Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kala Upah Tergerus Inflasi

Buruh menuntut kenaikan upah 13 persen pada tahun depan lantaran inflasi yang membubung tinggi dan ancaman resesi. Sedangkan pengusaha hanya mau menaikkan upah buruh 3-5 persen.

19 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok, Kudus, Jawa Tengah, 28 September 2022. ANTARA/Yusuf Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA — Kalangan pekerja menuntut kenaikan upah di tengah tren inflasi yang terus membubung. Sebagai kompensasi lonjakan harga barang, buruh meminta adanya kenaikan upah sebesar 13 persen pada 2023.

Buruh sudah baik hati mengeluarkan angka 13 persen itu karena, kalau dihitung, seharusnya kenaikannya mencapai 40 persen,” ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat, kepada Tempo, kemarin, 18 Oktober 2022.

Angka 40 persen merujuk pada kenaikan harga BBM sebesar 30 persen ditambah tingkat inflasi hingga akhir tahun yang diprediksi mencapai lebih dari 6 persen dan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tahun ini sebesar 4 persen. Sedangkan, setelah dirasionalisasi, hitungan kenaikan upah sewajarnya sebesar 13 persen merujuk pada tingkat inflasi yang diperkirakan sebesar 6,5 persen, pertumbuhan ekonomi 4,9 persen, dan nilai produktivitas 1,6 persen. Adapun hingga September 2022, tingkat inflasi Indonesia secara tahunan tercatat telah menembus 5,95 persen.

Mirah mengatakan kaum pekerja sudah makin terimpit di tengah kenaikan harga-harga yang terus berlanjut, tapi upah yang diterima tak memadai. Tahun ini, kenaikan upah minimum provinsi rata-rata hanya sebesar 1 persen sehingga tak mencukupi untuk mengkompensasi berbagai lonjakan biaya hidup yang dialami pekerja.

Sejumlah pekerja melakukan penyablonan di salah satu pabrik kaus, di Brebes, Jawa Tengah, 8 September 2022. ANTARA/Oky Lukmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Belum lagi proyeksi resesi pada 2023 mulai mengancam sektor ketenagakerjaan, antara lain prediksi maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) jika permintaan dalam negeri ataupun ekspor lesu. “Kami berharap pengusaha ataupun Kementerian Ketenagakerjaan kali ini tidak bermain-main dengan dalih pandemi dan resesi global, sehingga mengulang kenaikan upah hanya 1-2 persen pada tahun depan,” katanya.

Kenaikan upah di kala tren inflasi tinggi sebelumnya turut menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pakar kemiskinan PBB, Olivier De Schutter, mengungkapkan negara-negara di dunia harus memastikan kenaikan upah dan tunjangan sosial seiring dengan melonjaknya tingkat inflasi secara global. “Jika tidak, bukan tak mungkin masyarakat akan kelaparan dan jatuh ke jurang kemiskinan,” ucap Olivier dalam keterangan tertulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Menurut Olivier, kondisi saat ini persis seperti awal masa pandemi Covid-19, saat pengeluaran biaya hidup yang harus dikeluarkan bertambah signifikan. Adapun berdasarkan asesmen PBB, krisis global yang terjadi pada tahun ini saja diprediksi menambah 75-95 juta orang dalam kemiskinan ekstrem. “Khususnya di Eropa ketika inflasi telah mencapai rekor tertinggi hingga lebih dari 10 persen, atau di Afrika ketika harga bahan pangan juga melonjak hampir 24 persen. Anggaran rumah tangga di seluruh dunia sudah melampaui titik puncaknya,” katanya.

Pengusaha Tolak Tuntutan Buruh

Pelaku usaha merasa kelimpungan jika harus menaikkan upah sesuai dengan tuntutan pekerja. Wakil Ketua Umum Kadin Jawa Timur Bidang Perdagangan Internasional dan Promosi Luar Negeri, Tommy Kaihatu, mengatakan kenaikan upah sebesar 13 persen itu memberatkan pelaku usaha dan berpotensi berdampak negatif pada keberlangsungan bisnis perusahaan.

“Kalau dituruti, khawatir nantinya malah menyebabkan restrukturisasi. Jadi kami mengusahakan kenaikan upah yang normal-normal saja sebesar 3-5 persen per tahunnya. Itu angka yang lebih wajar,” ujarnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar, secara teori ekonomi, kenaikan upah secara signifikan di tengah badai inflasi justru memiliki efek multiplier yang besar pada perekonomian.

“Ketika upah naik, daya beli masyarakat naik. Mereka akan membeli barang dan jasa yang diproduksi dunia usaha sehingga perekonomian bergerak,” katanya. Hal itu mematahkan asumsi bahwa kenaikan upah justru membawa dampak negatif pada perusahaan dan menyebabkan efisiensi, seperti PHK.

MUHAMMAD IDHAM | GHOIDA RAHMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus