Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tak sebening dan setembus pandang plastik mika, ia cukup bisa mengantarkan bentuk dan warna. “Ini nanopaper yang saya olah dari nanoselulosa,” kata Athanasia Amanda Septevani sambil menunjukkan dua lembar nanopaper-nya yang setebal kira-kira 1 milimeter di Jakarta, pertengahan April lalu.
Yang menarik, Amanda membuat lembar transparan itu dari tandan kosong kelapa sawit. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu memilih jenis limbah organik atau biomassa tersebut karena karakternya cocok untuk diolah menjadi layar perangkat elektronik yang elastis sehingga tak mudah retak atau pecah. Layar itu tak hanya dapat diaplikasikan di telepon seluler, tapi juga di monitor dan televisi.
Amanda menjelaskan, karakter setiap biomassa bergantung pada tiga unsur, yakni selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun untuk menghasilkan layar yang tembus pandang dan lentur dibutuhkan biomassa dengan profil seperti tandan kelapa sawit: memiliki kadar selulosa 80-85 persen, hemiselulosa 7-10 persen, dan lignin di bawah 1 persen.
Kadar selulosa itulah yang mempengaruhi tingkat transparansi atau kekristalan nanopaper. Sedangkan hemiselulosa berpengaruh terhadap kekuatan dan elastisitas, sementara lignin membawa sifat aromatik. Sebagai contoh, limbah tongkol jagung memiliki kadar hemiselulosa lebih tinggi dibanding selulosanya. Maka, bila diolah menjadi nanopaper, ia lima kali lebih kuat ketimbang yang berbahan tandan kosong kelapa sawit. Hanya, rendahnya kadar selulosa membuat nanopaper dari tongkol jagung tidak transparan. Itu yang membuatnya kurang cocok untuk layar perangkat elektronik.
Kebutuhan akan nanoselulosa sedikit karena senyawa ini memiliki permukaan yang luas. Di atas permukaan material itu terdapat gugus hidroksil atau gugus aktif yang saling mengikat. “Ini yang membuat nanoselulosa bikinan saya tak perlu tambahan zat lagi,” katanya. “Sebab, gugusnya saling mengikat kuat sehingga lebih fleksibel dan tak mudah retak.”
Untuk membuat selembar nanopaper dengan skala laboratorium, Amanda hanya memerlukan 0,5 persen nanoselulosa. Itu berarti dalam 100 gram substrat, ada 0,5 gram nanoselulosa yang dibubuhkan. Kebutuhan akan nanoselulosa sedikit karena senyawa ini memiliki permukaan yang luas. Di atas permukaan material itu terdapat gugus hidroksil atau gugus aktif yang saling mengikat. “Ini yang membuat nanoselulosa bikinan saya tak perlu tambahan zat lagi,” katanya. “Sebab, gugusnya saling mengikat kuat sehingga lebih fleksibel dan tak mudah retak.”
Namun, sebelum meluncur ke pasar, layar perangkat elektronik ini harus diproses lebih lanjut. Salah satunya dengan melapisi bagian bawahnya dengan material konduktif. Ini penting agar layar bisa mentransfer elektron untuk membentuk gambar. Transparansi layarnya pun mesti direkayasa agar lebih bening. Adapun kadar transparansi nanopaper buatan Amanda saat ini baru 75 persen.
Amanda menargetkan tahun ini urusan material konduktor nanopaper-nya sudah beres. Untuk itu, seperti proyek penelitian yang lain, ia harus menggandeng ahli dari lintas disiplin ilmu, terutama pakar elektronika dan fisika. “Baru setelah itu kami berhitung soal biaya dan menimbang bila ada produsen yang tertarik memanfaatkannya,” ujar Amanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo