Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH ingat instalasi karya Syaiful Aulia Garibaldi, 31 tahun, berjudul Inner Recesses di Ark Galerie, Yogyakarta, akhir 2015? Instalasi itu terbuat dari substrat jamur merang (Volvariella volvacea). Dalam pameran tersebut, tiap pengunjung yang menyaksikan instalasi itu bisa memiliki pengalaman menonton yang berbeda.
Mereka yang datang pada awal pameran akan melihat saat substrat jamur yang dirancang bak jaring berpola kipas dalam serat dakron itu baru dipasang. Sedangkan yang menonton pada pengujung pameran akan melihat jamur itu telah tumbuh dan merekah. Syaiful bahkan di akhir pameran mempersilakan para pengunjung untuk "memanen" karya seninya. Menyantapnya, mentah atau dimasak lebih dulu.
Sejak pertama kali menggelar pameran tunggal di Bandung bertema "Regnum Fungi" pada 2012, Syaiful telah memfokuskan diri pada BioArt. BioArt adalah praktek berkesenian yang menggunakan jaringan hidup, bakteri, dan organisme. Dalam pameran tunggal perdananya itu, dia melukis dinding Padi Art Ground Bandung agar tampak seolah-olah ditumbuhi lumut. Syaiful menumbuhkan pula miselium—sekumpulan benang yang membentuk jamur—menjadi atraktif dan cantik.
Tahun lalu, Syaiful menggelar pameran tunggal keempatnya dengan tajuk "Quiescent". Dalam pameran itu, Tempo melihat Syaiful makin mengukuhkan posisinya sebagai pelopor BioArt di Indonesia. Yang menarik, berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang menekankan pada proses hidup, pameran yang digelar di ROH Projects Menara Equity lantai 40, Jakarta, itu justru mengambil konsep sebaliknya: kondisi mati suri. Sesuatu yang menjadi oposisi dari proses kehidupan.
Dalam pameran itu, Syaiful menumbuhkan lumut kerak (lichen) di atas fiberglass, mempercepat proses pertumbuhannya, lalu memindahkannya ke papan aluminium dan menyemprotnya dengan fixative—sejenis cairan kimia yang digunakan untuk menstabilkan bahan biologis. Proses pertumbuhannya pun terhenti. Bercak, corak, dan permainan gradasi dari lichen itu menjadi karya seni yang unik. Lichen itu masih dapat berkembang lagi bila lapisan fixative tersebut diangkat.
Pada karya lain, Syaiful menggunakan kuningan sebagai medium dalam menciptakan bentuk serupa jamur. Karya trimatra itu dicat kehijauan dengan bintik-bintik putih—yang lazim disebut buras—untuk memberi kesan tua. Aslinya, buras kerap dihindari para seniman karena memiliki efek serupa karat dalam besi. Tapi Syaiful justru menciptakannya lewat reaksi kimia dengan memberikan cuaca ekstrem pada lapisan kuningan yang dia kehendaki. "Saya tempelkan bibit buras. Saya basahi dan panasi bagian-bagian tertentu dengan gas," katanya.
Lalu Syaiful membangun rangka besi yang ada beberapa sisinya dipasangi substrat jamur tiram (Pleurotus ostreatus), sebelum disiram dengan plester gipsum. Jamur tiram itu akan tumbuh dan mencuat dari sisi gipsum yang dibiarkan terbuka. Ada juga seri lukisan akrilik di atas kertas yang panjangnya mencapai 5 meter. Pada karya-karya ini, Syaiful merekonstruksi koloni makhluk mikrobiologi setelah mengamatinya dari balik lensa mikroskop dengan pembesaran 100-10.000 kali. Ada seri berlatar putih yang berfokus pada bentuk koloni dalam warna-warna tanah. Ada juga seri fungi dan lumut berlatar hitam dengan torehan warna neon.
Di ruangan terpisah, Syaiful menyajikan video live streaming. Dia menyorot jamur tiram dengan kamera yang menggunakan sensor Nintendo Wii dari PlayStation 3. Sensor ini mampu membaca gerakan spora kasatmata yang beterbangan di sekitar jamur. Setiap gerakan yang terekam dari spora jamur ini memicu percakapan dalam bahasa Terhah. Soal bahasa ini akan dijelaskan belakangan.
Total ada 14 karya yang dipamerkan Syaiful dalam pameran itu. Dari sisi teknik gambar, ia unggul. Syaiful tak sekadar mengkonstruksi ulang bentuk-bentuk makhluk mikro, tapi menyajikan efek tiga dimensi lewat guratan serat, akar rhizoid, dan spora melingkar yang bertaburan. Riset biologinya juga mendalam. Ini tentu terkait dengan caranya menumbuhkan substrat jamur dalam rangka besi yang dibaluri gipsum. Pengetahuannya soal material dan bahan juga luas. Tengoklah bagaimana Syaiful menciptakan buras atau bagaimana dia membuat lichen dalam keadaan dormant.
Cara Syaiful Aulia Garibaldi meleburkan batas disiplin ilmu seni, biologi, dan teknologi serta perkembangan karya-karyanya ini membuat dia terpilih sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo 2016. Dia menciptakan sebuah dunia imajiner tempat tinggal makhluk-makhluk mikrobiologi hasil rekaannya.
Sebelum mengecap pendidikan seni rupa, Syaiful menempuh pendidikan agronomi di Universitas Padjadjaran, Bandung, selama dua tahun. Indeks prestasinya di sana tidak bisa dibilang baik. "Saya nasakom (nasib satu koma)," ujarnya, tertawa, merujuk pada nilai indeks prestasinya. Sebab, Syaiful lebih suka menggambar ketimbang mempelajari teori ilmu budi daya pertanian. Tapi dua tahun di agronomi menumbuhkan minat dia yang lain: mengamati perilaku tumbuhan dari balik lensa mikroskop. Sampai-sampai Syaiful membeli mikroskop elektron bekas ketika memutuskan untuk melepas pendidikan agronominya. Dari agronomi, Syaiful masuk ke Seni Grafis Institut Teknologi Bandung.
Di Seni Grafis ITB itulah dia merancang aksara berdasarkan bentuk-bentuk imajiner koloni makhluk mikroskopis yang kasatmata. Itu yang menjadi dasar karya Syaiful yang kita kenal saat ini. Sebelum lulus dari ITB, dia menggelar pameran bersama dalam Bandung Emergence di Selasar Sunaryo pada 2010. Syaiful memamerkan video live streaming cacing dan teks dalam aksara Terhah menggunakan bakteri Escherichia coli dalam cawan petri.
Belakangan, Syaiful enggan menggunakan bakteri dalam berkarya. Menurut dia, memperlakukan bakteri supersulit. Dia lebih suka menggunakan jamur dan lumut—dua jenis makhluk hidup yang sering ia temukan ketika trekking di Taman Hutan Raya Bandung. Saat sesi foto untuk majalah ini, misalnya, Syaiful membawa tim Tempo keluar dari jalur trekking umum di Taman Hutan Raya untuk menemukan spot tempat jamur liar dan lumut tumbuh leluasa tanpa gangguan manusia. Ketika spot itu ditemukan, Syaiful dengan fasih bisa menyebut jenis jamur yang tumbuh dan menyantapnya mentah di depan Tempo.
Syaiful juga bercerita, suatu hari ia hampir menyantap jamur beracun. "Langsung saya lepeh. Rasanya menyengat. Aneh," katanya. Kadang-kadang, di kawasan Taman Hutan Raya, Syaiful membawa pulang obyek yang dapat dikembangkannya untuk berkarya. Potongan kayu dengan jamur liar, misalnya. "Tapi tentu dengan izin pengelola," ujar Syaiful.
Saat mengeksplorasi ide ataupun membuat karya, Syaiful bisa ditemukan di tiga tempat: rumahnya, Gudang Phi, dan laboratorium biologi kampus ITB. Di rumahnya, dia menggambar makhluk imajiner hasil rekaannya dengan cat akrilik. Bagian dari lumut, seperti arkegonium, tangkai, operkulum, kaliptra, dan sporangium, dirancang ulang dalam bentuk-bentuk baru dalam bidang kertas berukuran jumbo. Di laboratorium biologi kampus ITB, Syaiful bereksperimen menumbuhkan, mempercepat, memperlambat, atau mempreservasi lumut, jamur, dan makhluk mikroskopis lainnya. Sedangkan Gudang Phi, yang terletak di Jalan Gudang Selatan, Bandung, menjadi bengkel sekaligus studio seni Syaiful bersama lima seniman dari ITB lainnya. Gudang bekas peninggalan Belanda itu diisi rongsokan karya yang gagal dan karya-karya baru yang belum selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo