Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjalanan Mencari Bunyi

Pentas Senyawa seluruhnya adalah pentas eksperimen bunyi dan vokal. Modal mereka alat musik ciptaan sendiri dan eksplorasi pita suara. Ada yang menyebut musik mereka bergenre neo-tribal.

16 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Eropa, dalam sejumlah perhelatan musik underground, Wukir Suryadi dikenal sebagai seorang instrument builder. Ia bisa membuat instrumen bebunyian dari barang apa saja. Sebuah garu atau alat penggaruk sawah di tangan Wukir, misalnya, bisa menjadi alat yang produksi suaranya melebihi garangnya gitar metal. Garu itu diberi dawai dari senar dan kawat dengan cara pemasangan yang penuh perhitungan, lalu dihubungkan dengan seperangkat amplifier.

Oleh Wukir, tatkala dawai-dawai garu itu dimainkan dengan cara digesek, dipetik, dicubit, dipukul, dan dikocok, raungannya sungguh bisa melebihi sayatan musik cadas. Demikian gahar. Apalagi ketika bunyi-bunyian dihubungkan dengan efek suara yang bisa menghasilkan gaung, echo, deram, dan suara yang tumpuk-menumpuk. Kita dibawa ke sebuah dunia bunyi yang "aneh".

Dari benda paling biasa sekalipun Wukir bisa membuat instrumen musik. Dalam sebuah program residensi di Wetkulturen Museum, Frankfurt, Jerman, ia diminta mengamati koleksi barang dari Indonesia timur yang dimiliki museum. Wukir lalu membuat miniatur sebuah sisir besar dari Pulau Seram, topi jerami dari Ambon, dan alat tenun. Oleh Wukir, benda-benda itu diberi rentangan kawat atau benang dan dihubungkan dengan amplifier. Ketika dipetik, alat itu menghasilkan bebunyian.

Yang paling baru adalah ia membuat musik dari spatula, alat penggorengan yang biasa digunakan untuk mengaduk adonan jenang. Berbagai instrumen buatan seperti garu dan spatula itu yang digunakan Wukir dalam konser tunggal pertama dia dengan vokalis Rully Shabara di Gedung Kesenian Jakarta, Desember lalu. Mereka berdua dikenal sebagai duo unik Senyawa.

Genre musik Senyawa susah didefinisikan. Bisa metal, bisa elektrik, bisa eksperimental. Ada yang menyebut mereka mengusung musik neo-tribal. Ada juga yang mengistilahkan estetika musik mereka adalah avant-garde dengan sikap pemberontakan punk. Yang jelas, Wukir dalam setiap pertunjukannya seperti kalap mencabik-cabik, menggesek, memetik, memukul, dan mengentak dawai-dawai alat buatannya. Terlihat ia sangat instingtif. Sedangkan Rully memproduksi geram, desis, pekik, kumur, embik, dan aum. Begitulah yang kita lihat saat Senyawa memainkan medley lagu-lagu mereka: Bala/Air, Pada Siang Hari, Sisa, Di Pudarnya Senja, Pasca, Tanah, dan Kereta di Gedung Kesenian Jakarta.

Bertajuk "Tanah + Air", konser yang digagas G Production ini adalah konser pulang kampung setelah mereka malang-melintang di berbagai panggung musik luar negeri. Boleh dibilang, pada 2016, Senyawa adalah kelompok musik Indonesia yang paling banyak bertualang ke mancanegara. Mereka menjelajah ke mana-mana. Ke tempat-tempat festival musik, baik yang underground maupun yang mapan. Dan ini adalah pengalaman menakjubkan—yang pencapaiannya mungkin tidak diduga oleh mereka sendiri.

Panggung internasional pertama Senyawa adalah di Melbourne Jazz, Australia, pada 2011. Setelah itu, mereka mendapat tawaran dari tiga festival. Senyawa pun memulai tur di Eropa dan Australia dimulai dari sejumlah pertunjukan kecil. "Setelah itu, bergulir begitu saja dan kami ke mana-mana," ujar Rully. Mereka juga banyak mendapat undangan kolaborasi dan berbagi panggung dengan musikus atau seniman dari disiplin lain. Di antaranya, Damo Suzuki, Keiji Haino, Oren Ambarchi, Sun Ra Arkestra, Melt Banana, Death Grips, Trevor Dunn, Swans, dan Bon Iver.

Sepanjang 2016 saja, Senyawa dua kali melakukan tur Eropa, kemudian ke Amerika Serikat. Agustus 2016, misalnya, kelompok ini menggelar tur konser keliling Amerika Serikat. Mereka memulai tur di Olympia, Washington, pada 3 Agustus dan mengakhirinya di Brooklyn, New York, pada 21 Agustus. Jadwal lengkap tur konser keliling Amerika adalah 3 Agustus di 414 4th Avenue Olympia, Washington; 4 Agustus di Good Sheppard Center Chapel, 4649 Sunnyside Ave, Seattle; 6 Agustus di The Lab, 2948 16th St, San Francisco; 10 Agustus di Bridget Donahue Gallery, 99 Bowery, 2nd Floor, New York; 12 Agustus di Eaux Claires Music Festival, Eau Claire, Wisconsin; dan 14-21 Agustus di Pioneer Works, Brooklyn, New York.

Senyawa disambut dengan meriah saat tampil di Eaux Claires Music Festival di Eau Claire, Wisconsin, pada 12 Agustus 2016. Festival ini dikurasi oleh Justin Vernon dari Bon Iver dan Aaron Desner dari The National. Festival dengan beragam genre musik itu merupakan satu dari "Top 10 Music Festivals in North America". Dalam festival itu, Senyawa menjadi salah satu pengisi utama bersama sejumlah musikus ternama lain, seperti James Blake, Beach House, dan Erykah Badu. Lebih dari 20 ribu orang hadir dalam festival tersebut.

Saat menggelar tur konser di Amerika, Senyawa sempat ditawari rekaman oleh Sub Pop Records, label di Seattle yang merekam album band Nirvana, Soundgarden, dan Mudhoney. Sub Pop adalah salah satu label yang mempopulerkan musik grunge, genre musik dari Seattle. Namun Senyawa menolak tawaran dari Sub Pop itu. "Kami merasa belum saatnya untuk rekaman di sana," ujar Kristi Monfries, manajer Senyawa. Selain tampil di Amerika dan Eropa tahun lalu, Senyawa menggelar konser di Jepang, daerah Mediterania, dan Australia. Mereka bahkan diundang ke negara-negara nonmainstream, seperti Libanon, Rumania, dan Yunani.

Pentas di GKJ pada Desember lalu bisa disebut pentas kesaksian betapa Senyawa selama ini telah menempuh jalan liar dan berani menembus pertunjukan alternatif di mana saja. Sesi pertama adalah masa-masa awal ketika musik Senyawa lebih agresif dan rancak seperti gunung berapi hendak erupsi. Sementara itu, di sesi berikutnya, kelompok ini menyajikan musik yang lebih subtil dan misterius, sesuai dengan penciptaan mereka yang pelan dan lembut sebagaimana tergambar dalam album terakhir mereka, Brønshøj (Puncak), yang direkam di Denmark. Pentasnya cukup menarik dari segi tontonan. Misalnya, mendadak di tengah pertunjukan muncul pedagang asongan yang berteriak menjajakan kopi di tengah-tengah kursi penonton.

Rully dan Wukir pertama kali bertemu dalam acara Yes No Klub di Yogyakarta pada 2010. Sebelumnya, Rully aktif di Zoo, sementara Wukir banyak mengerjakan proyek solo. Wukir dikenal dari sekolah dasar telah bergabung dengan Teater Ideot Malang pimpinan Mohammad Sinwan dan sempat mondok di Bengkel Teater Rendra di Depok, Jawa Barat. Dari Bengkel Teater, ia tinggal di Bali. Di sanalah Wukir menciptakan instrumen gesek dari bambu yang merupakan trade mark-nya. Instrumen itu dinamai Bambuwukir.

Wukir pertama kali menciptakan instrumen sendiri saat berusia 14 tahun dan tergabung dalam Teater Ideot Malang. "Saya diminta menggarap musik untuk teater, kemudian saya buat instrumen untuk memenuhi kebutuhan sutradara saat itu," ucap pria 39 tahun kelahiran Malang, Jawa Timur, itu. Sejak itu, Wukir ingin menciptakan suara-suara yang tak terbayangkan. "Aku ingin menciptakan bunyi apa saja yang belum ada di pikiranku," ujarnya.

Adapun Rully, 34 tahun, adalah vokalis yang tertarik mengolah pita suaranya untuk mengeluarkan bunyi yang belum tereksplorasi. Helaan napas bisa dia jadikan materi komposisi. Menurut Rully, suara manusia punya frekuensi sangat luas bila digali. "Jika hanya bernyanyi biasa, banyak sekali keterbatasan untuk menjelajah. Akhirnya musik yang tercipta pun tak beda dengan musik populer yang frekuensi dan iramanya sudah familiar," ucap pria kelahiran Palu ini.

Konsep bermusik dari Senyawa yang lebih berfokus pada produksi bunyi tanpa peduli nada ini barangkali belum akrab di telinga pendengar musik Indonesia. Dengan konsep bermusik yang unik, tak mengherankan bila Senyawa banyak terlibat dalam kolaborasi lintas disiplin seni. Mereka pernah mengisi musik untuk pertunjukan kelompok teater Les Remoleurs dari Prancis, kelompok tari Dance North dari Australia, juga seniman video seperti Vincent Moon.

Masih hangat dalam ingatan bagaimana kelompok Contact Gonzo dari Jepang saat di Frankfurt meminta Wukir mengiringi performance mereka. Contact Gonzo kita ketahui adalah kelompok performance yang pertunjukannya penuh adegan bak-buk-bak-buk, tampar-menampar, pukul-memukul, tumpuk-menumpuk, dan guling-gulingan. Kegilaan Contact Gonzo ini direspons oleh Wukir. Musik Wukir terasa cocok dengan "kekerasan" yang disajikan Contact Gonzo. "Berkolaborasi dengan seniman dari disiplin yang berbeda, bagi kami, sangat penting untuk menemukan pendekatan atau metode baru dalam menciptakan musik dan bunyi," ujar Rully.

Untuk urusan penciptaan album, Senyawa boleh dibilang acuh tak acuh. Duo ini menganggap album hanyalah bentuk dokumentasi karya mereka, bukan produk yang mesti laku di pasar. Album mereka biasanya dicetak terbatas, tidak semua dijual di Indonesia, kadang tak ada pula versi digitalnya. "Kami memang tidak terlalu mementingkan penjualan album. Fokus kami adalah menciptakan musik," kata Wukir.

Senyawa rata-rata merekam "dokumentasi dan pertunjukan bunyinya" di studio-studio mancanegara. Mereka telah merilis Extended Play (bukan album) dengan label Yes No Wave Musik dan album berformat piringan hitam, yakni Senyawa with Kazuhisa Uchihashi (2012), Acaraki (2013) oleh DualPlover (Australia), Anggr (Prancis), Menjadi (2014) oleh Morphine Records (Jerman), dan yang terbaru, Puncak (2016), oleh Cejero (Denmark). Album Puncak baru masuk 40 keping ke Indonesia—dijual saat konser di GKJ. Kapan album itu akan disebarluaskan, Rully dan Wukir sama-sama tidak tahu.

Dan, saat akhir pentas di GKJ pada Desember lalu, mereka memainkan musik dari album terbaru yang direkam di Denmark itu. Anak muda yang memenuhi GKJ menyambut dengan antusias. Dengan pentas itu, Senyawa menancapkan diri bukan hanya sebagai kelompok musik, tapi lebih ke sebuah kelompok seni pertunjukan. Dari pentas itu, mereka menampilkan diri sebagai kelompok lintas batas yang terbuka untuk berbagai eksperimen kolaborasi dengan teater, tari, happening, atau apa saja. Garu Wukir, misalnya, pernah menjadi alat musik untuk mengiringi pertunjukan Melati Suryodarmo, Sisyphus. Itulah sebabnya, Senyawa dinobatkan sebagai Tokoh Seni Pertunjukan Tempo 2016.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus