Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Narasi nyeleneh itu cuplikan Bab VII "Etika Hidup di Apartemen" dari novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya. Kalimat-kalimat itu terkesan seperti terlontar dari seseorang yang tengah melantur. Tapi cukup menggelitik.
Kehadiran novel debutan Martin itu, yang selama ini dikenal lewat analisisnya yang tajam tentang filsafat, "memusingkan" jagat sastra Indonesia karena bentuknya yang tak lazim. Karya Martin, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, membongkar cara pandang kita terhadap novel. Cara penceritaan, bahasa yang digunakan, dan cara membuat struktur novel sama sekali berbeda dibanding novel pada umumnya.
Menurut Martin, novelnya itu sebagai sebuah karya yang menghibur diri meski bentuknya "aneh". "Saya hanya ingin menuangkan pengalaman sehari-hari sebagai kesan yang tak bisa dituangkan dalam dunia filsafat," katanya.
Pembaca, Kiat Sukses Hancur Lebur itu merupakan satu di antara ratusan karya sastra yang kami anggap menarik pada 2016. Seperti tahun-tahun lalu, pada awal Januari kami selalu berusaha menengok perkembangan dunia seni dan sastra tahun sebelumnya. Kami memilih karya seni dan sastra yang kami anggap inovatif, menyegarkan, serta membuka kemungkinan-kemungkinan artistik. Untuk penjurian seni, sastra, dan musik pilihan Tempo 2016 ini kami melibatkan pengamat sastra dan penulis Seno Gumira Ajidarma, kritikus sastra Zen Hae, kritikus seni rupa Hendro Wiyanto, pengamat seni pertunjukan Bambang Bujono, serta pengamat musik David Tarigan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, penjurian sastra acap diwarnai "debat cukup panas". Kali ini kami sampai-sampai memerlukan tiga kali pertemuan, termasuk diskusi lewat WhatsApp, untuk menentukan lima besar prosa: Kiat Sukses Hancur Lebur (Martin Suryajaya), Tan (Hendri Teja), Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom), O (Eka Kurniawan), dan Jakarta Sebelum Pagi (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie).
Adapun untuk lima besar kumpulan puisi, pilihan kami adalah Sergius Mencari Bacchus (Norman Erikson Pasaribu), Kawitan (Ni Made Purnamasari), Playon (F. Aziz Manna), Mendengarkan Coldplay (Mario F. Lawi), dan Babad Batu (Sapardi Djoko Damono).
Setelah melalui debat cukup panjang, pilihan prosa akhirnya mengerucut pada tiga kandidat: Tan, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, dan Kiat Sukses Hancur Lebur. Kami kemudian menilai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Novel Tan karya Hendri Teja, menurut kami, kuat dalam riset sejarah. Penceritaannya lancar dan bahasanya bersih. Hanya, novel ini terasa sangat konvensional dalam membangun narasi. "Kalimat-kalimat Tan yang ada di novel juga tidak layak kutip," kata seorang juri.
Sedangkan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi kami anggap novel yang unik dan mengasyikkan. Novel ini bersudut pandang dongeng. Cerita dan fantasinya mengalir enak. Petualangan Raden Mandasia dan tokoh lainnya gokil-gokil. Namun kami masih menganggap ada yang mengganggu, di antaranya pengorganisasian bab dan sikap pengarang terhadap sosok-sosok perempuan, yang cenderung misoginis. "Juga ada kecenderungan ekshibisionis. Memuntahkan segala pengetahuan dengan detail. Misalnya anatomi daging dibeberkan sampai sekecil-kecilnya. Terlalu Wikipedia. Ensiklopedis," kata seorang juri. Singkatnya, pengarang kurang menahan diri untuk memamerkan pengetahuannya. "Penyunting seharusnya lebih kejam dalam mengedit," juri lain menambahkan.
Akan halnya Kiat Sukses Hancur Lebur, novel ini menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam sastra modern Indonesia. Ia menjadi sebuah cara baru dalam menggarap novel berbahasa Indonesia. Ia keluar dari kategorisasi novel konvensional: tak ada alur cerita, tema, dan latar. "Novel ini menuntut cara membaca yang berbeda," kata seorang juri
Kiat Sukses terkesan seperti nonfiksi padahal fiksi. Ia mengejek semua ideologi kesuksesan, baik dari sisi intelektual maupun uang. Hanya, ia tidak langsung seperti kritik beneran. Ini kritik yang tidak serius, main-main, dan tidak terjebak menjadi maki-maki. Ini sebuah parodi yang sangat lucu. "Sebagai parodi dan ejekan sangat kuat. Sepanjang novel, dari awal hingga akhir, tetap lucu, tidak kendur," ujar Seno Gumira Ajidarma.
Menurut Seno, novel itu telah membongkar berhala kesuksesan di Indonesia, yang menjadikan manajemen, akuntansi, komputer, status pegawai negeri, budi daya lele, gaya hidup apartemen, dan perguruan tinggi sebagai budak prestasi semu. Namun "penghinaan" penuh gaya yang membuat novel Martin itu menjadi parodi bagi berhala "keindahan" dan "keseriusan" sastra, dengan perbendaharaan bahasa yang kaya dan kecanggihan seni humor baru.
Hal-hal inilah yang membuat kami akhirnya sepakat memilih novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya sebagai prosa terbaik Tempo 2016. Seno Gumira Ajidarma merangkum pendapat para juri dan menuliskan argumentasi untuk kemenangan novel Martin.
Adapun untuk kumpulan puisi, kami akhirnya sepakat memilih Babad Batu karya Sapardi Djoko Damono. Kami melihat banyak kumpulan puisi yang muncul pada 2016 yang bagus tapi terasa belum matang. Itulah kelebihan Sapardi. Sebagai penyair senior, ia tetap bisa mempertahankan kematangannya. Membuat sajak-sajaknya tetap tak kalah dibanding yang muda-muda. "Puisi-puisi Sapardi selalu hadir dengan upaya mengguncangkan apa yang naratif dengan yang 'anti-naratif': jukstaposisi, repetisi, disonansi (bunyi dan citraan), dan seterusnya," kata Zen Hae. Permainan rima akhir, Zen menambahkan, bukan soal yang teramat penting bagi Sapardi karena ia lebih memilih memompakan tenaga imajisme ke titik tertinggi.
Babad Batu merupakan buku puisi Sapardi yang kami anggap mempertegas sidik jari kepenyairan yang telah ia terakan sejak akhir 1950-an. Ia kembali menulis tentang batu tapi dengan sudut pandang lebih kaya ketimbang yang pernah ia lakukan, bahkan menjadi tema pengikat buku ini.
Pemilihan tokoh seni pertunjukan juga berlangsung cukup alot. Kami menyaksikan sejumlah pertunjukan seni yang digelar sepanjang 2016 bagus-bagus dan memukau. Misalnya rangkaian pertunjukan dalam perhelatan Indonesian Dance Festival (IDF) pada November 2016. Dalam pembukaan IDF, Melati Suryodarmo menampilkan pertunjukan Tomorrow as Purposed, yang terinspirasi naskah Macbeth karya William Shakespeare. Dalam pertunjukannya, ia menyajikan gabungan unsur performance, tari, dan teater, yang bergerak ke idiom-idiom pembunuhan. Ada adegan menghunjamkan pisau dan adegan paku yang bertebaran dari celana aktor (lambang pembersihan peracunan). Untuk pertama kalinya dalam pentas seni pertunjukan, sebuah paduan suara (merepresentasikan para cenayang yang meramal nasib Macbeth) dilibatkan Melati dalam permainan blocking. Mereka menyanyi tidak dalam posisi statis.
IDF juga menyuguhkan pertunjukan yang mengentak: pentas Darlene Litaay dan Tian Rotteveel. Masih terngiang ingar-bingar musik yang sangat urban itu mengiringi sosok ganjil: manusia serigala bertubuh bule dan berkoteka. Yang arkaik, yang urban, yang primitif menjadi saling-silang. Dalam pentas yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki itu, koteka yang tradisional hadir sebagai sesuatu yang urban.
Pentas itu diawali suasana santai. Tian dan Darlene, mengenakan celana panjang dan kaus, saling memperdengarkan lagu dari telepon seluler masing-masing. Tiba-tiba Tian, komponis asal Belanda itu, melucuti pakaiannya sendiri. Ia berdiri telanjang bulat hanya mengenakan sepatu kets di depan penonton yang jaraknya begitu dekat. Di tengah bebunyian musik elektronik underground yang berdentam-dentam dari subwoofer loudspeaker, Tian lalu mengenakan koteka. Ia berjongkok dan mencoreng bibir, telinga, alis, dan pipinya dengan pewarna.
Tian kemudian menunjuk Darlene agar juga segera mengenakan koteka. Tatkala memakai koteka, mereka seperti kalap. Peti hitam beroda tempat loudspeaker ditaruh mereka dorong ke sana-kemari. Mereka menggeber plastik di atas pengeras suara hingga membuat suara semakin bergetar dan seperti semburat-semburat. Wajah mereka berpendar. Puncaknya adalah Tian mengenakan topeng kepala serigala. Dalam genangan sorot lampu merah, ia menjadi manusia serigala yang berkoteka dan bersepatu kets.
Perhelatan IDF ditutup dengan pertunjukan Rough Machine/Soft Power karya Fitri dan kelompok Punkasila. Rough Machine/Soft Power bercerita tentang kekacauan yang direncanakan. Idenya terinspirasi dari konvoi sepeda motor di jalanan yang banyak dilakukan massa pendukung partai politik atau suporter sepak bola. Di jalanan di depan Graha Bhakti Budaya, mendadak datang rombongan sepeda motor membawa bendera. Sirene meraung-raung. Tambur dipukul keras-keras. Beberapa orang mengegas-ngegas sepeda motor yang knalpot panjangnya dilepas.
Inilah konser knalpot blombongan yang dipimpin "konduktor" Darius Kesminas, seniman Australia. Situasi kacau, berisik, dan rusuh itu menjadi estetika Fitri, yang sebelumnya menyuguhkan karya baru, Mega Mendung, di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Dalam Mega Mendung, Fitri menyuguhkan adegan-adegan yang terinspirasi dari kelebatan-kelebatan kenangan masa kanaknya. Dalam salah satu adegan, ia menunggang kuda-kudaan seolah-olah ingin terbang melayang.
Selain itu, kami mempertimbangkan pentas yang digelar menjelang IDF. Bertajuk "Pre-Opening IDF", pada 30 Oktober 2016 digelar dua koreografi Phase karya Jefriandi Usman dan Suluk Sungai karya Abdullah Wong di hutan kota Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang para aktornya membenamkam diri di lumpur dan memiliki ketahanan fisik luar biasa. Ini pertama kalinya IDF menyelenggarakan pertunjukan outdoor di lokasi yang jauh dari Taman Ismail Marzuki, Cikini, dan Gedung Kesenian Jakarta.
Lalu kami juga mempertimbangkan pentas retrospeksi Sardono W. Kusumo di Singapura dan pertunjukan Fabriek Flickr 2–pementasan eksperimen Sardono yang kembali merespons bekas pabrik gula Colomadu di Solo. Juga pentas Teater Payung Hitam di Bandung berjudul Post Haste yang disutradarai Rachman Sabur.
Setelah menimbang kekuatan dan kekurangan masing-masing, untuk seni pertunjukan, kami akhirnya memilih pentas Tanah + Air oleh duo Senyawa, kelompok musik eksperimental asal Yogyakarta yang beranggotakan Wukir Suryadi dan Rully Sabhara. Pentas yang digelar pada 22 Desember 2016 itu merupakan konser tunggal pertama duo tersebut di Indonesia. Dalam pentas sekitar dua jam itu, Wukir membawa tiga instrumen musik hasil kreasi sendiri: bambu wukir, suthil atau spatula, dan garu, yang biasa dipakai membajak sawah. Semuanya menggunakan senar, sehingga berfungsi layaknya instrumen berdawai seperti gitar, bas, atau biola.
Pentas yang mengusung konsep "perjalanan mencari bunyi" itu menyajikan perpaduan vokal Rully dan instrumen Wukir yang mengentak. Pita suara Rully memproduksi geram, desis, pekik, kumur, embik, ataupun auman bagai harimau. Adapun gesekan, petikan, entakan, dan pukulan Wukir pada beragam alat musik bikinannya melampaui ragam bunyi yang dihasilkan instrumen umumnya.
Perpaduan suara-suara itu menghadirkan suasana marah, mencekam, horor, ingar-bingar, tapi bisa juga terdengar mengasyikkan dengan permainan melodi di sana-sini. Pendar-pendar lampu, kilatan sinar yang atraktif, gambar-gambar pada layar, video mapping, dan aksi teatrikal mereka ikut memperkuat suasana konser malam itu. Konser yang dipersiapkan sekitar enam bulan itu seperti ingin menegaskan: Senyawa tak hanya menyajikan komposisi bebunyian eksperimental, tapi juga merespons pertunjukan dengan aksi teatrikal. Boleh dibilang, di Indonesia belum ada eksperimen musik seluas ini dengan talenta dua orang semata.
Selain itu, kami melihat Senyawa telah menjadi salah satu kelompok eksperimental yang berani menembus dan menjelajahi festival-festival underground di banyak negara—meski di dalam negeri sendiri mereka hanya dikenal di kalangan terbatas. Saat ini Senyawa merupakan kelompok seni yang paling sering tampil di festival musik dan seni di mancanegara, dari Asia, Australia, Eropa, hingga Amerika. Mereka tampil di panggung-panggung musik underground, festival jazz kelas dunia, dan komunitas seni bergengsi.
Adapun Wukir, yang menjadi motor Senyawa, juga dikenal sebagai experimental musician, sound researcher, dan instrument builder. Sebutan itu diberikan oleh Museum der Weltkulturen Frankfurt, Jerman, ketika pada sekitar Oktober 2016 Wukir diminta melakukan residensi di museum yang mengoleksi sekitar 9.000 benda asal Indonesia itu. Saat itu, mereka meminta Wukir membuat instrumen bunyi berdasarkan koleksi barang Indonesia yang mereka miliki. Ia memilih topi Toraja, sisir dan sabuk dari Alor, serta alat tenun Pulau Seram. Ia kemudian membuat instrumen dari replika benda-benda tersebut.
Hal-hal itulah yang menjadi poin pertimbangan kami memilih Senyawa sebagai tokoh seni pertunjukan 2016.
Diskusi cukup liat juga berlangsung ketika kami memilih tokoh seni rupa. Sepanjang 2016, kami melihat banyak pameran yang kuat: dari pameran seni instalasi, BioArt, hingga pameran fotografi. Kriteria kami adalah pameran tunggal. Empat besar pameran yang kami pilih: pameran Aditya Novali: "Acrylic"; pameran instalasi bunyi Bagus Pandega: "Random Black"; dan pameran BioArt Syaiful Aulia Garibaldi: "Quiescent"—ketiganya digelar di ROH Projects, Jakarta Selatan—serta pameran Dewa Ngakan Made Ardana: "Hana Tan Hana, Death and Life of the Unknown" di Redbase Foundation, Yogyakarta.
Dewa Ngakan Made Ardana menyuguhkan pameran dengan medium foto-foto lawas dari keluarga yang pernah terlibat dalam pusaran geger politik 1965. Ardana melukis ulang foto-foto kehidupan sehari-hari keluarga itu di atas kanvas. Dari segi teknik, ia mampu meniru dan melakukan pembesaran foto-foto itu. Konsep pameran Ardana adalah menyajikan sejarah lewat seni, mengenalkan sejarah kelam itu kepada khalayak melalui seni rupa.
Sedangkan Aditya Novali bermain bayang-bayang dalam pameran bertajuk "Acrylic". Perupa lulusan teknik arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, itu menjadikan bayangan sebagai bagian dari seni. Aditya memanfaatkan medium tembus pandang plexiglass atau awam mengenalnya sebagai papan akrilik. Dia memberi jarak antara karyanya dan papan di belakang karyanya. Maka bayangan yang hadir dalam sorotan cahaya menjadi bagian dari karya-karyanya yang hanya terdiri atas dua warna: hitam dan putih. Karya-karya Aditya monokrom, plain, dan instingtif.
Bagus Pandega mengembangkan karya dari medium suara dan gerak. Bagus memulainya dengan Singer, karya trimatra yang dibuat dengan menggabungkan mesin jahit, gramofon, dan pemutar piringan hitam. Dia menciptakan mesin jahit yang bisa "bernyanyi" tiap kali digerakkan. Lalu, dalam pameran berjudul "Random Black" yang digelar pada Juni 2016, ia meningkatkan kreativitasnya. Tak hanya dengan medium suara dan gerak, Bagus juga menciptakan karya-karya seni yang memadukan unsur cahaya, suara, dan gerak dalam waktu yang sama. Hasilnya, riuh bebunyian, kerlap-kerlip lampu LED, dan gerakan kinetik dari obyek-obyek yang tidak disekat menyemarakkan ruang pameran. Bagus berhasil menciptakan perpaduan bunyi, alat musik, dan lampu menjadi karya seni rupa yang menarik.
Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya kami memilih Syaiful Aulia Garibaldi sebagai tokoh seni rupa. Karya-karya Syaiful, yang menggunakan mikroorganisme dan lumut sebagai medium, merupakan sesuatu yang baru dan unik. Dia membuat karya seni yang bisa tumbuh, hidup, dan berkembang. Memang, seni biologi (BioArt) pernah dibuat oleh Honff, komunitas seni dari Yogyakarta. "Hanya, mereka lebih mendesain karya-karyanya itu untuk bisa berfungsi secara sosial ketimbang seni rupa," kata Hendro Wiyanto.
Syaiful, 30 tahun, telah lama memfokuskan diri pada BioArt. Pada akhir 2015, misalnya, dia memamerkan Inner Recesses, instalasi jamur yang ditumbuhkan di Ark Galerie Yogyakarta. "Saya memang tertarik pada makhluk-makhluk mikrobiologis, yang kasatmata, tapi memiliki impact pada kehidupan kita," ujarnya. Seniman lulusan seni grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung itu sempat kuliah di Jurusan Agronomi Universitas Padjadjaran selama dua tahun. Dua latar pendidikan berbeda itu banyak mempengaruhi karyanya selama ini.
Dalam pameran bertajuk "Quiescent" yang digelar di ROH Projects pada Februari-Maret 2016, Syaiful menumbuhkan lumut di atas fiberglass, mempercepat proses pertumbuhannya, lalu memindahkannya ke papan aluminium dan menyemprotnya dengan fixative—sejenis cairan kimia yang digunakan untuk menstabilkan bahan biologis. Jadilah lukisan abstrak memukau berbahan biologis. Lumut itu dalam kondisi dormant, mati suri. Tapi kalau sewaktu-waktu hendak ditumbuhkan kembali bisa—setelah cairan tadi diangkat.
Dalam pameran itu, Syaiful menampilkan 14 karya yang terinspirasi dari makhluk mikroskopis. Namun, berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang berfokus pada proses kehidupan, tumbuh, dan berkembang, kali ini dia berfokus pada makhluk mikroskopis dalam keadaan diam. Itu sebabnya pameran tersebut diberi judul "Quiescent", yang bermakna diam, yang tertidur, dalam kondisi dormant.
Adapun nomine pilihan album rekaman musik terbaik mengerucut menjadi tiga besar kandidat: Keytar Trio: About Jack (Indra Lesmana), Puncak (Senyawa), dan Rajakelana (Mondo Gascaro). Kami akhirnya memilih Rajakelana sebagai album musik terbaik 2016. "Rajakelana menawarkan penciptaan lagu pop yang tradisional, gaya singer-songwriter 1960 dan 1970-an, dengan sound soft-rock, album-oriented rock 1970-an gaya California Selatan, lagu pengiring berlayar dengan yacht, dengan anasir jazz di sana-sini, musik populer Brasil, serta sedikit klasik," kata David Tarigan.
Lirik-liriknya juga memiliki impresi yang sama dengan suasana musiknya. Mungkin lirik tidak menjadi kelebihannya, bahkan terlihat klise. Tapi, ketika menjadi satu kesatuan dengan musik dan pembawaan bernyanyinya, klise-klise itu menjadi kabur, bahkan menjadi kesatuan ekspresi pribadi khas seorang Mondo Gascaro. Di jagat musik Indonesia, mantan motor band Sore itu sudah berada di jalan setapak yang dulu dibuka oleh musikus Yockie Suryoprayogo dan Fariz R.M. "Boleh dibilang, Mondo memiliki kemampuan untuk melebihi keduanya," ujar David. Pembaca, inilah tokoh seni 2016 pilihan kami.
Tim Liputan Khusus Tokoh Seni Tempo 2016 Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono | Pemimpin Proyek: Nurdin Kalim | Koordinator: Mustafa Ismail | Penulis: Seno Gumira Ajidarma, Zen Hae, Amandra M. Megarani, Moyang Kasih Dewimerdeka, Mustafa Ismail, Nurdin Kalim | Penyunting: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Yos Rizal Suriaji, Nurdin Kalim | Penyumbang Bahan: Edi Faisol (Semarang) | Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian | Foto: Ratih Purnama Ningsih, Ijar Karim, Jati Mahatmaji, Amston Probel | Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Rudy Asrori, Tri W. Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo