PEKAN-pekan ini orang pers benar, benar sibuk. Belum lagi gaung berita soal Premix berakhir, muncul kabar besar tentang kenaikan bahan bakar minyak. Cerita ini pun belum habis ketika para wartawan harus sibuk lagi mengulas berita tentang deregulasi baru yang disebut Paket Mei 1990. Dan soal yang paling hangat dari paket baru ini tampaknya adalah soal tarif bea masuk. Tak tanggung-tanggung, ada 686 pos tarif yang dihapuskan. Kebanyakan pos yang dihapus berasal dari pecahan-pecahan dari beberapa pos alias ex. "Pos-pos itu sekarang dikembalikan ke induknya," kata Menteri Muda Keuangan Nas- rudin Sumintapura, yang ditemui TEMPO di ruang kerjanya seusai pengumuan paket deregulasi. Cuma, penurunan ini diimbangi pula dengan munculnya 387 pos tarif baru. "Untuk merasionalisasi saja," kata Nasrudin menambahkan. Dengan penambahan dan pengurangan di sana-sini, jumlah seluruh pos tarif susut menjadi 9.250 dari 9.549 sebelum dideregulasi. Yang lebih tajam lagi adalah langkah tegas pemerintah untuk menurunkan tarif-tarif itu. Semua pihak tampaknya mulai sepakat, sebagian industri dalam negeri sudah cukup dewasa untuk berjalan sendiri tanpa diasuh dengan tarif tinggi. Industri elektronik, misalnya. Karena sudah dianggap mampu bersaing dengan barang impor, maka tarif untuk barang jadi elektronik dipangkas cukup tajam dari 60 menjadi 40 persen. "Selain itu, tarif tinggi di sini juga merangsang penyelundupan," kata Nasrudin. Bahkan, menurut Menteri Perdagangan Arifin Siregar, beberapa sektor industri sudah sedemikian majunya. Contoh yang layak dikemukakan di sini adalah industri sepatu. Baik sepatu lokal bikinan Cibaduyut maupun merek internasional yang dibikin berdasarkan lisensi belakangan memang merajai pasar. Itu sebabnya, lewat deregulasi ini tarif bisa ditekan menjadi 40 persen dari 60 persen. Jika melihat contoh-contoh sukses itu maka bisa dibilang langkah deregulasi tarif ini agak terlambat. "Mereka kan selalu menggunakan alasan industrinya masih 'bayi' ," kata Arifin Siregar. Repotnya, sampai sekarang definisi industri yang masih "bayi" ini memang belum jelas benar. Itulah sebabnya, secara bertahap pemerintah tampaknya ingin mengurangi perlindungan kepada "bayi-bayi tua" itu, termasuk "bayi ajaib", barangkali. Jelasnya, dalam istilah Nasrudin, "Pemerintah tak ingin melihat industri yang seperti bonsai." Maka, dipangkaslah tarif-tarif itu. Jika dikalkulasi secara menyeluruh ada 2.481 tarif yang diturunkan. Bahkan yang terkena tarif 0 persen alias bebas tarif jumlahnya bengkak dari 673 menjadi 770. Ada 72 pos yang tadinya terkena tarif antara 5 sampai 40 persen, setelah deregulasi dijadikan 0 persen. Ada juga 25 pos baru yang langsung terkena tarif 0 persen ini. Pos-pos baru tersebut kebanyakan berasal dari beberapa barang elektronik yang tadinya dilarang masuk. Rupanya, untuk menggenjot pertumbuhan industri elektronik yang dianggap padat karya dan padat modal, pemerintah memuluskan jalan ma- suknya barang-barang canggih ini. "Komponen yang belum dibuat dan tidak akan dibuat di sini dalam jangka waktu cukup lama, tarifnya kami bikin menjadi nol," demikian Menteri Perindustrian Hartarto menjelaskan langkah ini. Dengan diturunkannya 2.481 pos tarif itu, konsentrasi mereka juga berpindah tempat. Tadinya, 1.351 pos tarif bergerom-bol di 60 persen. Setelah pemangkasan, barang-barang yang terkena tarif 60 persen ini jumlahnya menciut menjadi cuma 31 jenis. Yang terbanyak diturunkan menjadi 40 persen, yaitu 849 macam. Lalu ada juga 364 jenis yang tarifnya digunting menjadi 30 persen saja. Sisanya dibagi antara 25 dan 35 persen. Barang-barang yang tadinya terkena tarif 50 persen juga banyak yang diturunkan. Dari 585 jenis, 287 di antaranya diturunkan menjadi 40 persen dan 165 dipotong menjadi 30 persen. Akibat penurunan besar-besaran ini, tak banyak lagi tarif yang masih bertengger di atas angka 50 persen. Sekarang, sebagian besar barang yang masuk Indonesia terkena bea masuk 30 sampai 40 persen. Tengok saja di kolom 30 persen, ada 2.078 jenis barang yang akan terkena tarif sebesar itu jika diimpor ke Indonesia. Sebagian besar lainnya juga bertengger di angka 40 persen. Ada 1.580 macam barang yang ditarik bea masuk 40 persen. Yang pendek-pendek dipangkas bukannya cuma Tarif Bea Masuk saja. Tarif bea masuk tambahan alias surcharge pun ikut dibabat. Ada 171 surcharge yang secara bertahan akan dihapus. "Itu karena habis waktu dan tidak diperbarui lagi," kata Nasrudin. Bea tambahan yang biasanya digunakan untuk menanggulangi taktik dumping ini memang berlaku dalam jangka waktu yang tak terlalu lama. Biasanya hanya setahun. Dan selama ini, Indonesia tak dikenal sebagai pasar yang terlalu sering jadi sasaran dumping. "Yang dicemaskan hanyalah dari RRC," tutur seorang menteri. Di samping 171 jenis bea tambahan yang bakal dihapus itu, ada 356 lainnya yang masih berlaku. Sisa jenis barang yang terkena bea masuk tambahan ini pun pelan-pelan akan disusutkan. Lewat deregulasi ini, tak cuma jenis komoditi yang disusutkan. Besarnya tarif pun ikut diturunkan. Sekarang, rata-rata komoditi yang masih terkena surcharge cuma dipungut tambahan 10 persen. Sebelum deregulasi, tambahan tarif yang harus dibayar rata-rata berkisar pada angka 30 persen. Tapi ada juga surcharge baru. Lho? Tak usah heran, ini hanya pengganti. Tarif tambahan baru tersebut dikenakan pada ban mobil yang tadinya terkena tarif spesifik Rp 6.000 per kilo. Dengan dihapusnya tarif spesifik itu, ban sekarang terkena tarif bea masuk 40 persen ditambah surcharge sebesar 20 persen. Tapi itu ternyata masih lebih rendah dari tarif lama. Artinya, "bayi" industri ban dalam negeri dianggap mulai bisa berdiri. Maka, perlindungan bisa diperlunak dan tarif boleh diturunkan. Semua sudah diturunkan. Jika tangkas berhitung, otomatis orang akan berpikir. Penerimaan pemerintah bakal berkurang cukup tajam dengan dipotongnya tarif secara besar-besaran ini. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1990-91 pos bea masuk cukup menggemukkan kantung pemerintah. Dari sini diharapkan bisa disedot dana Rp 1,97 trilyun lebih. Jumlah yang lebih besar 27 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya. Jelas, sasaran ini bakal sulit dicapai, meski belum bisa dipastikan berapa tepatnya dana itu akan tersunat. Pertimbangan untuk risiko ini rupanya sudah masak. "Pemerintah lebih mengutamakan pendapatan dari pajak, baik pajak pertambahan nilai maupun pajak penghasilan," kata Menko Ekuin & Wasbang Radius Prawiro. Boleh-boleh saja bea masuk ikut menyumbang kas negara, tetapi tampaknya tak terlalu diharapkan. "Bea masuk sulit dinaikkan," Radius me- nambahkan. Toh ada perhitungan lain. Pemotongan tarif ini dinilai akan meniupkan angin baik untuk mendorong laju pertumbuhan eko- nomi. "Kalau tumbuh secara keseluruhan, bisa diharapkan tambahan yang cukup besar dari pajak yang meningkat," kata seorang pejabat yang dekat dengan Radius. Tarif yang cukup rendah ini diperkirakan pula bakal mendorong minat orang untuk lebih giat bertransaksi. Dengan membengkaknya volume, kurangnya pemasukan karena tarif yang dipotong paling tidak bisa ditahan agar tak merosot terlalu dalam. Bahkan ada kemungkinan terjadi pemasukan yang lebih besar. Alasan pemerintah untuk menyiangi tarif bea masuk ini juga bukan semata-mata pertimbangan ekonomis di dalam negeri saja. Pemangkasan tarif yang cukup berarti ini tampaknya berdampak pula pada delegasi Indonesia yang sering menghadapi forum General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT di Jenewa, Swiss. Di sana, Indonesia sering mendapat pertanya-an tentang berbagai tata niaga yang dianggap tak selaras dengan semangat GATT, yang pada prinsipnya menghendaki perdagangan yang "adil" tanpa hambatan tarif maupun non-tarif. Barikade bea masuk yang dipasang Indonesia sering dianggap terlalu tinggi oleh orang-orang di GATT. Tentu saja, penurunan tarif yang cukup berarti ini bakal disambut baik oleh negara-negara lain yang tergabung dalam GATT. "Mitra dagang kita pasti senang dengan langkah ini," tutur Arifin Siregar. Selain soal bea masuk, biasanya -- bahkan mungkin lebih keras suaranya negara-negara yang tergabung dalam GATT selalu mempermasalahkan pula soal hambatan-hambatan perdagangan bu- kan tarif. Contoh hambatan ini misalnya saja tata niaga yang birokratis atau diatur sangat ketat. Dalam bentuk yang paling ekstrem, barikade yang dipasang bisa berupa larangan impor. Hambatan yang populer dengan sebutan Non-Tariff Barriers (NTB) ini acap kali membuat repot perunding-perunding kita di GATT. Dan saat ini para peserta GATT sudah mencapai kesepakatan sementara untuk soal ini, yakni yang disebut prinsip Stand Still. Maksudnya, jika mereka tak bisa mengurangi hambatan-hambatan yang ada, paling tidak mereka menjaga agar yang sudah ada tidak ditambah lagi. Dengan dilepasnya Paket Deregulasi 28 Mei ini, anggota GATT bakal lebih hangat lagi menyambut Indonesia. Sebab, kebi- jaksanaan baru ini menyerempet pula soal NTB. Dalam bahasa para menteri kita, ada 371 komoditi industri dan 3 komoditi kesehatan yang dibebaskan atau disederhanakan tata niaga impornya. Itu berarti, ada 374 hambatan nontarif yang dicabut atau diperlunak pemerintah. Kapsul untuk obat-obatan, sebagai misal, yang dulu hanya boleh diimpor oleh importir terdaftar, setelah paket ini berlaku, boleh dimasukkan ke Indonesia oleh importir umum (lihat Deregulusi di ...) Soal hambatan bukan tarif ini bukan cuma memancing reaksi rekanan dagang yang merasa dirugikan. Sebenarnya, untuk perekonomian di dalam negeri pun terlalu banyak NTB juga kurang menguntungkan. Tak heran jika persoalan ini mendapat perhatian dari Bank Dunia, seperti tertera pada laporannya tahun 1990 tentang ekonomi Indonesia yang beredar awal bulan Mei ini. Para pakar Bank Dunia menilai: sebelum 1986, NTB menciptakan distorsi atau gangguan yang paling serius pada perdagangan. Saat itu sekitar 1.700 jenis barang mendapat perlindungan ekstra dari NTB. Hambatan ini terutama terdapat di sektor manufaktur. Jika dibandingkan dengan produksi domestik, barang-barang yang mendapat perlindungan NTB ini mencapai 67 persen. Syahrir, doktor ekonomi lulusan Harvard yang sekarang menjadi direktur pelaksana Institute for Economic and Fi- nancial Research, sependapat dengan penilaian Bank Dunia itu. Menurut dia, dengan terlalu banyak NTB yang dipasang, pembentukan harga domestik alias harga lokal tidak bisa transparan lagi. "Itu hanya akan menguntungkan para penerima fasilitas NTB," katanya. Memang serba repot. Seperti halnya tarif, pemberian NTB itu dimaksudkan untuk membantu industri-industri yang benar-benar masih bertaraf bayi (infant). Dan tentu saja, setelah sang bayi menjadi besar dan kuat, perlindungan NTB pun harus dicabut. "Memang NTB itu sementara, kok. Dalam suatu periode tertentu harus dicabut," begitu Radius Prawiro menegaskan. Sejak 1986, soal NTB bukannya tak diutak-atik. Berangsur-angsur Pemerintah mulai melepas barikadenya. Pada 1986-1988 saja, dalam perhitungan Bank Dunia, 839 penghalang sudah disingkirkan. Dengan demikian, paling tidak ada be- berapa keuntungan yang bisa diperoleh. Para konsumen di dalam negeri tidak hanya menikmati harga yang lebih rendah, tetapi juga mendapat barang berkualitas lebih baik dan pasokan yang pasti. Keuntungan lain adalah perdagangan yang semakin transparan. Dalam deregulasi kali ini, Pemerintah rupanya masih berhitung cermat soal NTB. Terutama untuk barang-barang yang dianggap "strategis" seperti komoditi pertanian, termasuk beras, gandum, terigu, dan gula. Untuk beberapa komoditi, seperti beras, barikade yang dipasang bukan untuk melindungi kepentingan produsen domestik. Perlindungan itu tampak lebih ditujukan untuk mengatur distribusi dan terjaminnya pasokan bahan makanan utama itu. Komoditi "strategis" lain yang bisa dibilang cukup menonjol adalah otomotif. Pemerintah rupanya tetap setia dengan beleid sebelumnya, bahwa industri yang dinilai "strategis" ini harus dikembangkan, sampai "bayi besar" itu benar-benar dianggap sudah kuat. Dan selama itu, rasanya tak ada alasan untuk mengusik NTB para "bayi" ini. "Beri kami waktu empat tahun lagi ," kata Theodore P. Rachmat, Presiden Direktur PT Astra International, ketika diwawancarai TEMPO beberapa waktu lalu. Astra saat ini menguasai 48 persen pasar mobil di Indonesia. Nah, untuk komoditi-komoditi yang dinilai penting dan "strategis" seperti itu, deregulasi diperhitungkan masih belum waktunya. Maka, Paket Mei 1990 ini tak mengubah kebijaksanaan pada bidang-bidang itu. "Memang, kita perlu melakukannya bertahap dan pelan-pelan," kata Nasrudin. Agar tak tersandung-sandung di tengah jalan panjang deregulasi. Yopie Hidayat dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini