POMPA-pompa warna jingga di setiap SPBU, sejak Ahad dini hari pekan silam, sudah tidak lagi bertuliskan Super 98 Peng- gantinya, Premix, muncul bagaikan hantu laut. Dengan bensin beroktan 92, ia menggelisahkan para pemakai kendaraan, yang selama ini terbiasa memakai mesin yang pembakarannya tergantung bensin beroktan 98. Padahal, Premix dengan oktan 92 belum sepenuhnya teruji mampu melahirkan pembakaran semulus Super. Dan belum apa-apa, harganya (Rp 495 dan Rp 510) sudah lebih tinggi dibanding bensin yang digantinya. Kalangan pemilik mobil yahud, yang selama ini melaju dengan akselerasi mulus, karena pembakarannya sempurna didukung Super 98, kini banyak yang mengeluh. Setidaknya dipersoalkan, mengapa Premix dengan oktan lebih rendah harganya justru lebih tinggi. Dan ketika banyak pemilik mobil belum sempat menyesuaikan sistem pembakaran mesin kendaraannya -- supaya sesuai dengan oktan di bawah Super -- maka harga Premix sudah membubung menjadi Rp 555 per liter (harga Elnusa sebagai price leader) atau Rp 570 (harga dari Humpuss) dan Rp 575 (harga dari penyalur lain) untuk SPBU di Jawa. Namun, kenaikan itu masih seiring dengan harga baru BBM dari pemerintah. Dimulai dari Premium, bahan baku Premix itu, dengan harga Rp 450/liter. Waktu itu lonjakan harga belum terasa. Baru pada hari keempat, Premix memancing konsumen untuk menyebutnya si hantu laut, yang tanpa kompromi mematuk kantung mereka. Masing-masing (pengolah dan penyalur Premix) memiliki kebebasan untuk menetapkan harga sendiri-sendiri. Karena itu, tak ada keseragaman mendongkrak harga, seperti ketika harga awal ditentukan beberapa hari sebelumnya. Padahal, formula pendongkrak (booster) Premium supaya oktannya menjadi 92 sama saja, yakni MTBE (methyl tertiary butyl ether) juga dan bahan bakunya pun idem, 90% Premium. Akan halnya MTBE, harganya pun tak bergeser dari US$ 490 sampai US$ 510 per metrik ton. Kabarnya mereka -- yakni PT Elnusa, PT Humpuss, PT Panutan Selaras, PT Sinar Pedoman Abadi, dan Giga Intra -- memperoleh harga Premium tanpa perlakuan istimewa. "Premium yang kami beli harganya sama dengan yang di SPBU," kata Direktur Komersial Humpuss, Ongky P. Sumarno. Kalau kemudian mereka mengatur harga sendiri, tentu sesudah lebih dulu mengandalkan keunggulan masing-masing. Ongky menyebutkan, kenaikan harga sekarang ini merupakan akibat langsung dari mata rantai setelah BBM naik. "Karena ongkos angkutnya juga naik," katanya. Biaya yang naik itu meliputi pengangkutan Premium dan MTBE, lantas demikian pula ketika Premix harus didistribusikan. Humpuss sendiri mengaku menyerap keuntungan cuma sekitar 3%, sementara para penyalur lain bergerak dalam margin 4-5%. Semua itu memang sah saja, apalagi pemerintah sengaja tidak mau turut campur menentukan harga Premix. Dengan harga baru sekarang ini, pihak penyalur Premix sama sekali tak khawatir akan mengakibatkan turunnya permintaan secara drastis. Kalaupun turun, mereka memperhitungkan paling 5%. Pasalnya, para konsumen Premix mayoritasnya terdi- ri dari pemilik mobil mahal yang tentunya memiliki daya beli lebih kuat. Dan mereka tentunya tidak akan membiarkan mesin mobil kesayangannya terganggu oleh bahan bakar yang beroktan lebih rendah lagi dari Premix. Persoalannya adalah, belum ada lembaga yang mengetes kadar oktan bensin yang beredar di pasaran -- apalagi Premix. Tak ada jaminan, si hantu laut itu beroktan 92 atau kurang dari itu. Dan dalam hal ini, pemerintah tampaknya condong membiar- kan saja. Begitu pula dengan kebijaksana-an harga yang diambil oleh lima pemasok Premix itu. Tak peduli kosumen merasa dirugikan atau tidak. Bahkan belum pernah ada pembuktian, Premix tersebut benar-benar diolah oleh para swasta penyalurnya itu. Siapa tahu, mereka hanya mengimpor booster-nya, yakni MTBE, sementara yang mengolah tetap Pertamina. MC dan Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini