Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman itu berencana membuat kit diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kanker hati. Ide ini muncul setelah ia menemukan adanya gen polo-like kinase 1 (PLK1) dalam darah yang berubah karena diserang virus hepatitis.
Dari temuan awal saat ia menempuh studi doktoral tersebut, Korri berharap dapat mengembangkan metode baru pemeriksaan dini kanker hati melalui gen PLK1 sebagai biomarka. Sebab, selama ini kanker hati masih sukar dideteksi. “Kebanyakan mereka tak sadar sudah terinfeksi karena penyakit ini tidak menunjukan gejala awal,” ujar Korri, Senin, 29 April lalu.
Agar temuannya bisa diterapkan di dunia medis, Korri mesti menempuh proses panjang. Ia harus melewati sejumlah tahap penelitian, antara lain menguji lebih banyak sampel darah pasien yang dihitung berdasarkan analisis statistik. Setidaknya Korri sudah meneliti sekitar 100 pasien penderita hepatitis kronis, sirosis, juga kanker hati. Jika seluruh proses menunjukan hasil yang valid, kit diagnostik itu diharapkan dapat digunakan di rumah sakit atau balai pengobatan seperti pusat kesehatan masyarakat.
Korri mengatakan gen PLK1 tak hanya bereaksi pada virus hepatitis B, tapi juga pada hepatitis C. Penyakit tersebut dapat memicu sirosis dan kanker hati jika tidak ditangani sejak dini. Hasil riset Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan sekitar 7,2 persen penduduk Indonesia atau 18 juta orang mengidap hepatitis B. Adapun sekitar 1,2 persen atau 3 juta lainnya menderita hepatitis C. Dari jumlah itu, sekitar 50 persen berpotensi kronis dan 10 persen berisiko menuju fibrosis hati, yang dapat menyebabkan kanker hati. Menurut data tersebut, sebanyak 1 juta lebih orang berpotensi mengidap kanker hati.
Korri mengatakan gen PLK1 tak hanya bereaksi pada virus hepatitis B, tapi juga pada hepatitis C. Penyakit tersebut dapat memicu sirosis dan kanker hati jika tidak ditangani sejak dini. Hasil riset Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan sekitar 7,2 persen penduduk Indonesia atau 18 juta orang mengidap hepatitis B. Adapun sekitar 1,2 persen atau 3 juta lainnya menderita hepatitis C.
Jika pengobatan terlambat, berbagai risiko bakal dihadapi pasien. Selain ongkos berobat yang mahal, nyawa pasien terancam. Deputi Direktur Bidang Riset Translasional Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono mengungkapkan, sebelum ditemukan obat hepatitis C, yaitu direct-acting antiviral (DAA), beberapa tahun lalu, pasien hepatitis C diobati dengan interferon dan glikoforin. Penderita harus disuntik cairan tersebut selama 48 minggu.
Sekali suntik, pasien mesti merogoh kocek Rp 3 juta. Selama setahun, pasien hepatitis mesti menyiapkan Rp 140 juta untuk pengobatan. Pengobatan ini juga cukup berisiko. Efek samping obat suntik meliputi demam, muntah, ruam kulit, hingga depresi dan pasien drop out alias tak mau lagi mengkonsumsi obat.
Obat DAA yang ada sekarang tak kalah mahal. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu mengatakan harga satu tablet DAA bisa mencapai Rp 5 juta. Dalam setahun, biaya pengobatan seorang pasien bisa miliaran rupiah. “Tapi, karena kami beli dalam jumlah banyak, harga per tabletnya bisa lebih murah,” ucapnya.
Kementerian Kesehatan, kata Wiendra, telah menyediakan obat itu secara cuma-cuma untuk penderita hepatitis C. Hanya, dia menambahkan, program tersebut terbatas di kota-kota besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo