir bersama rekan-rekannya di lembaga riset Bandung Fe Institute meneliti situs tersebut sejak akhir 2007. Perhatiannya tersedot pada "Batu Gamelan", batu yang menghasilkan bunyi pukulan bernada di teras satu. Lulusan teknik elektro Institut Teknologi Bandung ini mendapati sepuluh batu yang mengeluarkan nada mirip F, G, D, dan A. Dugaan optimistisnya, masyarakat saat itu sudah memiliki budaya musik. Kemungkinan yang lebih sederhana, batu-batu itu berfungsi sebagai kentungan di bawah situs.

Fungsi lain adalah pengamatan bintang. Dugaan ini diambil dari posisi batu di teras dua yang, 3.000 tahun lalu, menghadap bintang Polaris, Dubhe, dan Merak di utara. Ketiga bintang itu biasa sebagai patokan perubahan musim. Di teras empat, terdapat susunan batu membentuk serupa pagar dengan ukuran 4,4 x 3,1 meter. Di tengahnya ada batu seberat kurang-lebih 70 kilogram. Masyarakat mengenalnya sebagai "Batu Gendong", yang membantu mewujudkan keinginan jika orang mampu mengangkatnya. Hokky memperkirakan batu itu merupakan potongan dari tiang jam matahari.

Mantan Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Indonesia Jawa Barat Pon Sapriamulya Purajatnika mengatakan, Gunung Padang ini bertahan mengarungi zaman karena teknik bangunan yang mumpuni. Batu andesit berbentuk balok—kebanyakan segi lima—itu dihunjamkan ke dinding gunung bertumpukan, hampir tanpa celah. Di selanya, batu yang lebih kecil yang mirip pasak dijejalkan sebagai pengunci. "Ini struktur yang luar biasa," katanya.

Pada Juni dan Juli lalu, arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar, memutari gunung dari kaki sampai puncak. Di balik pohon kaliandra dan bambu, dia menemukan struktur batu serupa terasering dengan tinggi dan lebar 1,5 meter. Total ada 20 titik. Ada yang sudah nongol dan tinggal dibersihkan dari tanah, ada yang terselimuti tanah dengan ketebalan sekitar 10 sentimeter. Struktur paling jelas berada di sisi tenggara teras lima, terlihat seperti tangga yang membentang dari puncak sampai kaki gunung. Tempo juga menemukan struktur mirip tangga itu. "Ini jelas buatan manusia," kata Ali. Pon, yang meneliti situs sejak 2009, menemukan batu sejenis sampai kaki gunung di Sungai Cikuta di sisi timur, sekitar 300 meter dari puncak.

Teras sawah yang berada di lereng Gunung Padang pun berpola sekitar 1,5 x 1,5 meter. Sukarta, 57 tahun, petani di Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, sering menghantam batu lonjong—yang mirip dengan di situs—saat mencangkul. "Semua petani di sini pernah menemukan batu seperti itu," ujarnya.

Tim hakulyakin struktur di Gunung Padang merupakan puncak dari megastruktur yang dibangun penghuni tanah Sunda masa lalu. Tingginya minimal seratus meter—sedikit lebih rendah daripada Piramida Giza, 147 meter—dan luas 15 hektare. Menguji silang perhitungan umur, Ali Akbar juga mengambil sampel karbon. Tidak menggunakan bor, tapi menggali lapisan tanah—dari kedalaman 10, 85, dan 150 sentimeter di sekitar teras lima—sehingga hasilnya diharapkan lebih akurat. Hasil uji karbon Laboratorium Batan menyatakan bangunan itu telah ada sejak 500 tahun sebelum Masehi. Perhitungan ini tak menegasikan hasil sebelumnya. "Bisa jadi struktur yang terlihat sekarang dibuat di atas struktur yang jauh lebih tua," kata Ali Akbar.

Berada di daerah subur, wajar jika lokasi itu jadi pusat permukiman dari masa ke masa. Cianjur sampai kini merupakan daerah penghasil beras nomor wahid, Rojolele. Wabilkhusus Gunung Padang terletak di antara sungai Cikuta dan Cimanggu. Arkeolog mana pun pasti ngiler tiap kali melihat lokasi seperti itu. "Semua peninggalan budaya pasti terletak di lokasi subur, di antara dua sungai," ujar Ali.

Adanya tambang emas, sekitar empat kilometer sebelah selatan situs, memperkuat dugaannya. Ade alias Joker, 45 tahun, warga Desa Karyamukti, bekerja sebagai penambang emas di Kampung Cibitung di desa yang sama sejak hampir 30 tahun lalu. "Sudah ada sejak zaman Belanda," ujarnya. Menurut Ali, sebuah peradaban yang tinggi wajib memiliki sumber daya alam yang tak dimiliki daerah lain. Misalnya Kutai pada abad IV, yang dekat kolam minyak bumi. Kerajaan Pajajaran juga berpindah dari Bogor ke selatan, salah satu sebabnya, mendekati sumber emas di Cikotok, Banten.

Dugaan bangunan di atas bangunan itu diklaim sejalan dengan hasil pencitraan geolistrik dan georadar. Danny Hilman mendapati adanya lapisan yang tergolong high resistivity, penolak listrik, di kedalaman 10-15 meter dari puncak. Biasanya, penolak listrik berupa batu. Namun, karena bagian atasnya bisa dikatakan rata, dia meyakini batuan itu buatan manusia. Lebih dalam lagi, Danny mendapati dua ruang kosong dengan panjang dan lebar sepuluh meter serta tinggi lima meter. "Saya tak mau berspekulasi tentang isinya," katanya.

Junus, anggota tim penelitian Gunung Padang pada 1980-an, menolak dugaan itu. Menurut dia, masyarakat purba di Indonesia tak mengenal konsep ruang dalam bangunan. "Karena hidup di wilayah dua musim, sehingga tak butuh perlindungan dari cuaca," katanya.

Guru besar vulkanologi Institut Teknologi Bandung, Sutikno Bronto, mengatakan, "Penampakan bawah permukaan yang terlihat dari georadar dan geolistrik ini bukan bangunan buatan manusia, melainkan bangunan alamiah produk vulkanik." Dia memaparkan bagaimana gunung api membentuk pola endapan volkaniklastik yang jauh berbeda dengan pola sedimen.

Guru besar arkeologi Universitas Indonesia, Mundardjito, juga mengkritik temuan itu. Anggota tim pemugaran Borobudur ini mengatakan Andi Arief dkk melanggar metodologi arkeologi (baca kolom "Metode Ilmiah Mencari Gunung Padang"). Hasil pencitraan, kata sang profesor, baru merupakan dugaan awal, sehingga pantang buru-buru menyimpulkan adanya bangunan di bawah Gunung Padang.

Ali Akbar meminta kakek gurunya itu mengesampingkan perdebatan tentang ruangan dan berfokus pada sesuatu yang kasatmata: bangunan setinggi seratus meter di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur. Dia memperkirakan hanya butuh kurang dari dua tahun untuk membuka selimut tanah. Ada sedikitnya delapan keluarga yang tinggal di lereng. "Jika sudah ada kepastian, kami siap membebaskan lahan tersebut," kata Bupati Cianjur Tjetjep Muchtar Soleh.

Andi Arief mengatakan pekerjaan timnya di Gunung Padang sudah hampir kelar. Urusan penggalian, dia angkat tangan karena membutuhkan biaya besar. "Itu tugas Arkenas," katanya. Saat ditemui Tempo di kantor Pusat Arkeologi Nasional, Pejaten, Jakarta Selatan, akhir bulan lalu, Mundardjito mengatakan arkeolog siap bergerak. Dia juga menenteng proposal rancangan penelitian Gunung Padang, tapi menolak membeberkan isinya.

l l l

Barisan awan semakin jauh meninggalkan langit Cianjur yang purnama. Malam makin larut, tapi terang makin menantang di Gunung Padang. Lilin dan senter kami padamkan. Perlahan, kami menuruni tangga batu dibimbing cahaya bulan.

Reza Maulana (Jakarta, Cianjur), Deden A. Aziz (Cianjur), Ahmad Fikri dan Anwar Siswadi (Bandung)


Yang Terkubur di Pedalaman Cianjur

Tim Terpadu Penelitian Mandiri meyakini situs purbakala Gunung Padang bukan hanya yang tampak di pucuk gunung. Struktur punden berundak menjulang dari anak tangga terendah yang berbatasan dengan lahan parkir pengunjung di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat, sampai puncak di ketinggian 894 meter di atas permukaan laut.

Tinggi struktur sekitar 100 meter—sedikit lebih rendah dari Monumen Nasional, 132 meter—dan menempati area 15 hektare, sepuluh kali lebih luas dari Candi Borobudur. Arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar, bahkan berani bertaruh struktur itu lebih luas lagi, yaitu sampai kaki gunung menyentuh Sungai Cikuta dan Cimanggu. "Karena struktur serupa juga ditemukan di sana," katanya. Jika dugaannya benar, luas struktur punden berundak yang berumur 2.500 tahun itu sekitar 25 hektare. Masif.

Titik Pengeboran
Barat Teras Dua umur diperkirakan 4.700 SM

Ekskavasi
Selatan Teras Lima (dari kedalaman 1,5 meter) umur diperkirakan 500 SM

Titik Pengeboran
Selatan Teras Lima umur diperkirakan 10900 SM

Hasil Geolistrik
Menunjukkan adanya batuan di kedalaman 10-15 meter dari puncak. Bentuk yang rata dan memanjang di pucuk batuan itu memperkuat dugaan adanya bangunan yang terpendam. "Tidak mungkin batuan alami bisa rata seperti ini," ujar pakar geologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja. Ada juga dugaan ruangan—panjang 10 meter, lebar 10 meter, tinggi 10 meter—di dalam struktur.

Struktur
Arkeolog UI, Ali Akbar, menemukan 20 titik struktur batuan yang serupa Gunung Padang di luar zona inti. Membentuk terasering dengan ukuran 1,5 x 1,5 meter.

Batu Gamelan
Posisi di Teras Satu, sedikit di luar sudut tenggara tumpukan batu yang menyerupai piramida kecil. Hokky Situngkir dari Bandung Fe Institute menyatakan bunyinya mendekati nada F, G, D, dan A. Diduga masyarakat masa itu sudah memiliki budaya musik dan memainkannya bersama. Dugaan pesimistis, batu berfungsi sebagai kentungan.

Bangunan Tua Dunia

2611 SM, Piramida Djoser di Saqqara, Mesir
Piramida tertua di Mesir. Di bangun sebagai kuburan Raja Djoser. Bentuknya seperti punden berundak dengan tinggi 62 meter.

2550 SM, Piramida Besar di Giza, Mesir
Makam Raja Khufu ini merupakan piramida terbesar di dunia. Menjulang 147 meter, terdiri atas 2,3 juta batu persegi yang berat satuannya 2,5-15 ton.

2400-2200 SM, Stonehenge, Salisbury, Inggris
Terdiri atas susunan melingkar dari batu dengan tinggi sekitar 30 meter dan berat 50 ton. Kegunaannya masih jadi perdebatan sampai sekarang.

220-206 SM, Tembok Raksasa, Cina
Dibangun pada masa Dinasti Ming sebagai benteng pertahanan. Membentang 8.850 kilometer dari Shanhaiguan di timur sampai Danau Lop di barat.

80 M, Colosseum Roma
Mulai dibangun pada 72 Masehi di masa Kaisar Vespasian dan rampung delapan tahun kemudian saat Kaisar Titus bertakhta. Berkapasitas 50 ribu penonton untuk menyaksikan gladiator, pertarungan sampai mati.

Abad IX, Borobudur, Jawa Tengah
Dibangun pada masa Dinasti Syailendra di Magelang, Jawa Tengah. Terdiri atas sembilan teras dan 500 lebih patung Buddha. Diperkirakan mulai terkubur pada abad XV, sebelum ditemukan Sir Thomas Stamford Raffles pada 1814. Pemugaran dilakukan sejak 1975 sampai 1982.

Abad XV, Machu Picchu, Peru
Arsitek Pon S. Purajatnika menganggap Machu Picchu sebagai saudara muda Gunung Padang karena kesamaan struktur. Suku Inca membangunnya di area 325 ribu kilometer persegi pada ketinggian 2.430 meter di Peru pada abad XV.

Infografis: Reza Maulana Ilustrasi: rizky lazuardi, kendra paramita (dari Pon S. Purajatnika) foto: tempo/prima mulia, Tempo/Tony Hartawan, wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus