Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terbengkalai Setelah Dua Tahun

Lahan proyek food estate di sejumlah daerah terbengkalai. Audit Badan Pemeriksa Keuangan mempersoalkan motif pemerintah mempercepat pelaksanaan program yang tak didahului kajian mendalam.

11 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bak Penampung Air untuk Lahan Food Estate Humbang Hasundutan di Sumatera Utara. (kiri) Februari 2021, (kanan) 7 Juli 2022. Tempo/Sahat Simatupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Lahan food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, terbengkalai.

  • Temuan BPK mengungkap kekeliruan pemerintah sejak merencanakan food estate.

  • Buruknya perencanaan merembet ke pelaksanaan proyek yang berantakan.

BAK kotak biru raksasa yang masih menganga kawasan sentra pangan (food estate) Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Rampung dibangun tahun lalu, bak itu sedianya untuk menampung air dari Sungai Desa Ria-ria yang mengalir tepat di sebelahnya. Dari sana, air baku juga semestinya mengalir ke kawasan food estate.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun siang itu, Kamis, 7 Juli 2022, fasilitas seukuran lapangan basket tersebut kering kerontang. Pagarnya tampak sudah lama tak pernah dibuka. Sedangkan bangunan kantor pengelolaan irigasi di komplek itu, yang pada September 2021 diserahterimakan oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera II Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, juga mati suri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasib serupa dialami gudang penyimpanan bibit bawang merah. Dibangun pada 2020 menggunakan anggaran Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, bangsal seukuran rumah tipe 21 itu tampak tak terawat. Dua rolling door-nya terkunci rapat. Atap seng di sudut belakang juga mulai copot. Terpal, karung plastik, dan potongan kayu tergeletak tak beraturan di halaman yang mulai dipenuhi ilalang. “Bangsal itu tidak berfungsi sejak dibangun,” kata Haposan Siregar, Ketua Kelompok Tani Ria Bersinar, kepada Tempo. Ria Bersinar merupakan satu dari enam kelompok tani penggarap lahan food estate Humbang Hasundutan.

Menurut Haposan, masalah utama yang kini dihadapi petani adalah air. Hal itu pula yang membuatnya bingung. Sejumlah fasilitas pengairan telah dibangun, termasuk embung. “Tapi pipa saja belum terpasang sampai sekarang,” kata dia. “Bayangkan ambil air perlu 1 kilometer. Bagaimana caranya? Itulah yang bikin semakin malas.”

Alih-alih membudidayakan kentang, bawang merah, atau bawang putih yang menjadi target komoditas food estate di Humbang Hasundutan, kebanyakan petani kini beralih menanam kol dan jagung. “Olah sendiri-lah,” kata Haposan.

Bangunan dome pengering bawang terlantar di kawasan food estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 7 Juli 2022. Tempo/ Sahat Simatupang

Dari bangsal bibit bawang merah yang terbengkalai tadi bisa terlihat hamparan lahan Desa Ria-Ria yang dua tahun terakhir digembar-gemborkan pemerintah bakal disulap menjadi kawasan sentra pangan terintegrasi. Mulsa plastik abu-abu kehitaman bekas tanaman bawang merah tampak berserakan di ladang-ladang yang tak tergarap. Kalaupun ada yang tergarap, kebanyakan dipenuhi kol, bukan kentang, bawang merah, atau bawang putih yang menjadi target komoditas food estate Humbang Hasundutan.

Potret lahan-lahan itu kini tak serapi pada awal penanaman yang diinisiasi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada September 2020. Suasananya juga tak semeriah acara panen perdana kentang yang dihadiri Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Maret 2021.

Tepat dua tahun lalu, sepanjang Juni hingga Juli 2020, Desa Ria-Ria menjadi salah satu pokok pembahasan dalam rapat-rapat yang digelar maraton di Jakarta untuk menyiapkan pelaksanaan program food estate di Humbang Hasundutan. Desa ini disiapkan menjadi tuan rumah untuk proyek tahap pertama, meliputi areal seluas 215 hektare, yang akan didanai oleh anggaran negara.

Kala itu, pemerintah memang tengah bergegas menyiapkan pelaksanaan proyek food estate di sejumlah daerah. Presiden Joko Widodo memerintahkan agar pengembangan kawasan pertanian dipercepat untuk mengantisipasi potensi krisis pangan pada masa pandemi Covid-19. Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi salah satu daerah yang terpilih sebagai lokasi proyek, bersama Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Sumba Tengah di Nusa Tenggara Timur.

Kawasan lumbung pangan (food estate) di Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. 27 Oktober 2020. Presidenri.go.id/BPMI Setpres/Laily Rachev

Restu dari Jokowi kepada Humbang Hasundutan sudah datang jauh-jauh hari. Setahun sebelumnya, pada akhir Juli 2019, Jokowi menengok daerah hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara tersebut. Presiden memuji kesuburan tanah Humbang Hasundutan yang ia anggap bakal cocok menjadi sentra budi daya hortikultura, seperti bawang-bawangan dan cabai-cabaian.

Jokowi pula yang akhirnya meresmikan dimulainya proyek food estate di Desa Ria-Ria pada akhir Oktober 2020. Selain membuka lahan 215 hektare untuk proyek dengan skema pembiayaan negara, pemerintah menyiapkan lahan 715 hektare untuk program pangan yang akan menggandeng investor—meliputi Desa Ria-Ria, Desa Hutajulu, dan Desa Parsingguran I. Semua area ini merupakan bagian dari total rencana pengembangan food estate yang ditaksir akan merambah lahan sekitar 30 ribu hektare di Humbang Hasundutan.

Sepanjang pekan lalu, Jokowi sebenarnya kembali melawat ke Sumatera Utara. Namun Humbang Hasundutan tak masuk daftar agenda kunjungan tersebut. Sementara itu, segudang persoalan imbas ambisi membangun food estate kini tertinggal di Ria-Ria dan desa-desa lainnya di sekitarnya.

Buruk Proyek sejak Perencanaan

Alarm potensi kegagalan sebenarnya telah disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan pada akhir Maret lalu. Kala itu, lewat siaran pers, lembaga auditor negara ini mengabarkan bahwa Ketua BPK Isma Yatun telah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program food estate pada Kementerian Pertanian kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Audit itu tak hanya menyasar proyek food estate di Humbang Hasundutan, tapi juga di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah; serta di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Hasilnya, seperti diumumkan di situs web lembaga saat itu, “BPK menyimpulkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi Program Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan atau Food Estate Tahun Anggaran 2020 sampai dengan Triwulan III 2021 dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan dalam semua hal yang material.”

Hingga kemarin, Ahad, 10 Juli 2022, Isma Yatun tidak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo untuk meminta penjelasan mengenai berbagai temuan BPK perihal audit proyek food estate.  

TUAN RUMAH PROYEK FOOD ESTATE BERMASALAH

BPK baru membuka laporan hasil pemeriksaan tersebut kepada publik pada Juni lalu bersama hasil audit lainnya untuk periode pemeriksaan semester II 2021. Selain terhadap pelaksanaan proyek di Kementerian Pertanian, audit dilakukan terhadap proyek pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berhubungan dengan program food estate. Dari kedua pemeriksaan itu, tergambar betapa proyek food estate compang-camping sejak proses perencanaan.

Audit BPK pada program Kementerian Pertanian, misalnya, mengungkap perencanaan kegiatan food estate dianggap tak didasari data dan informasi yang valid. Kementerian, demikian tertulis dalam laporan tersebut, menyiapkan program food estate dengan menggulirkan dua dokumen rancangan. Untuk proyek di Sumatera Utara, Kementerian menyusun buku Desain Pembangunan Kawasan Food Estate Berbasis Hortikultura di Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun buku bertajuk Grand Design Food Estate Kalimantan Tengah disusun untuk pekerjaan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas.

Kedua dokumen itu diterbitkan pada Desember 2020, beberapa bulan setelah penanaman dimulai di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Sementara itu, proyek di Sumba Tengah, NTT, sama sekali tak disertai desain pembangunan. Belakangan, pada Mei 2021, Kementerian Pertanian kembali menggulirkan dokumen “Rancangan Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani”.

Semua dokumen itu sebenarnya mencatat berbagai program serupa yang gagal di masa lalu. Proyek lawas itu, misalnya, merupakan pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proyek kawasan sentra pangan dan energi di Merauke, Papua, tersebut tak berlanjut. Ada pula catatan tentang Mega Rice Project in Peatland, proyek pengembangan lahan gambut (PLG) yang berantakan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Persoalannya, laporan BPK mengungkapkan Kementerian Pertanian belum mengkaji secara komprehensif proyek-proyek gagal tersebut. Pelajaran dari masa lalu, demikian auditor menulis dalam laporan hasil pemeriksaan, diperlukan untuk rencana pengembangan food estate di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

Pemerintah, dalam setiap naskah rencana proyek food estate yang disusun Kementerian Pertanian, juga selalu beralasan kawasan sentra pangan diperlukan sebagai antisipasi terhadap peringatan dari Badan Pangan Dunia (FAO). Peringatan yang dimaksudkan berupa kemungkinan terjadinya krisis pangan akibat pandemi Covid-19. FAO, pada April 2020, memang menyebarkan dokumen berjudul “Anticipating the Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts” ke semua negara.

Dalih itu pun menjadi masalah. Pasalnya, dokumen FAO yang menjadi acuan pemerintah sebenarnya merujuk pada laporan Global Report on Food Crisis (GRFC) edisi 2019. Dokumen ini mencatat sekitar 113 juta orang di 53 negara menghadapi kerawanan pangan parah pada 2018. GRFC edisi 2020 juga memuat daftar 35 negara dengan kerawanan pangan akut. Namun Indonesia tak termasuk dalam daftar negara yang dinilai rentan krisis pangan dalam kedua dokumen tersebut.

GRFC merupakan laporan analisis dan konsensus yang disusun FAO bersama 16 lembaga internasional, mayoritas di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai laporan perkembangan kondisi ketahanan pangan dunia—juga masalah turunannya, seperti pemenuhan gizi. Dalam edisi terbaru yang dipublikasikan pada awal Mei lalu, GRFC mencatat sedikitnya 193 juta orang di 53 negara menghadapi kerawanan pangan sepanjang tahun lalu. Indonesia memang tak termasuk dalam analisis tersebut.

Petani beralih menanam kol di kawasan food estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 7 Juli 2022. TEMPO/Sahat Simatupang

BPK pun merujuk pada realisasi neraca beras di Indonesia. Kerangka Sampel Area yang disusun Badan Pusat Statistik justru menunjukkan stok beras surplus pada periode Juni-Desember 2020. Adapun tahun lalu, pemerintah juga memproyeksikan stok beras masih surplus.

Auditor menyimpulkan, pengembangan kawasan food estate semestinya tidak dilaksanakan secara terburu-buru. “Seharusnya Kementerian Pertanian memiliki waktu untuk mengkaji kegagalan proyek serupa dan menyusun perencanaan yang lebih strategis dan matang,” begitu bunyi laporan hasil pemeriksaan BPK.

Kemarin, Tempo berupaya meminta penjelasan kepada Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Panutan Sulendrakusuma, yang salah satu tugasnya membantu pengendalian, percepatan, monitoring, dan evaluasi masalah program prioritas nasional di sektor pertanian. Panutan mengarahkan agar pertanyaan ditujukan kepada Tenaga Ahli Utama Kedeputian III, Bustanul Arifin. Namun, hingga laporan ini diturunkan, panggilan dan pesan yang dilayangkan Tempo kepada Bustanul tak kunjung berbalas.

Besar Angan-angan ketimbang Pelaksanaan

Buruknya perencanaan merembet ke hasil akhir. Upaya menggenjot produktivitas pertanian, yang selalu menjadi alibi pemerintah untuk memulai program food estate, tak pernah tercapai.

Di Humbang Hasundutan, sepanjang musim tanam pertama pada September 2020-April 2021, produktivitas ketiga komoditas yang dibudidayakan dengan skema APBN di lahan seluas 215 hektare jauh lebih rendah dibanding produktivitas nasional. Produktivitas lahan budi daya bawang merah, misalnya, rata-rata hanya 5,18 ton per hektare. Angka ini jauh dari rata-rata produktivitas bawang merah nasional yang mencapai 9,71 hektare. Hal serupa terjadi pada budi daya kentang, yang rata-rata produktivitasnya hanya 8,37 ton per hektare, kurang dari separuh rata-rata produktivitas nasional sebanyak 19,55 ton per hektare.

Rendahnya produktivitas itu ditengarai akibat pelaksanaan program yang tak kalah tersara bara. Pemerintah menggeber proyek tatkala masalah utama di Desa Ria-Ria belum dibereskan: rendahnya kualitas dan kesuburan lahan untuk budi daya hortikultura.

Temuan utama dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap proyek food estate.

Masalah tersebut, menurut laporan BPK, sebenarnya telah terdeteksi dalam “Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Food Estate Tahun Anggaran 2020” yang disusun Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Laporan itu mengingatkan perlunya konservasi tanah dan tata kelola air untuk pengembangan food estate Humbang Hasundutan. Kecepatan air hujan untuk masuk ke profil tanah di lokasi proyek sangat lambat.

Akibatnya, air hujan yang jatuh akan mengalir di permukaan (run off). Lapisan permukaan tanah yang gembur juga mengalami erosi sangat besar. Saluran air menjadi buntu akibat sedimentasi air permukaan.

Persoalan itu diperparah oleh pengadaan bantuan sarana budi daya pertanian, seperti pupuk, yang juga tak memenuhi rekomendasi hasil survei. Jumlah pupuk NPK riil per hektare pada lahan komoditas kentang, misalnya, hanya 500 kilogram per hektare, kurang dari angka rekomendasi 750-900 kilogram per hektare. BPK juga mencatat rekomendasi pemberian bahan organik pada lahan budi daya kentang, bawang merah, dan bawang putih justru tak dilaksanakan. Sebagai gantinya, Kementerian Pertanian memberikan pupuk organik padat, pupuk organik cair, pupuk hayati cair, dan pupuk kandang, yang tak dapat dijelaskan korelasinya dengan rekomendasi Balitbang.

Realisasi proyek food estate Kementerian Pertanian di Kalimantan Tengah tak kalah pelik. Menghadapi risiko kegagalan amat tinggi karena lokasinya yang memanfaatkan bekas area pengembangan lahan gambut (PLG) era Soeharto, pelaksanaan proyek intensifikasi dan ekstensifikasi sawah tersebut juga sarat masalah. Temuan BPK pada penyaluran bantuan prasarana dan sarana budi daya pertanian, seperti yang terjadi di Humbang Hasundutan, marak di Kabupaten Pulang Pusau dan Kabupaten Kapuas.

Selain itu, hasil pemeriksaan fisik menunjukkan setidaknya, hingga Oktober 2021, sebagian lahan ekstensifikasi di 16 desa dinilai tak memenuhi budi daya pertanian lantaran tak disertai perencanaan rehabilitasi saluran irigasi oleh Kementerian PUPR. Infrastruktur tata kelola air di lahan eks-PLG tersebut tak berfungsi karena saluran irigasi sekunder dipenuhi sedimentasi dan tumbuhan air. Lahan-lahan tergenang dan tidak dapat membuang kelebihan air. BPK mencatat total lahan seluas 3.878 hektare di Kabupaten Pulang Pisau hasil ekstensifikasi berpotensi tidak dapat dimanfaatkan.

Tempo melayangkan surat permohonan wawancara berisi detail pertanyaan tentang berbagai temuan BPK kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sejak Selasa, 5 Juli lalu. Namun, hingga kemarin, surat yang disampaikan melalui Biro Hubungan Masyarakat itu tidak berbalas.

Ahad malam, 10 Juli 2022, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, meminta Tempo kembali berkoordinasi dengan Biro Humas. Kepala Biro Humas Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, menyarankan agar pertanyaan disampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Ali Zamil, serta Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto.

Ali Jamil menyatakan akan menyampaikan permohonan wawancara tentang proyek food estate tersebut kepada Menteri Syahrul lebih dulu. Senin pagi tadi, 11 Juli 2022, Sekretaris Direktur Jenderal, Hermanto, mengabarkan direktorat yang bertanggung jawab dalam proyek food estate di Kalimantan Tengah akan memberikan penjelasan hari ini. 

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo beberapa kali menepis tudingan gagalnya tiga proyek food estate di bawah kementerian yang ia pimpin. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi pertanian, medio April lalu, Syahrul menyatakan proyek di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur cukup berhasil.

Terakhir kali, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR untuk membahas rencana kerja dan anggaran, Syahrul mengatakan kendala utama dalam pengembangan food estate adalah infrastruktur. “Kalimantan Tengah itu kan rawa-rawa, disulap itu enggak mudah. Tapi itu masa depan. Jadi, jangan dilihat yang sekarang,” kata Syahrul di DPR, Senin, 13 Juni lalu.

Dia lantas membandingkan anggaran yang diajukan Kementerian Pertanian untuk food estate tergolong lebih kecil dibanding kementerian lain. “Kementerian Pertahanan itu besar, Rp 500 miliar enggak turun-turun,” kata Syahrul.

Proyek food estate Kementerian Pertahanan yang dimaksudkan Syahrul berlokasi di Kabupaten Gunung Mas. Oktober tahun lalu, Tempo menurunkan laporan tentang seabrek permasalahan di lahan food estate Gunung Mas. Namun, hingga kini, belum ada tanda-tanda BPK memeriksa akuntabilitas proyek tersebut.

AGOENG WIJAYA | IMA DINI SAFHIRA | SAHAT SIMATUPANG (HUMBANG HASUNDUTAN) | 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Agoeng Wijaya

Agoeng Wijaya

Berkarier di Tempo sejak awal 2006, ia banyak mendalami isu ekonomi-politik, termasuk soal tata kelola sumber daya alam. Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan ini juga aktif dalam sejumlah kolaborasi investigasi global di sektor keuangan dan perpajakan. Alumnus Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus