Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Apindo dan Kadin keberatan terhadap Perpu Cipta Kerja.
Pengusaha menolak aturan pengupahan dan outsourcing dalam Perpu Cipta Kerja.
Penambang batu bara sepakat dengan Perpu Cipta Kerja yang menetapkan royalti gratis.
BAGI pengusaha, terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja ibarat petasan di siang bolong: membikin kaget sekaligus kesal lantaran efeknya mengganggu ketenangan. "Kami sekarang tidak bisa berbuat apa-apa lagi," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani kepada Tempo di kantornya pada Kamis, 5 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariyadi, yang juga menjabat Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk, kecewa lantaran pemerintah sama sekali tidak melibatkan pengusaha saat menyusun regulasi pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Padahal omnibus law itu sejatinya disusun untuk memperbaiki iklim usaha demi mendatangkan investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hariyadi, ini bukan pertama kalinya pemerintah tak melibatkan Apindo dalam pembahasan aturan yang berkaitan dengan dunia usaha, khususnya ketenagakerjaan. Apindo, dia menjelaskan, juga kecolongan saat pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang upah minimum pada November 2022. Aturan ini mengubah formula upah minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. "Mesti terima, tak ada diskusi," tutur Hariyadi, yang juga menjabat Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia.
Pembicaraan dengan pemerintah justru berlangsung setelah Perpu Cipta Kerja terbit. Namun, Hariyadi menambahkan, itu pun hanya pembicaraan nonformal dengan sejumlah pejabat eselon I Kementerian Koordinator Perekonomian. Meski tak banyak yang bisa dilakukan, dia berharap ada celah yang bisa mengakomodasi kepentingan pengusaha, yaitu dalam peraturan turunan Perpu Cipta Kerja.
Bukan cuma Apindo, beberapa pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga kecewa terhadap Perpu Cipta Kerja. "Secara kelembagaan, Kadin tidak diajak. Saya tidak tahu kalau ada individu yang diajak bicara,” ucap seorang petinggi organisasi pengusaha itu. Pengurus Kadin juga mempertanyakan sikap pemerintah yang menerbitkan perpu ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja harus direvisi.
Kabar tentang minimnya diskusi dengan pengusaha dalam pembahasan Perpu Cipta Kerja dibantah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri. Menurut dia, sejak awal tahun lalu pemerintah menggelar kegiatan penyerapan aspirasi beriringan dengan sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja. “Pesertanya bukan hanya serikat pekerja dan perusahaan, tapi juga mahasiswa, akademikus, hingga pemerintah daerah," ujarnya pada Jumat, 6 Januari lalu. Indah juga mengklaim ada berbagai kajian yang melibatkan lembaga independen dan universitas. “Perpu ini berdasarkan aspirasi publik dan akademikus."
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pun membantah tuduhan penyusunan Perpu Cipta Kerja tidak melibatkan wakil pengusaha. “Kadin diundang, Ketua Umum Kadin (Arsjad Rasjid),” katanya pada Jumat, 6 Januari lalu. Tempo berupaya meminta konfirmasi atas pernyataan Airlangga kepada Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, tapi tak ada jawaban. Public Relations Executive Kadin Putri Alfiani juga tak memberi tanggapan. “Topiknya masih dalam pembahasan,” tuturnya, Jumat, 6 Januari lalu.
Regulasi pengupahan dan penggunaan tenaga kerja alih daya atau outsourcing dalam Perpu Cipta Kerja menjadi pangkal protes pengusaha. Ihwal pengupahan, Apindo mempersoalkan perubahan formula penghitungan upah minimum. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, penetapan upah minimum memuat variabel inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Perpu Cipta Kerja menetapkan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Ada pula klausul baru, yaitu peluang mengubah formula upah minimum dengan pertimbangan kondisi tertentu, seperti masalah sosial atau ekonomi.
Pengusaha juga mempersoalkan pasal tentang outsourcing. Apindo keberatan terhadap pasal yang memungkinkan pemerintah membatasi jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Soal lain adalah kewajiban pengusaha membayar pekerja alih daya sesuai dengan upah minimum, pembatasan kontrak, dan kewajiban menyertakan mereka dalam jaminan sosial. Di sisi lain, aturan-aturan ini menjadi angin segar bagi kaum pekerja.
Bagi pelaku industri padat karya, seperti tekstil dan sepatu, regulasi upah dan penggunaan tenaga kerja memang sangat sensitif karena berpengaruh pada beban operasi. “Jangan sampai peraturan ini membatasi industri padat karya,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ian Syarif. Kekhawatiran pengusaha, dia menambahkan, tak mengada-ada karena, setelah dihantam pandemi Covid-19 dan maraknya barang impor, mereka sulit mempertahankan usaha. Apalagi untuk memenuhi ketentuan kenaikan upah minimum ataupun membayar jaminan sosial bagi pekerja outsourcing.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia Nurdin Setiawan menilai Perpu Cipta Kerja tak memiliki urgensi untuk segera diterbitkan. Pengusaha, dia melanjutkan, menghendaki penghitungan upah minimum tetap mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja.
Aliansi Buruh menggelar aksi untuk menuntut kenaikan upah 13% di tahun 2023, yang digelar di depan gedung balaikota DKI Jakarta pada 10 November 2022. TEMP0/Magang/Aqsa Hamka
Jika harus menuruti ketentuan dalam Perpu Cipta Kerja, menurut Nurdin, industri tekstil, garmen, dan sepatu tak bisa bertahan di tengah turunnya angka pesanan ekspor dan lokal sebanyak 30-50 persen. “Utilisasi pabrik berkurang, sementara karyawan harus dibayar dengan upah tinggi tanpa memberikan output," ucapnya.
Meski tak sepakat, Nurdin menyatakan tidak akan menggugat Perpu Cipta Kerja. Pengusaha, ucap dia, kini mencari peluang untuk dilibatkan dalam pembahasan regulasi turunan, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri. "Tentu demi mendapatkan solusi terbaik bagi semuanya.”
Toh, memang tak semua isi Perpu Cipta Kerja ditolak pengusaha. Pengusaha pertambangan batu bara, misalnya, diuntungkan oleh terbitnya Perpu Cipta Kerja karena mendapat insentif bagi mereka yang melakukan penghiliran hasil tambang.
Perpu Cipta Kerja menetapkan pemegang izin usaha pertambangan atau IUP khusus batu bara yang mengolah hasil tambangnya berhak mendapat pembebasan iuran produksi atau royalti. "Perpu Cipta Kerja mendukung pengembangan industri," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia pada Jumat, 6 Januari lalu. Dia juga tak mempersoalkan pasal tentang pengupahan dan ketenagakerjaan. "Soal ini, di industri pertambangan sudah berjalan baik."
FRANSISCA CHRISTY ROSANA, HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo