Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohamad Ikhsan*
PERLAMBATAN laju pertumbuhan ekonomi sejak akhir triwulan III 2013 hingga kini tergolong langka dalam sejarah siklus pertumbuhan ekonomi Indonesia era Pembangunan. Kecuali saat krisis ekonomi 1998, periode perlambatan hanya terjadi dalam maksimum empat triwulan. Biasanya, setelah tiga-empat triwulan, siklus laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali ke pola normalnya: tumbuh rata-rata di atas enam persen per tahun.
Karena itu, mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi di atas enam persen per tahun menjadi agenda yang mendesak pemerintah. Mengapa demikian? Pertumbuhan ekonomi adalah elemen penting dalam penciptaan lapangan kerja untuk menekan tingkat pengangguran di bawah lima persen. Selain itu, penurunan tingkat kemiskinan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di bawah sepuluh persen akan sulit dilakukan jika laju pertumbuhan ekonomi hanya di sekitar angka lima persen. Bukan hanya itu. Kelompok rentan (vulnerable group) menjadi lebih rentan dan akan mudah jatuh dalam perangkap kemiskinan.
Sayangnya, siklus bisnis dan kebutuhan pertumbuhan ini tidak selalu koheren. Ekonomi dunia mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Ekonomi dunia sekarang ini ibarat mesin dengan beberapa piston. Sejumlah piston kini bekerja di bawah kapasitas. Praktis hanya ekonomi Amerika Serikat dan India yang bekerja relatif normal. Eropa dan Jepang bekerja dengan busi yang "terbatuk-batuk". Ekonomi Cina sedang mengalami konsolidasi. Dengan kondisi ekonomi global seperti itu, mau tidak mau proses pemulihan ekonomi domestik harus mengandalkan kekuatan sendiri.
Namun sisi penawaran dari perekonomian Indonesia pun bermasalah. Pertama, defisit infrastruktur—terlepas dari upaya pemerintah baik dalam bentuk peningkatan anggaran infrastruktur maupun upaya mendorong swasta berpartisipasi—juga belum mampu mengimbangi sisi permintaan. Kemacetan lalu lintas di jalan raya atau di bandar udara merupakan refleksi dari kesenjangan di sisi penawaran ini. Kedua, penurunan surplus neraca perdagangan Indonesia juga merefleksikan kesenjangan di sisi penawaran. Contohnya, neraca perdagangan produk hortikultura yang lima tahun lalu masih surplus kini berubah menjadi defisit. Perubahan ini bukan karena produksi menurun, melainkan produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi tambahan permintaan. Kesenjangan dari sisi penawaran ini yang menyebabkan inflasi di Indonesia masih tergolong tinggi.
Mengapa hal ini terjadi? Sebagian karena kapasitas kita memang terbatas akibat kesalahan kebijakan masa lalu. Defisit dalam infrastruktur tidak bisa diatasi karena dana pemerintah yang terbatas lantaran sebagian besar dihabiskan untuk subsidi energi. Kesalahan ini sudah dikoreksi—walaupun potensi kesalahan masa lalu terulang sangat mungkin terjadi. Namun masih banyak kebijakan yang tidak koheren. Contohnya, bagaimana sulitnya mengimplementasikan kebijakan reformasi struktural yang dicanangkan pemerintah. Birokrat di tingkat pusat dan daerah sering kali tidak kalah akalnya. Aturan lama dicabut, tapi aturan dalam bentuk baru tumbuh dengan tidak kalah suburnya.
Persoalan kebijakan yang tidak koheren juga terjadi di tingkat pengambil keputusan. Akibatnya sektor swasta, yang menjadi pelaku ekonomi utama, menghadapi ketidakpastian yang tinggi dan terefleksi dengan jelas dari hasil survei persepsi Investasi di Indonesia yang makin menurun. Ketidakpastian ini menyebabkan swasta enggan melakukan investasi. Tanpa investasi baru, tidak mungkin ekonomi Indonesia tumbuh. Apa yang terjadi dengan dana repatriasi tax amnesty yang parkir di perbankan merupakan contoh. Tanpa penyaluran dana tersebut ke sektor riil, uang ini akan mengalir ke Bank Indonesia karena BI harus menyerap kelebihan likuiditas untuk mencegah inflasi. Jadi kebijakan tax amnesty yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian justru memberikan beban baru bagi perekonomian.
Agenda jangka menengah
Beberapa prinsip penting dalam menyusun agenda jangka menengah adalah sebagai berikut: pertama, keterbukaan ekonomi merupakan hal yang esensial walaupun penggerak ekonomi adalah ekonomi domestik. Menggunakan daya saing global sebagai benchmark, perekonomian Indonesia akan berada dalam posisi "menyerang" dan "bertahan" yang sama kuatnya. Dalam sepak bola, situasi ini mirip dengan Jerman saat menjuarai Piala Dunia 2014 atau Spanyol saat menjuarai Piala Dunia 2010. Contoh konkretnya adalah bagaimana mengatasi defisit di sektor hortikultura. Solusinya bukan dengan cara kebijakan proteksi, melainkan dengan kebijakan sisi penawaran yang tepat. Insentif bagi pelaku ekonomi untuk melakukan investasi di sektor tersebut harus cukup. Biaya usaha pun mesti diturunkan serendah mungkin. Masalah koordinasi seperti kesenjangan infrastruktur, kesulitan akses pendanaan, dan problem kepemilikan tanah mesti menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya. Kebijakan proteksi akan mengekang permintaan dan menyebabkan sisi penawaran tidak berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Dalam situasi ketidakpastian seperti ini, perlu terobosan di pemerintah. Pemerintah tidak cukup sekadar menjalankan fungsi dasar, seperti menyediakan barang dan jasa publik dengan efisien, tapi juga menjalankan fungsi pendorong dalam menggerakkan perekonomian. Sebagai contoh badan usaha milik negara diredefinisi fungsinya bukan hanya menjadi pelaku ekonomi yang andal dan efisien, tapi juga sebagai penggerak sektor swasta. Misalnya, PLN, yang memiliki banyak pembangkit, menjual asetnya kepada swasta dan hasilnya digunakan baik untuk membangun pembangkit baru di tempat yang kurang layak secara finansial maupun membangun sistem transmisi buat menyalurkan listrik ke pelanggan. PT Jasa Marga menjual asetnya, seperti jalur Jagorawi, dan menggunakan hasilnya untuk membangun jalan tol baru di luar Jawa. Jika proses pelepasan aset ini berjalan fair dan transparan, hasilnya bukan hanya untuk mempercepat pembangunan, tapi juga bisa menciptakan mekanisme pembentukan pasar yang sehat.
Dua agenda yang tidak kalah penting dalam jangka menengah yang akan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan adalah penanggulangan kemiskinan dan perbaikan distribusi pendapatan. Profil kemiskinan menunjukkan bahwa insiden kemiskinan terbesar ada di perdesaan Jawa dan sumber kegiatan ekonomi ada di sektor pertanian. Dengan lahan yang sempit, tidak mungkin kita meningkatkan kesejahteraan petani dengan membiarkan mereka menanam padi. Petani di Jawa perlu diubah orientasinya untuk menanam produk hortikultura, yang permintaannya meningkat, baik di pasar domestik maupun pasar global. Langkah ini tidak mudah karena kegiatan hortikultura membutuhkan infrastruktur yang baik dan akses ke pasar finansial yang kuat, baik untuk modal kerja maupun pengendalian risiko. Infrastruktur seperti sistem irigasi harus diubah. Begitu pula jalan dan cold storage harus tersedia. Pada saat yang sama, produksi padi secara bertahap dipindahkan ke luar Jawa.
Mengatasi ketimpangan adalah elemen penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tidak ada jalan pintas untuk mengatasi masalah ini. Pengalaman di negara Amerika Latin yang sukses mengatasi kesenjangan yang laten menunjukkan bahwa kombinasi akses jasa publik (pendidikan dan kesehatan) serta reformasi dalam pasar kerja merupakan resep yang jitu untuk mengatasi masalah ketimpangan ini.
Contoh-contoh menunjukkan tidak ada jalan pintas untuk mengembalikan laju pertumbuhan yang berkelanjutan. Reformasi ekonomi harus dilakukan secara sistematis, jelas, konsisten, dan secara terus-menerus untuk memberikan kepercayaan bagi pelaku ekonomi buat berinvestasi. Hanya dengan cara itulah kepercayaan pelaku ekonomi akan tumbuh dan berkembang. Produsen akan melakukan investasi dan konsumen bersedia untuk berbelanja. l
*) Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dan Staf Peneliti Senior LPEM-FEB UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo