Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Konstitusional Dulu, Inkonstitusional Kemudian

Meski UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK tetap memutuskan undang-undang ini berlaku hingga diperbaiki. Seharusnya omnibus law dinyatakan batal karena cacat formal.

 

26 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hakim konstitusi terbelah dalam memutuskan uji formal UU Cipta Kerja.

  • Putusan MK dianggap sebagai politik jalan tengah karena tidak tegas membatalkan omnibus law.

  • Pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji formal Undang-Undang Cipta Kerja, kemarin. Mahkamah memutuskan pembentukan omnibus law ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga pemerintah wajib memperbaikinya paling lambat dua tahun terhitung sejak pembacaan putusan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan uji formal yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi secara bergantian menyebutkan beberapa pertimbangan sehingga UU Cipta Kerja diputuskan bertentangan dengan konstitusi. Pertama, pembentukan undang-undang sapu jagat ini mengabaikan asas keterbukaan. Misalnya, para pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Publik kesulitan mengakses naskah akademik ataupun Rancangan UU Cipta Kerja. Padahal Pasal 96 ayat 4 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengharuskan kemudahan akses bagi publik dalam memberikan masukan secara lisan ataupun tertulis terhadap sebuah rancangan undang-undang.

Kedua, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja ini dinilai tidak mengacu pada cara dan metode yang pasti, baku, standar, serta sistematis. Lalu terjadi perubahan penulisan beberapa substansi dalam undang-undang setelah DPR dan Presiden menyetujui RUU menjadi undang-undang. Selanjutnya, pembuatan omnibus law ini bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Meski undang-undang ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, Anwar Usman, yang membacakan putusan, mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja tetap berlaku hingga dilakukan perbaikan paling lambat dua tahun ke depan. Jika perbaikan undang-undang gagal dipenuhi, MK memutuskan undang-undang ataupun pasal-pasal undang-undang yang dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

MK juga memutuskan menangguhkan segala tindakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kiri) saat sidang putusan UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Hakim konstitusi, Suhartoyo, mengatakan pihaknya memahami persoalan obesitas regulasi dan tumpang-tindih antar-undang-undang yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law. Namun, kata dia, kondisi itu bukan berarti pemerintah bisa mengesampingkan tata cara atau pedoman baku dalam pembuatan undang-undang. “Karena tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional,” kata Suhartoyo saat membacakan putusan, kemarin.

Namun putusan MK ini tidak bulat. Lima orang dari sembilan hakim konstitusi menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD. Sementara itu, empat hakim lainnya menyatakan berbeda pendapat atau mengajukan dissenting opinion. Kelima hakim yang menyatakan omnibus law bertentangan dengan konstitusi adalah Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra. Lalu empat hakim konstitusi yang berbeda pendapat adalah Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, Arief Hidayat, dan Daniel Yusmic Fancastaki Foekh.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan konsekuensi dari putusan MK ini adalah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus membahas ulang UU Cipta Kerja dari awal kembali. “Karena, kan, cacat prosedur. Sepengetahuan saya, kalau formalnya bermasalah, ya, total diperbaiki, terutama prosedur yang dipermasalahkan MK, termasuk isi pasal,” kata Feri, kemarin.

Feri menilai putusan MK ini terasa janggal lantaran UU Cipta Kerja tetap berlaku meski dinyatakan cacat formal. Padahal seharusnya, ketika undang-undang dinyatakan bermasalah secara formal, artinya aturan itu mesti batal seluruhnya. Semakin janggal karena MK tidak khawatir soal kekosongan hukum dengan pembatalan omnibus law tersebut karena yang akan berlaku adalah peraturan sebelumnya.

“Meski begitu, dalam sejarah pengujian formal, putusan ini merupakan kemajuan dibanding putusan-putusan sebelumnya terkait dengan uji formal,” ujar Feri.

Naskah final Omnibus Law UU Cipta Kerja yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo di Gedung Nusantara III, Jakarta, 14 Oktober 2020. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Adapun pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan MK seperti mengambil politik jalan tengah dalam putusan uji formal UU Cipta Kerja ini. Politik jalan tengah itu terlihat dari putusan yang menyatakan omnibus law bertentangan dengan UUD, tapi dinyatakan berlaku hingga diperbaiki paling lambat dua tahun sejak pembacaan putusan. Di sisi lain, MK tak mungkin menolak permohonan uji formal UU Cipta Kerja karena cacat formal yang didalilkan para pemohon sangat nyata dan sederhana.

Menurut Bivitri, ketika MK memutuskan proses pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD, seharusnya produk yang dihasilkan dari proses itu juga inkonstitusional. “Sehingga dianggap tidak berlaku,” katanya.

Namun, kata dia, putusan MK justru membedakan antara proses pembuatan undang-undang dan hasil. Jadi, MK hanya menyatakan inkonstitusional pada proses pembentukan undang-undang, tapi undang-undangnya tetap dinyatakan konstitusional dan berlaku. 

Bivitri juga tetap mengapresiasi putusan ini meski dianggap tak tegas. Putusan MK yang mengabulkan gugatan formal ini merupakan yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Ia juga menilai masyarakat bisa lega karena pemerintah terhenti membuat peraturan pelaksana UU Cipta Kerja dalam dua tahun ke depan. “Tetapi ini pun berarti peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik tetap berlaku,” katanya.

ROSSENO AJI | DIKO OKTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus