Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Obama, Trump, dan Indonesia

16 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasan Wirajuda*

Pada 20 Januari 2017, Barack Obama akan mengakhiri delapan tahun masa tugasnya sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dan menyerahkan kekuasaan kepada presiden terpilih, Donald Trump, yang akan menjadi presiden ke-45 sepanjang sejarah 240 tahun berdirinya Negara Amerika Serikat. Artinya, pendulum kekuasaan akan kembali berayun ke Partai Republik setelah delapan tahun di bawah Partai Demokrat.

Dalam seperempat abad terakhir, sejak Presiden Bill Clinton dan presiden-presiden berikutnya—George W. Bush dan Obama—masing-masing memerintah selama dua masa jabatan. Ini merupakan bukti dari kestabilan sistem presidensial yang dianut Amerika, yang berbeda dibanding sistem parlementer yang dipraktekkan di banyak negara Barat lainnya.

Terpilihnya Obama sangat bersejarah karena dialah warga Afro-Amerika pertama yang menjadi presiden. Namun pemilihan presiden tahun lalu gagal mencetak lembar sejarah baru ketika Hillary Clinton tak terpilih sebagai presiden wanita pertama, kendati ia meraih suara pemilih (popular vote) tiga juta lebih banyak daripada Donald Trump.

Memang banyak pihak di Amerika, bahkan di dunia, yang ragu akan elektabilitas Trump. Dia tidak memiliki pengalaman di bidang pemerintahan seperti banyak calon presiden lain yang memiliki track record dari gubernur, anggota Kongres, hingga Senat. Sebagai pengusaha, Trump jeli melihat peluang, seraya memanfaatkan suara protes kelompok menengah ke bawah terhadap kemapanan Wall Street; partai politik; Washington, DC, (lembaga presiden, Kongres, dan kelompok kepentingan); serta globalisasi dan pasar bebas.

Populisme memang sedang menjadi tren setelah krisis euro pada 2010. Pemilihan Trump menguatkan tren populisme yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan populis yang ditampilkan semasa kampanye, yang tentunya menarik bagi pemilih, dalam realitasnya sulit dijalankan. Biasanya terdapat kesenjangan antara janji-janji populis dalam proses pemilihan dan realitas kekuasaan. Sebab, kebijakan yang dijanjikan lebih didasarkan pada eksploitasi emosional daripada kalkulasi rasional.

Kita saksikan, dalam sepuluh minggu terakhir sejak kemenangannya, Trump mengubah atau menafsirkan ulang posisi atau janji kampanyenya (backtracking)—seperti janji membangun tembok perbatasan Amerika-Meksiko, menghukum pengungsi serta kaum muslim, dan memenjarakan Hillary Clinton. Tentunya masih perlu dilihat apa kebijakan yang akan diambil Trump setelah pelantikannya—di mana keputusan juga akan bergantung pada kabinet dan timnya. Banyak pemilih di Amerika yang terkesima oleh keberhasilan Trump sebagai pebisnis. Tapi, seperti yang diingatkan Presiden Obama, memimpin pemerintahan tidak sama dengan memimpin perusahaan keluarga.

Berbeda dengan Trump, Obama terpilih sebagai Presiden Amerika pada November 2008, persis ketika Amerika dan dunia mulai dilanda krisis finansial global. Dipimpin oleh Presiden George W. Bush, G-20, yang dibentuk sebagai akibat dan untuk mengatasi krisis tersebut, menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi pertama di Washington, DC, pada November 2008. Kini, delapan tahun kepresidenan Obama berhasil memulihkan Amerika dari krisis, bahkan mencapai kemajuan ekonomi yang signifikan (pertumbuhan produk domestik bruto 3,5 persen per 2016), termasuk mengurangi dua pertiga defisit negara. Dan yang paling dibanggakan adalah terciptanya 14 juta lapangan kerja baru, pertumbuhan penciptaan lapangan kerja tertinggi sejak 1990-an, serta keberhasilan memotong separuh tingkat pengangguran.

Satu lagi peninggalan yang dibanggakan adalah ObamaCare, dan investasi terbesar sepanjang sejarah dalam energi bersih, energi angin, energi surya, serta kemampuan Amerika mengurangi 60 persen impor minyak. Beberapa peninggalan seperti ObamaCare mungkin saja segera sirna, seperti yang kita dengar dari janji kampanye Trump untuk menghapuskannya.

Presiden Obama senantiasa berbenturan dengan kenyataan bahwa mayoritas Kongres dan Senat yang dikuasai Partai Republik. Presiden Obama, yang berasal dari Partai Demokrat, mengalami kesulitan mengambil kebijakan yang berlandaskan undang-undang karena hal itu memerlukan persetujuan Kongres/Senat. Salah satu contoh adalah janji Obama untuk menutup penjara Teluk Guantanamo pada 2008, yang tidak dapat direalisasi. Karena itu, banyak kebijakan Obama yang didasarkan pada instruksi presiden—yang tentunya juga akan mudah dicabut oleh Presiden Trump melalui instruksi presiden.

Ada lagi peninggalan Obama yang dibanggakan: kesepakatan dan penandatanganan Trans-Pacific Partnership (TPP), yang tentunya berarti pengakuan atas kepemimpinan Amerika dalam kerja sama ekonomi perdagangan bebas di Asia-Pasifik. Meski TPP akan berakhir. Trump menjanjikan untuk membatalkan TPP. Kalaupun Hillary Clinton menang dalam pemilihan presiden yang lalu, dia juga tidak akan meneruskan TPP. Kandidat Clinton dalam kampanyenya menolak TPP (guna merayu suara kaum buruh), walaupun pada awalnya, sebagai Menteri Luar Negeri, dia mendukung proses awal TPP. TPP juga tak akan jalan karena Kongres dan Senat, yang dikuasai oleh Partai Republik, secara politis tidak akan memberikan pengakuan terhadap legasi Obama.

Satu hal yang tak akan dilupakan Amerika, Obama berhasil mencegah negeri itu terperosok lebih jauh dalam perang Irak, yang diwariskan oleh Presiden Bush sejak invasi militer pada 20 Maret 2003—di bawah slogan "Digdaya itu Tepat" (Might is Right), yang sangat kental sifat unilateralismenya. Dalam pidato pamitannya, Obama membalikkan slogan ini menjadi "Kebenaran itu Digdaya" (Right Makes Might). Sejalan dengan itu, Obama juga menarik mundur pasukan Amerika di Afganistan pada akhir 2014. Dan ini memungkinkan Amerika melakukan rebalancing (pivot) di Asia-Pasifik dalam menghadapi pengaruh Tiongkok. Mungkin latar belakang ini membuat Obama tidak berbuat apa-apa ketika rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia terhadap warga Suriah.

Ada juga kebijakan Obama yang seakan-akan menguap tanpa jejak. Salah satu janji Obama pada awal kepresidenannya adalah kebijakan "dunia yang bebas dari senjata nuklir". Kebijakan ini disambut baik oleh dunia. Kebijakan ini lebih merupakan visi Obama terhadap perdamaian dan keamanan dunia. Namun, karena jauh dari realitas politik di Amerika itu sendiri, kebijakan ini kemudian tak pernah disinggung, apalagi diterapkan.

Menarik sekali, dengan terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika pada 2008, banyak orang di Indonesia yang menaruh harapan besar bahwa hubungan Indonesia dengan Amerika menjadi lebih baik. Obama menghabiskan sebagian masa kecilnya di Indonesia dan dunia Islam, dan karena itu diharapkan memiliki empati yang besar kepada Indonesia dan Islam. Namun harapan ini cenderung melupakan bahwa, dalam hubungan antarnegara, kepentingan nasional menjadi pertimbangan utama, dan dalam kerangka itu Amerika mengkategorikan kedekatannya dengan negara lain dengan sebutan sekutu, teman dekat, dan teman.

Indonesia adalah teman Amerika. Tapi, menurut mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Indonesia bahkan merupakan a critical friend. Namun tidak bisa ditampik bahwa Obama sering menyampaikan sikap yang positif terhadap Indonesia, lebih lagi dalam kaitan Indonesia yang demokratis, sekaligus sering vokal dalam membela Islam di tengah timbulnya mispersepsi tentang agama itu di dunia Barat.

Pada 2007, ketika penulis bertemu dengan Senator Obama di Capitol Hill, dia menanyakan harapan penulis (sebagai Menteri Luar Negeri RI waktu itu) tentang prospek hubungan Indonesia-Amerika. Obama menyatakan persetujuannya ketika penulis menjawab "sebagai sesama negara demokrasi, semestinya hubungan kedua negara kita lebih baik".

Sebenarnya terlalu dini untuk membaca dengan tepat kebijakan besar apa yang akan diambil oleh Presiden Trump, baik kebijakan domestik maupun luar negerinya, kelak. Diperkirakan terdapat perubahan atau modifikasi dari janji kampanye dengan kebijakan nyata yang akan diambil.

Tapi dapat dipastikan kebijakan "America First" akan kuat mewarnai kebijakan Trump untuk berbagai hal, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan serta politik dan keamanan. Indonesia, seperti banyak negara lain, tidak akan kebal dari geliat yang terjadi di Amerika masa Trump.

*) Dua kali menjabat Menteri Luar Negeri, dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus