Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nun di Dusun Gatak, hiduplah Djeno Harum Brodjo. Warga Kelurahan Sumberagung, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini telah renta dalam usia 77 tahun. Tapi, ajaklah ia berbicara soal keris. Semangatnya berpendar, membalap usianya. Jagat perkerisan mengenalnya sebagai keturunan ke-15 Kyai Empu Tumenggung Supodiryo—sekaligus empu lama yang masih tersisa di Yogyakarta. Tempo bertandang ke kediamannya beberapa pekan lalu. Dinding ruang tamunya yang sederhana dihiasi piagam penghargaan Bintang Budaya Dharma dari Presiden Megawati pada 2003.
Empu Djeno mewarisi keahlian membuat keris dari ayahnya, Kyai Empu Supowinangun. Sejak kecil, Djeno dan empat saudaranya membantu sang ayah membuat keris. Pekerjaan ini mulai serius ia tekuni sejak 1977. Tapi usia menggerus tenaganya. Tungkai kaki kirinya kerap ngilu akibat jatuh di kamar mandi empat tahun lalu. Maka, Djeno tak lagi menangani langsung pembuatan keris, khususnya menempa. ”Jongkok lama-lama memberi warangan keris saja saya sudah tak mampu,” ujarnya.
Sebagian besar pengerjaan telah ia percayakan kepada anaknya semata wayang, Sungkowo Harumbrojo. ”Tapi saya tetap mengawasi dan memberi arahan. Mungkin tiga tahun lagi dia sudah bisa saya lepas,” kata Djeno.
Rata-rata, Empu Djeno membuat dua bilah keris dalam setahun. Buku pesanan di ruang tamu-nya membatasi pesanan hingga tahun 2009. Peminat yang mau inden tahun ini harus menanti hingga 2010. ”Saya tidak ingin menjadi perajin yang membuat keris dalam dua minggu.”
Djeno adalah jenis empu yang tak berani melanggar urutan pemesan, meski order datang dari pe-jabat atau pengusaha kaya-raya. Tentu ada pengecualian. ”Kalau Ngarso Dalem (Sultan Yogya—Red.) yang memesan, pasti akan saya kerjakan lebih dulu,” ka-tanya. Almarhum Sultan Hamengku Buwono IX pernah memesan keris pada 1984 dengan bahan pamor meteorit.
Menurut Djeno, pengusaha dan pejabat banyak yang menggemari keris. Para pejabat umumnya gandrung pada keris-keris berpamor Blarak Ngirit atau Ron Duru, yang diyakini mampu meningkatkan perbawa. Kalangan pengusaha lebih tertarik pada pamor Udan Mas, yang membikin rezeki tokcer. Harga karya Empu Djeno bergerak dari Rp 5 juta hingga Rp 20 juta, tergantung jenis dan lama pembuatan. Keris termahal adalah keris dengan tangguh (model) Sendangsedayu.
Keris mahal itu ditempa di bengkel sederhana di sebelah rumahnya. Bangunan berukuran 18 meter persegi itu berdinding bata telanjang, berlantai tanah. Daun jendelanya dari anyaman bambu. Djeno tak lagi menggunakan ububan (peniup api tradisional berupa dua tabung kayu nangka). ”Sekarang menggunakan blower listrik,” ujar Sungkowo.
Tradisi lama mewajibkan sejumlah ritual yang mendahului pembuat-an keris. Tata cara ini dipegang te-guh oleh Djeno. Dia menjalani laku puasa, membuat sesaji nasi tumpeng dan jajan pasar. ”Sajen hanya persyaratan lahir. Yang penting adalah doa yang tak putus kepada Tuhan,” kata Djeno, yang bercita-cita mendirikan museum keris.
Tradisi lain yang ditaati Djeno adalah pantang menggarap keris pada hari-hari khusus. Umpama, hari pasaran meninggalnya kedua orang tuanya atau hari pasaran penting lainnya. Suatu ketika Djeno lupa pada hari pasaran meninggalnya ibunya. Dia tetap menempa. ”Besi yang saya bakar tak menjadi merah membara. Pekerjaan langsung saya hentikan,” tuturnya.
Di Solo—sekitar 60 kilometer dari Yogyakarta—tradisi pembuatan keris lebih cepat berganti. Contohnya bisa kita lihat pada Fauzan Puspo Sukadgo, 60 tahun, dan Yohanes Yantono, 49 tahun. Kedua nama ini tercantum dalam buklet terbitan Dinas Pariwisata Solo. Nama lain adalah Hajar Satoto, yang juga cukup sohor sebagai pembuat keris di kota itu. Fauzan dikenal sebagai pelopor pembuat keris pada era 1970-an. Kala itu di Solo nyaris tak ada empu keris. Para anggota Bowo Roso Tosan Aji (paguyuban pencinta tosan aji di Solo) khawatir, jika tak muncul empu keris baru, sejarah keris di sana akan selesai.
Sebagai pedagang keris, Fauzan tergerak. Ia belajar membuat keris secara otodidaktik. ”Saya belajar dari nol,’’ kata bekas dosen Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta ini. Tanpa garis keturunan empu, karya-karya Fauzan toh banjir peminat. Ada pesanan lokal, ada yang dari mancanegara. Karena urusan keris pula, Fauzan memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Keraton Surakarta Hadiningrat. ”Bagi saya, keris mengandung nilai seni yang tinggi,’’ katanya kepada Tempo.
Berbeda dengan Djeno, Fauzan mengesampingkan laku tradisi. Ia tak mengasingkan diri bertapa ke gua senyap, puasa, atau bersaji. ”Bisa-bisa waktunya justru habis untuk bertapa,’’ Fauzan bercanda. Menurut dia, semua laku adalah manifestasi doa. Solusinya, ”Cukup melafal doa sesuai dengan agama saya.”
Kini Fauzan sudah pensiun. Penerusnya, Yohannes Yantono. Dosen seni kriya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (dulu ASKI—Red.) Surakarta ini juga tak berdarah empu. Karya-karyanya tersebar di Kanada, Amerika Serikat, dan Jerman dengan harga Rp 3 juta hingga Rp 7 juta. Beberapa museum di Eropa menyimpan keris buatannya.
Seperti gurunya, Yohannes juga meniadakan tradisi laku. Ia hanya membuat sesaji jika diminta pemesan. Yohannes tak percaya sebilah keris bisa sakti mandraguna. ”Bagi saya, keris hanya benda seni yang unik, indah, berteknologi tinggi,’’ tuturnya. Hajar Satoto punya penjelasan lebih masuk akal. Menurut dia, cerita tentang keris yang magis sengaja diumbar agar perdagangan bisa meriah.
Tuah dan kutukan dalam kisah lama macam keris Empu Gandring akhirnya hanya menjadi penglaris dagangan penjaja keris di Alun-alun Utara Keraton Surakarta. Dan tetap “bertuah”: ada saja pembeli yang berhasil dipikat oleh kisah-kisah tersebut.
Raihul Fadjri (Jakarta), Heru C. Nugroho (Yogyakarta), Anas Sahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo