Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Dukungan Elektoral Inkumben Macet

Dodi Ambardi, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dodi Ambardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENANGAN Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pemilihan presiden kemarin bukanlah sebuah kejutan. Survei opini publik memberikan indikasi awal kemenangan itu. Proses hitung cepat berbagai lembaga survei pada hari pencoblosan memberikan validasi yang menguatkan berbagai perkiraan yang dibuat sebelum pemilu. Tentu, data hitung cepat tak bisa menggantikan hasil hitung resmi Komisi Pemilihan Umum.

Tapi, bertolak dari hitung cepat, pertanyaan hari ini yang menuntut jawaban adalah mengapa dukungan elektoral presiden inkumben yang sudah bekerja lima tahun tidak beranjak jauh dari perolehan elektoral lima tahun lalu. Data hitung cepat yang disajikan berbagai lembaga survei menggambarkan bahwa kenaikan dukungan yang diperoleh Joko Widodo hanya berubah sedikit. Bahkan, jika kita menghitung margin of error berbagai hitung cepat itu, bisa saja perolehan dukungan tersebut tidak berubah jika dibandingkan dengan hasil pemilihan presiden 2014.

Kemenangan elektoral inkumben adalah peristiwa normal. Tapi jawaban terhadap pertanyaan mengapa selisih kemenangan elektoral petahana yang tidak bertambah lebar setelah bekerja keras selama lima tahun perlu dieksplorasi.

Keuntungan Inkumben

Studi yang dilakukan Javier Corrales (2012) dari kasus-kasus pemilu presiden di Amerika Serikat dan Amerika Latin memberikan perbandingan yang menarik. Tidak saja data dan temuannya memberikan konfirmasi bahwa kemenangan inkumben adalah sebuah normalitas, tapi data itu sekaligus menunjukkan bahwa calon inkumben memiliki peluang memenangi kompetisi dengan selisih lebih besar pada pemilu berikutnya.

Di Amerika Serikat, data yang tercatat sejak 1972 mengabarkan bahwa lima dari delapan inkumben memenangi pemilu presiden dengan rata-rata selisih kemenangan 9 persen. Proporsi kemenangan inkumben ini membesar jika jumlah pemilihan presiden yang dianalisis ditarik sampai 1930-an. Demikian juga rata-rata selisih kemenangan elektoralnya.

Di Amerika Latin, proporsi kemenangan inkumben pada pemilu presiden lebih besar lagi. Menurut data yang dikumpulkan Corrales sejak 1980, dari 18 pemilu presiden, 16 inkumben memenangi kontestasi itu dan hanya 2 yang kalah. Selisihnya pun, jika dirata-rata, mencapai margin 28 persen.

Mekanik kemenangan elektoral inkumben itu bisa dirumuskan dalam tiga rangkaian logika. Pertama, karena berposisi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden inkumben memiliki panggung publik yang jauh lebih luas dibanding siapa pun rivalnya. Selain itu, inkumben memiliki kemampuan memobilisasi dana kampanye lebih tinggi ketimbang lawan-lawannya. Keleluasaan ini masih ditambah lagi dengan privilese inkumben untuk mengambil dan merumuskan agenda kebijakan publik yang bisa dijadikan bahan kampanye.

Kedua, dengan segala keistimewaan ini, para inkumben menjadi magnet liputan media yang pada gilirannya akan menaikkan visibilitasnya di mata pemilih. Ketiga, kehadiran reguler sang inkumben di hadapan publik pada gilirannya akan menumbuhkan personal attachment atau kedekatan personal dia dengan pemilih yang jauh melampaui rivalnya.

Dalam situasi seperti ini, peluang para kandidat presiden yang menantang inkumben secara obyektif akan lebih kecil dibanding peluang inkumben dalam pemilu presiden. Dari kacamata pemilih, situasi ini akan menghadirkan dua pilihan. Pilihan pertama, mereka akan memilih sebuah kepastian karena mereka sudah memiliki catatan dan informasi tentang rekam jejak sang petahana. Ini sering terjadi saat kondisi ekonomi baik. Pilihan kedua mereka adalah melakukan gambling dengan memberikan suara kepada sang penantang.

Dalam pilihan kedua itu, para pemilih hanya menyandarkan pada harapan mereka akan terjadinya perbaikan kesejahteraan yang dijanjikan lawan inkumben. Dari kacamata kandidat presiden yang menjadi penantang, pilihan strategi kampanye mau tidak mau adalah menekankan kekurangan atau kegagalan sang inkumben. Pemakaian strategi kampanye negatif—dan sering merambah kampanye hitam—menjadi rute yang paling logis untuk dipilih agar peluang elektoralnya membesar. Kinerja inkumben dan evaluasi publik atas kinerja itu menjadi informasi penting untuk menjelaskan melebar dan menyempitnya margin kemenangan elektoral. Kita lihat kasus Indonesia.

Kinerja Inkumben

Dalam rentang waktu lima tahun, tingkat kepuasan masyarakat pemilih terhadap Joko Widodo (dan Jusuf Kalla) meningkat terus jika kita melihat data antarwaktu yang dimiliki Indikator Politik Indonesia. Di awal tahun pemerintahannya, pada Juni 2015, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden hanya berada di angka 41 persen. Tahun-tahun berikutnya, tingkat kepuasan itu secara progresif naik ke 67 persen (Juni 2016), 68 persen (September 2017), dan 71 persen (September 2018). Menjelang pemilu, pada awal April 2019, tingkat kepuasan masyarakat pemilih tetap bertengger di angka 71 persen.

Dengan melihat rangkaian data tersebut, kita bisa memperkirakan dua hal sekaligus: inkumben tidak hanya memiliki potensi besar untuk memenangi pemilu presiden, tapi juga memenanginya dengan selisih elektoral yang besar. Data paling mutakhir tentang kinerja inkumben yang diperoleh dari exit poll yang dilakukan Indikator politik Indonesia pada hari pencoblosan memang menurun, tapi tak berbeda jauh, yakni ke kisaran 67,4 persen. Dengan pembulatan, kita bisa mengatakan, tujuh dari sepuluh pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara merasa puas terhadap kinerja Presiden.

Kepuasan terhadap kinerja inkumben di Indonesia juga tecermin dalam evaluasi pemilih ketika diminta menyatakan kepuasan atau ketidakpuasan atas kinerja inkumben di berbagai sektor. Pembangunan infrastruktur, yang menjadi salah satu program andalan Jokowi, sektor pelayanan kesehatan, sektor pendidikan, dan sejumlah sektor lain dianggap memuaskan atau sangat memuaskan oleh mayoritas pemilih.

Evaluasi pemilih terhadap kinerja Presiden secara umum dan secara sektoral seharusnya bisa menjadi prediktor hasil pemilu presiden 2019—dan dengan selisih elektoral yang besar. Namun, kenyataannya, hanya dugaan pertama yang benar, sedangkan dugaan kedua terbantah. Apa yang menjelaskan kemacetan peningkatan perolehan suara dukungan sang inkumben? Apakah konversi suara tak terjadi, yakni pemilih yang tadinya ragu menjadi yakin atas kemampuan dan kinerja Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan?

Konversi, Media, dan Isu Non-kebijakan

Pada pemilu presiden 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menang di 23 provinsi, sementara lawannya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, unggul di 10 provinsi. Pada pemilu presiden 2019, dari data Indikator Politik Indonesia, proporsi ini bergeser sedikit. Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang di 20 provinsi, sedangkan 14 provinsi selebihnya dimenangi Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Jumlah provinsi pada 2019 bertambah satu, yakni Kalimantan Utara.

Eksplorasi lebih jauh dengan melihat sebaran kemenangan elektoral kedua pasangan kandidat menginformasikan gambaran yang sama. Provinsi-provinsi dengan jumlah pemilih yang gemuk tetap menjadi lumbung suara bagi kedua pasangan kandidat yang bersaing. Provinsi Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara tetap menjadi sumber dukungan bagi inkumben. Sedangkan Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Selatan menjadi mata air dukungan sang penantang.

Provinsi yang menjadi basis kuat penantang di Pulau Sumatera juga tetap memenangkan sang penantang, seperti Sumatera Barat, Riau, dan Jambi, meskipun jumlah pemilihnya tidak gemuk. Sebaliknya, sejumlah provinsi di Pulau Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan, tetap menjadi basis bagi petahana. Kita bisa menambahkan daftar provinsi yang menyumbangkan kemenangan elektoral bagi kedua kandidat. Tapi intinya sama: peta dukungan elektoral bagi Jokowi dan Prabowo sesungguhnya tidak banyak bergeser dari peta dukungan berdasarkan wilayah pada pemilu presiden 2014. Pendeknya, konversi suara yang secara potensial bisa memperlebar jarak elektoral di antara keduanya tidak terjadi secara masif. Jika ada pertambahan atau pengurangan suara di beberapa provinsi, hal itu tidak menghasilkan perubahan peta elektoral secara radikal.

Sampai di sini, kita bisa mengatakan persepsi publik atas kinerja Presiden selama lima tahun tidak bisa menerangkan secara memadai macetnya pertambahan dukungan elektoral bagi inkumben. Tampaknya, persoalannya tidak terletak pada kurangnya sosialisasi tim kampanye sang inkumben, karena mayoritas pemilih tahu kerja Presiden. Kalaupun sosialisasi itu digeber, pertambahan dukungan elektoralnya bersifat marginal saja. Isu-isu lain yang tak berkaitan dengan kinerja sang inkumben jadi perlu dipertimbangkan untuk memahami kemacetan pertambahan dukungan elektoral ke inkumben.

Isu-isu non-kebijakan yang berpotensi menahan laju pertambahan dukungan elektoral beragam. Berkaitan dengan agama, informasi yang memuat tuduhan bahwa pemerintah Jokowi tidak ramah terhadap Islam dan pemerintah ini melakukan kriminalisasi ulama beredar luas di media online dan media sosial. Berkaitan dengan ekonomi, pemerintah sang inkumben dipersepsi oleh sebagian pemilih sebagai komprador yang lebih melayani kepentingan asing. Selain itu, pemerintah Jokowi dipersepsikan sebagai pemerintah yang menumpuk utang.

Banyak data dan informasi yang mengatakan sebaliknya. Ketidakramahan terhadap Islam tidaklah mencerminkan keseluruhan kebijakan Jokowi. Demikian juga tuduhan yang dialamatkan kepada inkumben bahwa pemerintahnya adalah pengutang terbesar. Data ekonomi dan analisis perbandingan yang diberikan sejumlah ekonom justru membantah tuduhan itu. Tapi media online baru yang tak memiliki tradisi jurnalistik meyakinkan dan media sosial yang semrawut menampung semua jenis suara menjadi platform peredaran tuduhan-tuduhan ini, dan peluang tuduhan tersebut menjangkau pemilih justru lebih besar.

Jika data exit poll memberi tahu kita bahwa proporsi pemilih yang tinggal di kawasan perdesaan lebih banyak memilih Jokowi, itu bisa jadi karena mereka tak intensif teterpa misinformasi dan disinformasi media online dan media sosial. Akhirnya, berbagai media dan aneka isu itu mengawetkan dan mengeraskan polarisasi politik yang terbentuk pada pemilu presiden 2014, berlanjut ke pemilihan Gubernur DKI 2017, dan kini menerobos pemilu presiden 2019. Pendeknya, konversi suara menjadi barang langka dalam pemilu presiden kali ini sehingga memacetkan pertambahan dukungan elektoral bagi inkumben.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus