Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH keliru bila menganggap keberhasilan program penghiliran semata-mata ditentukan oleh larangan ekspor hasil tambang. Keputusan investor menanam modal di sektor hilir bukan hanya berdasarkan keberadaan cadangan sumber daya mineral. Tanpa kalkulasi matang, ikhtiar pemerintah memperluas larangan ekspor mineral bisa jadi bumerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo berencana menutup keran ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Kebijakan ini akan disusul dengan larangan ekspor timah dan tembaga. Dengan pelarangan ini, pemerintah berharap bisa mendorong investasi pengolahan dan pemurnian sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi komoditas hasil tambang. Alasan ini sekilas masuk akal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah nikel sejak 1 Januari 2020 memang berhasil mengerek devisa. Sebelum kebijakan ini berlaku, rata-rata ekspor bijih nikel Indonesia hanya menyentuh US$ 1,1 miliar. Angka ini melonjak menjadi US$ 20,9 miliar pada 2021 dan diprediksi mencapai US$ 27-30 miliar pada tahun lalu.
Lonjakan terjadi karena pengolahan bijih nikel menjadi feronikel bisa menghasilkan nilai ekonomi empat-enam kali lipat. Nilai tambahnya jauh lebih besar bila bijih nikel diproses menjadi lembaran baja antikarat. Beberapa smelter bahkan sudah bisa mengolah bijih nikel menjadi bahan baku prekursor untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.
Tak cuma menaikkan nilai ekonomi, proses pengolahan ini memperpanjang rantai produksi sekaligus membuka lapangan kerja baru. Akibatnya, terjadi perbaikan kesejahteraan dan pengurangan kesenjangan di lingkungan sekitar lokasi penambangan.
Namun apa yang terjadi pada nikel tak serta-merta berlaku pada industri bauksit ataupun komoditas tambang lain. Indonesia bukanlah pemain dominan di pasar bauksit dunia. Cadangan bauksit kita hanya 3,6 persen dari total cadangan dunia. Sebaliknya, kontribusi Indonesia terhadap pasokan pasar nikel global mencapai 27 persen. Importir yang selama ini membeli bijih bauksit dari Indonesia dengan mudah beralih mencari pemasok alternatif dari Australia—produsen bauksit terbesar dunia.
Kebijakan ini akan menimbulkan pukulan ganda. Selain menurunkan penerimaan ekspor, perusahaan penambang di dalam negeri akan kelimpungan menjual produknya. Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia memprediksi produksi bauksit tahun lalu mencapai 30 juta ton. Sementara itu, kapasitas tiga smelter yang sudah beroperasi tidak lebih dari separuhnya. Bijih bauksit yang tidak terserap ini rawan diselundupkan.
Bukan hanya itu. Setiap komoditas memiliki model bisnis dan karakteristik yang berbeda. Pemurnian konsentrat tembaga, misalnya, hanya menghasilkan nilai tambah yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Padahal pembangunan smelter butuh dana jumbo. Pabrik pengolahan dan pemurnian menelan energi yang sangat besar. Tanpa infrastruktur memadai, larangan ekspor tidak cukup kuat untuk memaksa investor membangun smelter.
Ketimbang memperluas larangan ekspor, pemerintah lebih baik memungut bea keluar ekspor hasil tambang. Dengan cara ini, pemerintah tetap memperoleh penerimaan ekspor serta tambahan pendapatan fiskal. Pungutan pajak ekspor ini kelak bisa dimanfaatkan untuk membangun industri pengolahan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo