Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencuri menaikkan gengsi

Mencuri ternak di beberapa tempat di lombok tengah dianggap bisa menaikkan wibawa. terutama bagi para gadis. para maling mengenal taktik dan etika. ada yang mencuri karena mencoba ilmu sirep untuk menarik

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA cara pemuda Lombok "jual tampang"? Lebih kurang begini. Ada seorang pemuda menggiring kerbau dan sapi ke rumah seorang perawan desa di Praya, Lombok Tengah. Diketuknya pintu rumah pujaannya itu. Sang gadis melongok di mulut pintu. Begitu wajah si gadis muncul, sang jejaka dengan jemawa mempertontonkan hewan-hewan kaki empat itu. Namun, malang, tak lama kemudian beberapa orang mengepung lelaki dengan kerbaunya itu. "Saat itu juga dia kami tangkap," ujar bekas anggota Koramil Praya. Demikianlah sang Romeo yang sudah mimpi jadi pengantin itu malah berurusan dengan aparat keamanan. Maklum, tiga kerbau dan satu sapi yang dipamerkannya itu barang curian. Perbuatan pemuda Lombok di atas, di masa lalu, tak dianggap cela oleh masyarakatnya. Mencuri memang diharamkan di mata hukum modern. Namun, menurut para tokoh masyarakat di Lombok, dan pengamat di daerah itu, pencurian adalah warisan adat istiadat Sasak, penduduk asli Lombok. "Seorang lelaki akan disegani dan dihormati masyarakat sekitarnya bila ia ahli mencuri," tutur Yanis Maladi, yang pernah meneliti kasus pencurian ternak di Lombok Timur. Yanis, yang mewawancarai tokoh-tokoh setempat, menunjuk contohnya di beberapa desa di Kecamatan Masbagik dan Kecamatan Sakra, Lombok Timur. Dengan kata lain "mencuri menaikkan gengsi". Baik terhadap sesama jenis maupun dedara, para gadis. Ini dibenarkan juga oleh Lalu Dahri, bekas Kepala Desa Ganti -- 12 km selatan timur kota Praya, Lombok Tengah, tahun 1967-1984. "Pencurian ternak itu sumbernya dari keinginan menarik hati seorang gadis," ujar Lalu Dahri. Pria mana yang jago mencuri tak diragukan lagi kejantanannya. Konon, di masa lalu, sulit mencari jodoh. Kalaupun ada, saingannya segudang. Pendeknya, wanita dianggap "barang mewah". Kelangkaan ini membuat para pemuda jor-joran untuk kelihatan lebih gagah dan bonafide. Caranya dengan mengadu banyaknya jumlah pemberian atau dalam bahasa Sasak disebut "merube", " mersen" atau "mereweh". Pemberian itu bisa langsung ternak curian, atau perhiasan. Namun, yang umum adalah simbol kekayaan belaka, umpamanya bunga cempaka penghias rambut. Biasa disebut "bunga sandat" atau "payas". "Bunga-bunga yang bertengger di atas kepala para gadis itu pemberian lelaki yang menyenanginya," kata Lalu Dahri. Banyaknya kembang menunjukkan bobot kantung sang pria. Sampai-sampai ada yang menyerahkan bunga-bunga setara harga tiga kuintal padi sehingga kepala sang gadis bagai taman bunga. Dengan rambut bergayut kembang cempaka itu, para gadis menghadiri pesta di kampungnya -- umumnya tiap lima hari sekali ada hajatan. "Walaupun para gadis itu juga tahu pemberian itu hasil mencuri," kata Lalu Dahri. Begitu kesalnya melihat persaingan yang tidak sehat itu, Lalu Dahri pernah mengumumkan larangan. Para gadis tak boleh mengenakan payas lagi bila menghadiri perhelatan. Namun, budaya ini tak bisa dihapuskan begitu saja. Karena pihak perempuan pun menganggap magnet lelaki terletak pada keberaniannya. "Keberanian itu harus dibuktikan oleh si pemuda dengan melakukan pencurian," kata Bakok, tokoh dari Desa Ubung. Itu disertai catatan, hasil pencurian itu diserahkan kepada calon istri. "Mereka mengusahakan pemberian sebanyak-banyaknya pada calon istri karena, jika ada orang lain yang memberikan lebih banyak dari pemberiannya, lelaki itulah yang akan menjadi suaminya," katanya. Ada juga yang tidak secara langsung memberikan ternak hasil curian sebagai bukti. Amaq Minase, 60 tahun, pensiunan maling, memberi kesaksian. Katanya, ia lebih suka memberikan barang, umpamanya sabun atau arloji. "Zaman saya dulu bahkan tidak jarang ada gadis yang mengenakan tujuh buah arloji sekaligus di tangannya," kata Amaq Minase yang bertubuh tegap itu. Model lain, "uang kerbau" itu diberikan langsung. Canggihnya, sang gadis memasang uang itu di rambutnya untuk "nampang". Bisa juga rokok Dapos -- yang ngetop di masa itu -- diserahkan sebagai bukti cinta dan keberanian. Pemberian ini tidak terbatas dilakukan oleh para jejaka. Suami yang masih ingin beristri lagi juga ikut dalam "permainan" ini. "Biasanya bagi yang sudah beristri, pemberian itu berupa seperangkat pakaian," ujar Lalu Dahri, bekas kepala desa yang disebutkan tadi. Ia pernah terbawa "mode" itu, tahun '50-an. Cara pemberiannya juga spesial. Barang-barang itu digendong di punggung pengantarnya. "Dan diserahkan di depan khalayak ramai. Ini sengaja dilakukan agar orang tahu gadis itu ditaksir," kata Lalu Dahri. "Pada acara "bejambe" (apel) para lelaki bersaing menunjukkan kekayaan dan kehebatannya," kata Bakok. Jadi, bukan pemandangan yang aneh kalau berangkat apel, para lelaki menenteng pisang, daging, atau radio. Mereka, kata Bakok, seakan berlomba untuk memberi barang yang lebih banyak dan lebih mahal. "Bahkan untuk menunjukkan kegagahannya, ada yang memecahkan radio atau tape di hadapan gadis itu," kata Bakok. Konon, menurut Bakok, dedara lebih kecantol pada pria yang punya prestasi di bidang pencurian ternak ketimbang cowok kaya. "Sebab, yang pintar nyuri itu dianggap pemberani, lebih bisa menyenangkan hati karena gampang keluar duit. Sedangkan yang kaya dianggap kikir," ujar Bakok lagi. Namun, tak cuma itu, ada motivasi lain lagi di balik pencurian ternak itu. Yaitu sebagai lahan uji coba ilmu sirep. Soeharto, dosen Sosiologi Pedesaan Fakultas Pertanian Universitas Mataram, yakin bahwa mencuri ternak di Lombok bukan tujuan. "Sebenarnya cuma uji kedigdayaan ilmu itu, bukan untuk merugikan orang lain dengan mengambil ternaknya," ujar Suharto, dosen senior asal Solo itu. Yanis juga menyimpulkan hal serupa. "Ada keinginan untuk menguji ilmu yang dimiliki, baik dari hasil pertapaan, guru-guru, maupun benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Ilmu yang dimaksud adalah 'ilmu sirep'," tulis Yanis dalam skripsinya. Ilmu sirep, atau dalam bahasa setempat bebedong dipelajari untuk melaksanakan adat kawin lari khas Sasak. Biasa disebut merarik -- melarikan calon istri di malam hari. Taruhannya nyawa. Sebab, "aturan main"-nya bila keluarga wanita atau pesaingnya memergoki daranya dilarikan, mereka "sah" membunuh orang yang melarikannya. Kawin lari umumnya disebabkan persaingan ketat antarcalon. Atau boleh jadi karena tak disetujui pihak keluarga wanita (umpamanya karena perbedaan kasta) Tak salah bila kaum lelaki mempelajari ilmu sirep. Dengan ilmu itu mereka mampu membuat penghuni rumah tertidur saat si jantung hati dibawa lari. Seperti masyarakat tradisional di daerah lain, banyak warga Lombok percaya pada "kesaktian" -- ilmu sirep, ilmu kebal, dan yang semacam ini. Di Lombok ilmu itu disebut kejayaan. Mereka mendapat keahlian dari "sang guru" yang akan memberi sejumlah persyaratan. Misalnya calon harus bersedia bertapa dan dimandikan gurunya. Selain menyediakan andang-andang antara lain benang satu gulung, kain putih tiga depa, dan 244 biji uang logam berlubang. "Sebelum mempergunakan ilmu sirep untuk merarik, mereka mengujinya dengan melakukan pencurian," kata Yanis. Risikonya lebih kecil. Paling-paling digebuki atau dibawa ke kantor polisi. Kan mendingan daripada mati. Namun, sebagaimana layaknya seorang profesional, para maling juga mengenal etika. Ada yang diperbolehkan, dan ada juga yang tidak. Pantangan itu, antara lain, tak boleh mencuri di desa sendiri. Maka, orang seperti Amaq Minase, 60 tahun, bekas maling yang sudah tobat, mengaku memburu mangsa di daerah lain. "Yang sering di Lombok Timur, diundang kawan-kawan di sana," kata warga Lombok Tengah itu lebih lanjut. Pencuri juga mengenal hari baik dan buruk untuk melaksanakan proyeknya. Mereka menghitungnya dari kalender khusus. Ada yang menyebutnya kutika atau uriga. "Biarpun dulunya saya maling ngayap (nekat), saya nggak berani melakukan di sembarang hari. Tapi selalu merujuk kutika," kata Amaq Minase. Gambar dalam kalender ini bermacam-macam, umumnya simbol-simbol. Ada yang membagi bidang kalender dalam sejumlah kotak atau lingkaran. Semua menunjukkan persilangan antara "waktu dan situasi". Kutika, umpamanya, terbuat dari lempengan papan berukuran lebar 10 cm dan panjang 20 cm. Ada lima bidang kotak ke bawah, yang menunjukkan pembagian waktu dalam sehari. Dan tujuh baris kotak menyamping yang menggambarkan situasi dalam satu minggu. Pada ruang-ruang kalender itu ditempatkan gambar bermakna. Contohnya simbol ribek berarti "banyak orang", kale luang maknanya "sial", ware simbol "rezeki". "Kalender itu dibuat berdasarkan astronomi," kata V.J. Herman, kepala museum NTB. Fungsinya untuk menghitung D-Day pencurian ternak atau kawin lari. Ada lagi tipe kalender yang perhitungan waktunya berdasarkan bulan tahun Hijriah. Dikombinasikan dengan sketsa orang dengan makna tertentu. Misalnya, gambar orang tanpa kepala berarti "tak punya akal". Sketsa orang dengan kedua tangan terangkat ke atas menunjukkan "kekuatan". Bila orang Lombok sudah bulat tekad untuk melakukan pencurian atau kawin lari, kalender ini dijadikan pegangan. Maksudnya, untuk mencari waktu yang paling aman. Umpama perhitungan jatuh di kotak kale luang, yang artinya sial, perburuan ternak atau gadis ditunda. Sebaliknya, jika perhitungan jatuh ke ruang kalender bergambar "orang dengan kedua tangan terangkat ke atas", yang berarti "kuat", urusan akan beres. Walhasil, jangan disangka gampang, repot juga jadi maling. "Sudah tiga kali saya gunakan kalender ini untuk merarik," kata Mamiq Alemas, 50 tahun, yang tinggal di Desa Ganti. Mamiq adalah paman Lalu Wirename, yang kini Kepala Desa Ganti. Baik paman maupun keponakan sama-sama pernah memanfaatkan kutika. "Saya melarikan istri saya dengan aman, berkat penanggalan ini," kata Lalu Wirename mengenang. Dan kesaktiannya terbukti. "Waktu istri saya, saya bawa pergi, kedua orangtuanya melihat, tapi hanya bengong saja," tambahnya sambil terbahak-bahak. Kini Kutika diperdagangkan seharga Rp 5.000 sampai Rp 10.000 di artshop di Lombok dan Mataram. Fungsinya sudah bergeser, sebagai penentu hari baik untuk hal-hal positif. "Untuk menentukan hari baik mendirikan rumah dan menanam padi," kata Lalu Kencana, penduduk Desa Sukarara, Jonggat, Lombok Tengah. Apakah adat-istiadat dengan segala efek sampingnya masih berlaku hingga kini? Suharto, dosen UGM yang disebutkan di atas, ragu. Seirama dengan berjalannya waktu, nilai-nilai itu bergeser. "Sekarang, karena perkembangan zaman, tujuan pencurian makin sederhana, hanya urusan perut," kata Suharto. Kapolres Lombok Tengah Miftahol Karim juga sependapat, bahwa pencurian semata-mata dilakukan oleh orang lapar. Dan ia tak setuju bila pencurian ini dikait-kaitkan dengan adat-istiadat Sasak. "Tarafnya baru pada "kebiasaan" saja, bukan adat. Sebab, kalau adat kan ada sanksinya, misalnya dikucilkan kalau tidak mencuri. Ini kan tidak," kata Miftahol Karim, petugas yang mengurus 646 ribu penduduk dengan armada 263 polisi. Supriyantho Khafid, BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus