Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
ROKET itu masih juga enggan terbang seperti cita-cita Presiden Joko Widodo pada pertengahan 2015. Begitulah keadaan ekonomi Indonesia selama dua tahun terakhir. Apa boleh buat, mesin penggeraknya memang masih terbatuk-batuk belum sehat. Memasuki 2017 yang sebentar lagi tiba, keadaannya tak akan berubah jika pemerintah tetap larut dalam langgam kebijakan seperti sekarang, tidak konsisten karena lebih banyak berpijak pada prinsip populis dan kompromi politik ketimbang akal sehat ekonomi.
Pemerintah kini tak punya keleluasaan bereksperimen dengan kebijakan aneh-aneh karena ekonomi dunia belum sehat. Situasinya tak lagi seperti ketika krisis global 2008 merebak. Waktu itu Indonesia tertolong efek samping kebijakan pemerintah Cina yang mengobral stimulus pendorong ekonominya. Kebijakan ini turut menarik ekonomi Indonesia karena harga-harga komoditas melejit ke angkasa. Sekarang, ketika Cina kehabisan napas, pertumbuhannya melandai, harga komoditas terpuruk. Mesin ekonomi Indonesia, yang selama ini bergantung pada ekspor komoditas, terbatuk-batuk. Ekspor terus menurun sejak mencapai puncaknya pada 2012.
Tahun depan ekonomi dunia sepertinya masih lesu letih lemah. Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan lemahnya permintaan dan utang yang menggunung sebagai sumber masalah. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,4 persen tahun depan. Menurut data terakhir, umat manusia kini tercekik utang senilai US$ 125 triliun atau 2,25 kali lipat produksi ekonomi global. Utang yang menggunung ini membuat permintaan berkurang, melemahkan perbankan, menimbulkan tekanan deflasi, dan menurunkan minat investasi.
Masalahnya, ekonomi yang memburuk kerap kali justru mendorong munculnya kebijakan yang keliru karena banyak politikus mengambinghitamkan globalisasi, kebebasan investasi, ataupun perdagangan bebas sebagai sumber masalah. Hasilnya, banyak negara cenderung menutup diri karena menuruti naluri mempertahankan diri. Proteksionisme merebak, perdagangan dunia merosot, kebijakan populis berdasarkan nasionalisme sempit kian menjadi pilihan. Perdagangan internasional pun menurun. Inilah lingkaran setan yang semakin menurunkan permintaan akan berbagai barang. Kesimpulannya, ekspor komoditas belum bisa kembali menjadi motor utama pertumbuhan Indonesia tahun depan.
Jika ekspor menurun, urutan dampaknya sungguh jelas: konsumsi masyarakat terseret turun dan berikutnya penerimaan pemerintah berkurang sehingga tak ada uang lebih untuk menyuntikkan stimulus melalui belanja negara. Berpijak pada formula John Maynard Keynes bahwa pertumbuhan bergantung pada konsumsi masyarakat + belanja pemerintah + investasi + penerimaan ekspor, jalan keluar untuk mendorong pertumbuhan Indonesia saat ini hanyalah meningkatkan investasi sebesar-besarnya.
Di sinilah pemerintah perlu melakukan upaya lebih keras. Sebab, ketika ekonomi global lesu dan minat investasi menurun, perebutan tentu menjadi kian seru. Semua negara berlomba menjadi tempat tujuan investasi terbaik. Tahun ini banyak negara menyalip Indonesia. Itu terlihat pada The Global Competitiveness Index 2016 hasil riset World Economic Forum. Kendati skornya sama, peringkat Indonesia justru menurun menjadi 41 dari 37 pada 2015. Indonesia lebih buruk daripada Malaysia (25) dan Thailand (34).
Indonesia sebetulnya menyediakan peluang berinvestasi yang sangat besar karena pemerintah tengah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur. Dorongan ini sudah menunjukkan hasil. Menurut fDi Markets—perusahaan riset milik Financial Times—pada paruh pertama 2016, investasi asing US$ 28,3 miliar mengalir ke proyek-proyek baru di bidang metal, kimia, dan energi. Indonesia berada di peringkat ketiga dunia. Tapi sepertinya itu belum cukup agar pertumbuhan melejit. Sekadar catatan, IMF memproyeksikan pertumbuhan Indonesia 5,3 persen tahun depan. Sebagai negara yang masih berkembang, ekonomi Indonesia sebetulnya harus tumbuh rata-rata 7 persen per tahun jika ingin perbaikan kesejahteraan benar-benar terasa di segala lapisan masyarakat. Lagi pula Presiden Jokowi juga menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen akan tercapai di era pemerintahannya.
Ruang perbaikan masih ada jika pemerintah bersedia meninggalkan kebijakan yang populis tapi justru memperburuk iklim investasi. Misalnya, regulasi perburuhan yang begitu ketat dan sudah lama menjadi keluhan pengusaha. Juga dalam hal perpajakan. Bagaimana bisa rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto di Indonesia hanya 11 persen, terendah di ASEAN, padahal tarif pajaknya untuk korporasi, 25 persen ke atas, termasuk yang paling tinggi?
Program amnesti pajak juga membawa konsekuensi lain. Sedikit-banyak, amnesti pajak tentu akan meningkatkan basis pajak tahun depan. Setelah melaporkan harta yang selama ini tersembunyi, mulai tahun depan wajib pajak banyak harus membayar pajak yang lebih masuk akal, mengakui aliran penghasilan per tahun yang lebih besar dan sesuai dengan harta kekayaannya. Padahal, untuk menggairahkan ekonomi yang masih lesu, pemerintah seharusnya justru memungut pajak lebih rendah. Akan sangat baik jika, setelah punya basis pajak yang baru, pemerintah berani menurunkan tarif pajak. Jika tarif pajak menjadi lebih kompetitif, Indonesia bisa lebih menarik sebagai ajang investasi di antara negara-negara tetangga.
Sayangnya, penurunan tarif pajak adalah kebijakan yang hampir mustahil dapat terwujud. Pemerintah sudah menanggung kekeliruan mematok target penerimaan terlalu tinggi sejak 2014. Dari tahun ke tahun, target ini terus membebani dan menghalangi terbitnya kebijakan yang lebih sesuai dengan akal sehat ekonomi. Namun, jika Presiden Jokowi berani belajar dari kesalahan dan mengoreksi semua target dan asumsi anggaran agar lebih realistis, bukan tak mungkin ekonomi Indonesia mendapatkan suntikan insentif yang luar biasa karena tarif pajak turun. Jadi, alih-alih menjadi alasan untuk tetap mematok target penerimaan yang besar, basis pajak yang baru hasil amnesti pajak seharusnya justru menjadi alasan kuat untuk menurunkan tarif.
Yang juga tak kalah penting agar investasi bergairah adalah pemerintah harus menghentikan berbagai inkonsistensi kebijakan. Contoh yang kini sudah menjadi klise adalah batalnya investasi raksasa di Blok Masela karena pada detik terakhir Presiden Jokowi mengubah keputusan dengan memaksakan pembangunan instalasi pengolahan gas di daratan. Selain menunda aliran dana miliaran dolar tanpa kejelasan nasib, keputusan ini mengirim sinyal ke semua calon investor untuk menimbang ulang keputusannya.
Lebih dari sekadar perbaikan iklim berinvestasi, sungguh tak kalah penting jika pemerintah mengirim sinyal bahwa Indonesia masih menggunakan akal sehat ekonomi sebagai landasan utama kebijakan. Di bidang pangan, contohnya, pemerintah malah lebih suka membiarkan harga beras dan daging melambung tak terkendali karena kebanggaan semu tentang kemampuan berswasembada. Berbagai kementerian sibuk bertengkar mengenai perkiraan produksi dan konsumsi. Yang mengemuka sebagai alasan adalah kepentingan produsen lokal.
Walhasil, pemerintah mengabaikan harga sebagai indikator paling obyektif dalam memutuskan kebijakan. Korbannya adalah konsumen. Belum lagi kebijakan seperti ini pada akhirnya menguatkan alasan bagi intervensi negara dalam bentuk berbagai operasi pasar. Selain memakai dana anggaran yang kini sangat cekak, intervensi melawan pasar sungguh berpotensi menguntungkan pemburu rente karena menciptakan peluang bagi permainan curang.
Pada gilirannya kebijakan yang tidak rasional akan menggerus kredibilitas. Dalam situasi seperti ini, bukan tak ada investasi yang masuk. Pengusaha tetap akan datang. Tapi yang bersedia masuk hanyalah mereka yang punya koneksi kuat karena peluang cuma tersedia bagi pemburu rente ekonomi. Hasil akhirnya adalah ekonomi yang tidak efisien dan menuntut biaya tinggi. Untuk setiap dolar yang masuk, lebih sedikit pertumbuhan yang dapat tercipta. Makin sulit bagi Presiden Jokowi untuk menumbuhkan ekonomi Indonesia 7 persen setahun sesuai dengan janjinya kepada rakyat Indonesia. l
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo