Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi panel pada pertemuan ilmiah Ikatan Ahli Geologi Indonesia di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, masih berlanjut di kedai kopi. Danny Hilman Natawidjaja dan Andang Bachtiar, dua di antara lima panelis, membincangkan topik bencana dan geologi di Tanah Air.
"Ketika itu, saya tantang Danny untuk serius meneliti kaitan bencana di masa lalu dengan peradaban Nusantara," kata Andang, mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), menceritakan obrolannya dengan Danny yang berlangsung pada 23 November 2010. Danny, ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kata Andang, banyak melakukan riset mengenai sejarah gempa di berbagai daerah.
Andang mempertanyakan, mengapa data itu tak dikaitkan dengan peradaban nenek moyang. Dia menduga gempa, letusan gunung berapi, dan tsunami yang terjadi berulang kali telah menghancurkan kemajuan peradaban di Indonesia. Ini tak terjadi pada kebudayaan Yunani, Romawi, dan Timur Tengah, yang relatif lebih sedikit dihantam bencana alam.
Danny termotivasi oleh tantangan Andang. Dua sohib sejak jadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung pada 1980-an ini kemudian sepakat berkolaborasi membentuk Tim Katastropik Purba. Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam Andi Arief mendukung kerja tim ini.
Sepanjang 2011, mereka meneliti situs purbakala di Banda Aceh, Pagaralam (Sumatera Selatan), Batujaya (Karawang, Jawa Barat), Trowulan (Jawa Timur), serta Gunung Sadahurip, Gunung Padang, dan Gunung Lalakon (Jawa Barat). Ketika mereka menggunakan georadar dan geolistrik di Sadahurip (Kabupaten Garut) dan Lalakon (Bandung), ikut pula tim Yayasan Turangga Seta.
Masuknya Yayasan Turangga Seta menimbulkan perdebatan di IAGI. Maklum, yayasan yang didirikan 14 tahun lalu itu mengandalkan bantuan mistis. Mereka kemudian membuat pernyataan telah menemukan piramida dan mengklaim didukung Danny Hilman. Pencatutan nama ini dibantah keras oleh Danny, yang menegaskan tak ada piramida di Sadahurip.
Namun kontroversi makin hangat setelah Andi Arief menyatakan Tim Katastropik Purba melakukan penelitian intensif untuk menemukan dugaan adanya bangunan berbentuk piramida di Desa Sadahurip. Pada 3 Februari 2012, IAGI Cabang Jawa Barat-Banten serta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggelar seminar.
Acara ilmiah itu "menyalip" sarasehan yang diadakan Tim Katastropik Purba di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, tiga hari kemudian. Di seminar "Geologi dan Arkeologi Gunung Purba Jawa Barat: Studi Khusus Gunung Padang, Gunung Sadahurip, dan Gunung Lalakon" ini, vulkanolog, geolog, dan arkeolog membantah teori piramida di Sadahurip.
Di Gedung Sekretariat Negara, Tim Katastropik memaparkan temuan sementara penelitian di Gunung Padang berdasarkan hasil pengeboran, georadar, dan geolistrik. Temuan tim: di bawah Gunung Padang kemungkinan besar ada bangunan atau ruangan buatan manusia.
Pada 1 Maret 2012, pimpinan pusat IAGI menggelar seminar di Jakarta. Danny dan Andang mempresentasikan hasil riset mereka di Gunung Padang. Peneliti gunung api dari Pusat Survei Geologi, Sutikno Bronto, menjadi pembahas. Sutikno meyakini penampakan bawah permukaan yang terlihat dari georadar dan geolistrik ini bukan bangunan buatan manusia, melainkan bangunan alamiah produk vulkanik.
Penolakan paling keras datang dari arkeolog senior, yang diwakili Profesor Dr Mundardjito dan Junus Satrio Atmodjo. Menurut Junus, arkeolog Indonesia juga menggunakan teknologi modern, seperti carbon dating dan geolistrik, termasuk ketika meneliti Candi Prambanan. Hasil tim Danny, kata Junus, baru pada tingkat dugaan berdasarkan gejala-gejala yang perlu diperiksa kebenarannya karena tersembunyi 100 meter di dalam tanah. "Ini hipotesis di atas hipotesis, ketika sebuah pemikiran dikembangkan di atas pemikiran lain tanpa bukti," ujarnya.
Perseteruan antara geolog dan arkeolog sebenarnya pernah terjadi pada kasus situs Gua Pawon di Jawa Barat. Kelompok Riset Cekungan Bandung pada 2000 menemukan artefak dan fosil di situs tersebut. Temuan ini tak mendapat respons dari Balai Arkeologi setempat. Kelompok yang dimotori ahli geologi itu lalu melaporkan temuannya ke Menteri Kebudayaan dan Pariwisata setahun kemudian.
Awalnya Balai Arkeologi menolak temuan itu dan kecewa atas laporan ke Jakarta. Belakangan, mereka mengakui dan menyebut situs itu ditemukan oleh masyarakat. Dalam kasus Gunung Padang, Andang Bachtiar mempersilakan ahli arkeologi melanjutkan hasil penelitian tim mereka.
Penelitian ke depan, kata Danny, harus membuktikan ada apa di kedalaman 15 meter ke bawah, apakah itu batuan natural atau buatan manusia. "Sayang sekali kalau, misalnya, ternyata ada heritage yang luar biasa di kedalaman itu tapi tak dibuktikan," kata Danny.
Untung Widyanto, Reza Maulana, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo