Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN dari kayu pohon kelapa itu se-perti ruang bengkel tak terurus. Tang, kakak tua, palu berbagai jenis, arit, potongan besi, knalpot, serta bekas sayap motor berserakan di mana-mana bersama abu sisa-sisa pembakaran. Lima sak arang berdempet di dinding anyaman bambu. Di sebelahnya, teronggok lempeng-an besi kecil, celurit, dan keris yang sudah berkarat. Ada sebatang pipa berdiameter 20 sentimeter tersambung ke perapian. Ruang seluas 6 x 3 meter itu adalah tempat pembuatan keris pusaka dan tosan aji milik Haji Abdul Ropi’ di Desa Lenteng Barat, Sumenep, Ma-dura.
Ropi’, dibantu dua orang karyawan, tengah melebur em-pat lempeng besi dengan besi pamor (terbuat dari peleng). Karyawan pertama duduk di atas kursi kayu setinggi dada orang dewasa. Ia memompa udara agar api tetap berkobar. Karyawan lain menempa lempengan yang merah menyala dengan palu seberat 5 kilogram. ”Butuh waktu tiga hari untuk membakar keris seperti ini,” kata Ropi’ kepada Tempo.
Ropi’ adalah satu dari ratusan empu keris yang tersebar di Lenteng Barat. Sejak tahun 80-an, desa ini dikenal sebagai tempat pembuatan berbagai keris pusaka. Keti-ka Tempo berkunjung ke desa ini bulan lalu, setengah k-i-lometer sebelum memasuki pintu desa, bunyi kentong-an besi terdengar bertalu-talu. Setiap rumah penduduk di-lengkapi gubuk pembuat-an keris di depan atau di belakang rumah.
Sebelum krisis moneter pada 1998, keris dari desa itu diekspor ke Malaysia, Brunei, Singapura, bahkan ke Amerika Serikat. Permintaan lokal datang dari Bali, Solo, Surabaya, Malang, dan Jakarta. Jumlah-nya mencapai ratusan. ”Pemesan biasanya pedagang keris juga,” Ropi’ memaparkan. Keris yang dipesan biasanya belum diukir. Pedagang yang paling banyak memesan keris adalah warga Desa Aeng Tong Tong, desa tetangga Lenteng Barat. Harganya mulai dari Rp 20 ribu sampai puluhan juta rupiah per buah, tergantung kualitas.
Produksi keris made in Lenteng Barat mulai menurun- seiring terpaan krisis moneter. Juga karena- munculnya pandai keris baru di desa-desa lain di Sumenep. Akibatnya, warga desa itu relatif tertutup- bagi wartawan ataupun orang yang mencari informasi tentang cara membuat keris. Ropi’ termasuk yang tenang-tenang saja dan tetap terbuka menerima wawancara. ”Hasil dari (membuat) ke-ris bisa untuk naik haji dan membangun rumah,” kata-nya.
Sepuluh kilometer di sebelah timur Lenteng Barat, ter-letak Desa Aeng Tong Tong. Jalan kecil ke sana sudah beraspal. Tanaman tembakau berjajar rapi di kiri-ka-nan jalan seperti pagar ayu dalam perhelatan. Di mulut desa, pemandangan berubah drastis: banyak rumah besar berdin-ding semen dan bertegel keramik. Sejauh mata memandang, tak tampak rumah yang dindingnya terbuat dari kayu ataupun anya-man bambu–tipikal rumah di pedesaan Madura. ”Dari 1.400 penduduk, 200 orang adalah empu keris,” kata Amsuri, Kepala Urus-an Desa Aeng Tong Tong.
Empu keris di Lenteng Barat dan Aeng Tong Tong ba-gaikan dwitunggal saja: warga Lenteng Barat membuat keris setengah jadi. Sentuhan akhirnya digarap penduduk Aeng Tong Tong. Ada keris Empu Gandring yang sohor, keris berpamor mlateh sato’or, dan udan mas ciptaan empu Supo asal Tuban, trisula Kerajaan Singo-sari, keris berpamor naga kikik, hingga keris Singo Barong yang panjangnya setengah meter lebih. ”Keris apa pun bisa dibuat di sini,” ujar Zainullah Rahman, salah satu empu di Aeng Tong Tong yang menekuni profesi ini sejak 1967.
Tetangga Zainullah, empu Murka, menjelaskan bahwa keris-keris setengah jadi yang didatangkan dari Lenteng Barat lalu di-bherengih (diberi ramuan khusus agar tampak seperti keris tua dan diberi kekuatan–Red) oleh para empu di Aeng Tong Tong. Murka, yang mengaku keturunan ahli ukir keris Majapahit, mulai membuat keris sejak 1954 ketika masih duduk di SD. Dia membantu ayah-nya yang juga seorang empu.
Menurut ayah dua anak ini, empu zaman dulu membuat keris menggunakan pijatan tangan ditopang siku kaki. Sekarang keris dibuat dengan alat-alat modern seperti pahat besi, pahat kayu, kikir besi, dan sebagainya.
Salah satu karya Murka adalah Singo Barong, yang panjangnya sekitar 75 sentimeter. Gagangnya berbentuk singa dengan luk 15. ”Keris ini saya buat selama tiga bulan. Harganya Rp 10 juta,” tuturnya.
Toh, Murka tidak ”kejar tayang”. Dia puas dengan menciptakan 12-15 buah keris dalam setahun. Har-ganya? Silakan menimbang isi dompet jika Anda berminat. Ada yang Rp 750 ribu, ada yang bernilai belasan juta.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Adi Mawardi (Sumenep)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo