Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaduh suara pembeli dan lalu-lalang pelayan mewarnai siang gerah di sebuah toko di Jalan Teuku Cik Ditiro, Medan. Suasana makin ramai oleh celoteh ibu-ibu yang sedang menawar sesuatu kepada pemilik toko. Sesekali mereka bertransaksi dengan bahasa Indonesia, tapi terkadang juga dengan bahasa Tamil.
"Tolong berikan ke ibu ini beras biryani lima kilo," kata perempuan yang duduk di belakang meja kasir kepada pegawainya. Tak lama kemudian, beras khas India itu pun berpindah tangan, ditukar dengan beberapa lembar Rp 50 ribuan.
Kasturi, nama toko itu, diambil dari nama putri bungsu kesayangan Wira Kumaren, 65 tahun, sang pemilik toko. Terletak di jantung kampung yang didiami masyarakat keturunan India di pusat Kota Medan, gerai yang berdiri sejak 1994 ini menjual barang-barang serba made in India.
Dagangannya superlengkap. Segala rupa barang khas India ada di toko ini, dari bahan makanan, seperti beras, bumbu rempah, dan kacang-kacangan, hingga perlengkapan makan, alat kecantikan, aksesori, serta peralatan kelengkapan Âsembahyang umat Hindu.
Kasturi adalah ikon bagi masyarakat keturunan Tamil dan India lain di Medan, pemuas dahaga bagi mereka yang rindu akan cita rasa khas Negeri Bollywood. "Berbelanja di sini seperti mengingatkan pada akar kami," kata Devi, salah seorang perempuan yang memborong dupa dan perlengkapan sembahyang lainnya.
Namun keterikatan mereka akan segala yang serba India itu bukan berarti mereka tidak merasa sebagai orang Indonesia. Kebiasaan itu mereka lakukan sekadar untuk memuaskan rasa rindu dan sebagai cara melestarikan budaya leluhur. "Begitu pula dengan toko ini. Kami tidak hanya berbisnis dan mencari duit. Ayah saya bercita-cita bisa menjadikannya sebagai jembatan bagi masyarakat keturunan India di Indonesia untuk mengetahui tradisi nenek moyangnya," kata Kasturi, perempuan yang sejak tadi berada di balik meja kasir itu.
Kasturi mengatakan bisnis keluarga itu dirintis ayahnya sejak ia masih menjadi anak buah kapal kargo. Enam bulan sekali Wira berkesempatan pergi ke India. Kala itu, Wira hanya menjadi pemasok barang-barang asli India ke sebuah kios kecil penjual keperluan sembahyang penganut Hindu India di Medan. Usaha Wira pun menggurita. "Jaringan distribusi kami sampai ke seluruh Indonesia, termasuk pasokan untuk Jakarta," katanya. Dalam sebulan, omzet dagangan dan distribusi tokonya mencapai Rp 300-500 juta.
Lain Kasturi, lain pula Malini. Perempuan 31 tahun ini diberi tanggung jawab mertua perempuannya untuk memuaskan kerinduan lidah warga keturunan India di kota itu. Malini adalah koki kepala di restoran masakan khas India paling ternama di Medan, Cahaya Baru.
Malini menganggap pekerjaannya sebagai pengabdian. Ia setia menjaga keaslian rasa masakan di restoran milik mertuanya, Anthony Selleya. Untuk itu, paling sedikit setahun dua kali ia menyambangi tanah leluhur guna meningkatkan ilmu memasak dari ahlinya. "Menu unggulan restoran kami nasi biryani, kari kambing, serta martabak," kata Malini.
Dalam setiap lawatannya ke India, ia berusaha bertemu dengan koki restoran ternama di sana. Malini berkisah, suatu kali ia tak diizinkan menyontek resep masakan salah seorang koki. Ia tak menyerah. Secara diam-diam, ia menuliskan semua bahan dan langkah memasaknya di kertas tisu. "Saya akan terus mengembangkan restoran dengan terus memperbanyak menu dan belajar langsung dari ahlinya," katanya.
Kini Cahaya Baru sudah memiliki hampir 300 menu makanan dan minuman khas India. Belum termasuk inovasi masakan yang ia kawinkan dengan selera Melayu. Menurut Malini, bumbu rempah asli dari India adalah kunci sukses masakannya. "Bumbu inilah yang paling menautkan saya dengan tanah leluhur saya," ujarnya sambil mempersilakan Tempo mencicipi nasi biryani dan kari kambing khas Cahaya Baru.
Kampung Madras merupakan kampung yang dipercaya menjadi kiblat bagi masyarakat keturunan India di Indonesia. Dulu kampung ini dikenal sebagai Kampung Keling. Namun, karena ada protes dan keberatan dari warga keturunan India, nama Keling yang berkonotasi kurang baik itu akhirnya diganti menjadi Madras, tempat asal nenek moyang mereka.
Selama beberapa dekade, kampung seluas hampir 10 hektare ini didiami etnis Tamil. "Kalau ada orang Medan yang tidak tahu Kampung Keling atau Madras, dia bukan orang Medan," kata Narain Sami, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Utara.
Sejarah Kampung Madras, kata Narain, tak lepas dari kisah kedatangan orang-orang Tamil ke Nusantara. Menurut dia, gelombang pertama orang India merapat di bibir pantai Aceh pada akhir 1800-an. Kala itu, setahu Narain, nenek buyutnya dibawa Belanda dari negaranya untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan milik orang Belanda. Badan Warisan Sumatera (BWS) mencatat, rombongan pertama orang, Tamil ke Medan sebanyak 25 orang yang tiba pada 1873.
Mereka dipekerjakan oleh Nienhuys, seorang Belanda pengusaha perkebunan tembakau, kelak dikenal sebagai tembakau Deli. Tembakau ini pernah membuat Tanah Deli termasyhur di dunia, sehingga dikenal sebagai "Tanah Sejuta Dolar".
Setelah itu, gelombang berikutnya mengalir dari India ke Tanah Deli. Mereka bekerja sebagai buruh perkebunan, sopir, penjaga malam, sais kereta lembu, dan pekerja pembangun jalan serta waduk. "Itu karena kaum Tamil terkenal sebagai pekerja keras yang patuh kepada atasannya," kata Narain.
Mereka bukan cuma etnis Tamil dari Madras, melainkan juga etnis Punjabi dari Punjab, India Utara, serta dari Bombay dan bangsa Chettyar, yang pintar berbisnis. Tak semua bekerja sebagai kuli di perkebunan. Sebagian membuka usaha sendiri dan bekerja di sektor lain.
Saat ini keturunan India yang tinggal di Medan adalah generasi ketiga atau keempat dari pendatang awal. Narain menyebutkan mereka kaum yang enggan pulang tatkala pemerintah India menjemput kembali mereka pada sekitar 1948. Padahal dua kapal besar, Sitham Baram dan Chandra Bose, siap melayani kepulangan mereka.
Malam merambat pelan di Jalan Mahatma Gandhi, Bangalore, India. Lampu-lampu mulai berpijar menerangi sejumlah toko di satu sisi jalan pusat belanja kota itu. Di salah satu toko di seberang Stasiun Namma Metro, tampak jejeran manekin bersedekap mengenakan gaun merah dengan sepuhan warna emas dan selendang bercorak senada.
Aanchal Clasilks adalah nama toko yang terkenal ke seantero dunia. Salah seorang dari komunitas India mengatakan toko ini spesialis gaun pengantin atau kain sari di Bangalore. Menurut tokoh Sindhi di Jakarta, Rup Gurbani, paling tidak sekali seumur hidup orang keturunan India berusaha pergi ke India untuk membeli gaun pengantin. "Mereka ingin baju yang orisinal bikinan India," ujar pria 62 tahun ini.
Ya, kain sari sakral bagi banyak pengantin India. Sebab, kain tipis ini hanya akan dipakai sekali dalam pernikahan dan ketika menghadap Sang Pencipta. "Semua orang pasti memaksa bisa mendapatkannya langsung dari India," kata Malini, mengenang masa persiapan pernikahannya dulu.
Menurut Rama, Manajer Aanchal, pelanggan toko yang didirikan Azam Sait pada 1992 itu tak hanya datang dari kota-kota di India, tapi juga dari komunitas India di mancanegara, dari Amerika, Eropa, hingga Asia. Para pembeli biasanya datang bersamaan dengan musim liburan di negaranya. "Biasanya pembeli dari Sri Lanka, Afrika Selatan, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, datang pada November dan Desember. Sedangkan dari Amerika dan Inggris kebanyakan pada Juli dan Agustus," kata Rama.
Mereka yang pergi ke Mumbai juga biasa berbelanja baju pengantin di toko Benzer. Toko tiga lantai di Jalan Bhulabhai Desai di kawasan Breach Candy ini lebih merupakan toko serba ada ketimbang toko pakaian seperti Aanchal. Tempat ini tak hanya menyediakan gaun pengantin tapi juga baju pria modern, tas, aksesori, dan kain.
Menurut Manajer Umum Benzer, Jayesh Shah, sepotong baju pengantin dibanderol mulai 5.000 rupee hingga 200 ribu rupee (sekitar Rp 40 juta). Bahannya beragam, dari sifon, sutra, hingga poliester. Kelebihannya, para pembeli tak perlu datang langsung karena Benzer juga menyediakan layanan pembelian online. "Pengunjung tinggal memilih item yang disukai, ukuran berapa, bayar, dan kami akan mengirim barangnya," kata Jayesh.
Sari merupakan pengikat hati antara India dan warganya yang terserak di berbagai penjuru dunia. Menurut pendeta Hindu di Medan, Panindita Welayutham, walau tidak ada ketentuan dalam agama untuk menggunakan kain sari saat menikah dan dimakamkan, keturunan India ingin menjaga tradisi dua acara sakral itu dengan sesuatu yang istimewa. "Semiskin apa pun, setahu saya keturunan India pasti membeli kain langsung dari India," ujarnya.
Sari, juga semua pernik ala India, hanyalah sarana bagi warga keturunan India untuk mengingat asal mereka. Berbeda dengan generasi yang lebih tua, Ashwini, nona 17 tahun anak pemilik toko kaset Kartika Music Centre, punya cara berbeda untuk merayakan ketertautannya dengan India.
Alunan musik dan dentuman gendang mengalun harmonis menemaninya berjualan cakram musik dan film India setiap hari. Toko yang didirikan ibunya, Ula, itu sudah ada sejak 30 tahun lalu. Semua berawal dari kolektor dan berujung menjadi importir keperluan seni, terutama musik. "Setiap pekan, 800-900 keping CD terjual karena kami update banget," kata Ashwini.
Gara-gara toko musik ibunya, kini banyak tumbuh klub menyanyi dan menari yang beranggotakan anak muda. Semua bergaya India. "Beda-beda gaya, gaya India semuanya."
Sandy Indra Pratama, Monang Hasibuan (medan), Sapto Yunus (bangalore, Mumbai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo