Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keheningan membekap gedung Vishalakshi Mantap. Ratusan orang duduk bersila di lantai berundak di bawah bangunan kerucut bertingkat enam yang menjulang di kompleks kantor pusat Yayasan Art of Living, Jalan Kanakapura, Bangalore, India, beberapa waktu lalu.
Di antara pilar-pilar kukuh berwarna krem-merah muda itu, mereka meletakkan kedua telapak tangan yang terbuka di atas paha. Mata mereka terpejam.
Sebagian lagi ada yang berselonjor dengan posisi tangan ditangkupkan di atas perut. Headphone terpasang di telinga. Mereka tak sedang mendengarkan alunan musik India, tapi menyimak instruksi dari pemimpin meditasi yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Meditasi yang digelar bersamaan dengan perayaan Maha Shivaratri—perayaan tahunan umat Hindu untuk memuja Syiwa—diÂikuti peserta dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Meditasi berlangsung sejak pagi dan baru selesai menjelang pukul 13.30. "Hari ini sekitar 500 orang dari berbagai negara ikut meditasi. Ini bukan kelas pemula, melainkan kelas lanjutan," ujar juru bicara Art of Living, Sreekumar Nair, kepada Tempo.
Hari itu mereka berpuasa, berdoa, dan bermeditasi untuk kesejahteraan. Ribuan orang berbondong-bondong datang untuk bermeditasi dengan guru besar sekaligus pendiri Art of Living, Sri Sri Ravi Shankar, 56 tahun. "Hari ini bertepatan dengan hari penyembahan Syiwa, sangat kondusif untuk meditasi," kata Nair, yang juga instruktur di kantor pusat Art of Living.
Dia mengatakan meditasi Art of Living bukan untuk agama tertentu, melainkan lintas agama. Di dalam gedung yang di puncaknya bertengger kubah seperti masjid itu memang terdapat sejumlah lambang agama pada pilar-pilarnya, termasuk bulan-bintang (Islam) dan salib (Kristen).
Pria 30 tahunan ini mengatakan kompleks yang berada di lahan seluas 44,5 hektare itu bisa menampung hingga 2.000 orang. Bila ada festival, pengunjung yang datang bisa mencapai 8.000 orang. Mereka terpaksa ditampung di aula dan ruang kelas.
Setiap tahun Art of Living menggelar sejumlah kegiatan, yang sebagian dipimpin langsung Guruji—sebutan untuk Sri Sri Ravi Shankar. Ratusan orang dari berbagai negara, tak terkecuali dari Indonesia, berkumpul di tempat ini. "Rasanya tentu berbeda kalau bermeditasi di sini bersama guru besar. Rasanya sangat mendalam," kata Reshma Bhagnani, peserta asal Jakarta yang juga berdarah Sindhi.
Perempuan yang sudah bergabung dengan Art of Living—di Indonesia diberi nama Yayasan Seni Kehidupan—sejak 10 tahun silam ini benar-benar telah merasakan manfaat meditasi. Sejak 2005, ia sudah menjadi instruktur meditasi di Yayasan Seni Kehidupan. "Saya belajar bernapas yang harmonis, bisa menghilangkan stres," ujar Reshma, yang setiap tahun berusaha datang ke Bangalore untuk bermeditasi dengan Guruji.
Meditasi juga digelar di sejumlah negara. Pada awal April lalu, misalnya, Sri Sri Ravi Shankar memimpin sesi meditasi perdamaian di Bali. Hari itu ribuan orang tumplek di Taman Budaya, Denpasar. Mereka langsung tenggelam dalam keheningan mendengar aba-aba dari Guruji. Semua mata terpejam. Hanya embusan napas yang terdengar.
Peserta yang datang dari dalam dan luar negeri berbaur dalam meditasi bertema "Satyam Param Dhimahi" itu. "Tema itu sebenarnya adalah sebuah harapan," ujar Guruji. Yakni, agar kecerdasan pikiran selalu terarah meyakini adanya sesuatu yang lebih tinggi. Menurut dia, keyakinan itu bisa dicapai melalui latihan meditasi yang menyeimbangkan pikiran, perasaan, dan spiritualitas.
Meditasi gratis selama 20 menit itu merupakan rangkaian dari kegiatan meditasi selama tiga hari di Bali untuk menyambut tahun Ananda—sebuah awal dari sukacita dan kebahagiaan. Bali dipilih sebagai tempat perayaan karena daerah ini dinilai masih memiliki vibrasi spiritual yang tinggi. Berbagai acara digelar, dari kursus pelatihan dasar dan lanjutan hingga penyegaran bagi para pengajar. "Di sini orang masih menghidupkan kebudayaan kuno yang diwariskan sejak ratusan tahun lalu," kata Sri Sri.
Alasan lainnya, kata ketua panitia Sonia Lakhiani, banyak orang senang datang ke Bali karena sekaligus bisa berlibur. Ia mengatakan porsi untuk tiap pelatihan berbeda. Untuk kelas lanjutan dan penyegaran bagi guru, misalnya, peserta harus menjalani meditasi diam selama tiga hari dan tak boleh berbicara kepada siapa pun.
Sesi meditasi selama tiga hari yang dipusatkan di Sanur itu diikuti 600 peserta dari 25 negara. Tarifnya beragam. Peserta asing harus membayar Rp 8 juta, termasuk biaya akomodasi. Sedangkan untuk orang Indonesia hanya dibanderol Rp 3,5 juta. "Kami sebenarnya luwes saja. Kalau ada yang berminat tapi tidak memiliki uang, boleh saja ikut," kata Sonia.
Dia mengatakan teknik yoga yang diajarkan meliputi Yoga Asana atau gerak tubuh, Pranayama atau pernapasan, dan teknik meditasi. Ada juga teknik satsang (nyanyian spiritual), untuk menambah lebih banyak energi.
Sri Sri Ravi Shankar—seorang pendidik, spiritualis, dan tokoh dunia yang sejak berusia tujuh tahun sudah mampu menghafal kitab suci Weda—juga menyisipkan nasihat-nasihat kehidupan. Ia menganjurkan warga Bali mempertahankan warna lokal dalam tradisinya. "Karena itu, saya lebih suka disapa dengan ’Om Swastyastu’ ketimbang dengan ’Namaste’ seperti di India," ujar pria yang lahir di India Selatan ini.
Ruth Kuok, pebisnis asal Hong Kong, tertarik pada kegiatan Art of Living karena ajarannya universal dan tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan seseorang. Karena itu, selalu ada perasaan senang dan bahagia saat ia berkumpul dengan siapa pun meski dalam perbedaan. "Itu pula tujuan saya datang ke sini," kata ibu dua anak ini.
Menurut salah seorang pengurus Yayasan Seni Kehidupan, Rup Gurbani, 62 tahun, meditasi akbar digelar di Berlin, Jerman, pada pertengahan tahun lalu. "Sekitar 70 ribu orang ikut meditasi," ujar pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah ,ini.
Yayasan Art of Living adalah satu dari sekian banyak organisasi dari India yang mengajarkan meditasi. Ini adalah organisasi kemanusiaan nirlaba yang didirikan pada 1982. Lembaga ini bekerja sama dengan Badan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (Ecosoc) untuk memberikan konsultasi berkaitan dengan kesehatan, meditasi, pendidikan, pembangunan berkelanjutan, resolusi konflik, dan bantuan bencana. Lembaga ini telah tersebar di 151 negara dan sudah menjangkau 300 juta orang.
Menurut Sreekumar Nair, Art of Living merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat terbesar di dunia. Anggotanya dari berbagai kalangan dan lintas agama. Cabangnya bertebaran dari Timur Tengah, Eropa, Amerika, hingga Indonesia. "Kami membantu orang bebas dari stres," ujarnya.
Teknik pernapasan Sudarshan Kriya, kata dia, dapat membantu memulihkan orang dari kecanduan narkoba serta menghilangkan stres dan trauma dari peristiwa-peristiwa tragis. Meditasi, menurut dia, sangat bagus bagi anak muda. Sebab, saat ini banyak anak muda pintar secara akademis tapi tidak secara spiritual. Akibatnya, di sejumlah negara, angka kasus bunuh diri semakin tinggi karena depresi.
Bagi sebagian warga keturunan India, meditasi merupakan salah satu upaya mengenal tradisi leluhur. Menurut juru bicara Yayasan Seni Kehidupan, Niqqita Bharata, lembaga yang masuk Indonesia pada 1996 ini memiliki berbagai program untuk segala usia dan seluruh lapisan masyarakat. Sejauh ini, tak kurang dari 3.000 orang telah mengikuti kelas meditasi. "Total kami memiliki 40 pelatih, semuanya relawan. Sesuai dengan waktu masing-masing, kami ke kantor pusat di Bangalore untuk memperdalam ilmu," ujarnya.
Meski sibuk dengan urusan masing-masing, kata Niqqita, para pelatih ini tetap menyisihkan waktu melatih. "Sebagai upaya berbagi, menyambung visi Guruji, yaitu masyarakat bebas stres."
Sapto Yunus (Bangalore), Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo