Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Bombay ke Pasar Baru

Sindhi dan Punjab adalah etnis India yang menempati Pasar Baru. Mereka berbagi ruang dengan Cina. Bermula dari kain, mereka mengembangkan bisnisnya.

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Dari Bombay ke Pasar Baru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Umbul-umbul diskon besar-besaran berjejer di sepanjang jalan utama Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Jumat akhir bulan lalu. Mobil pengunjung memadati ruas jalan pintu masuk. Maklum, menjelang Lebaran, semua toko berlomba memberi potongan harga hingga lebih dari separuhnya. Lomba obral ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada 1950-an. Saban akhir pekan, Pasar Baru menjadi rujukan berbelanja pakaian. Konsumennya orang Belanda yang tinggal di Rijswijk, sekarang Jalan Veteran.

Toko kain dan penjahit Isardas menjadi salah satu saksi bisu awal berkembangnya bisnis tekstil dari peranakan India. Toko seluas 160 meter persegi itu berdiri sejak 1929. Bersama toko kain lain, Hariom, Gehimal, Bombay, dan Lilaram, semuanya masih tampak terawat. Sedangkan toko yang belum berubah adalah Apotek Kimia Farma, toko Lee Ie Seng, toko perabot rumah tangga Melati, toko jam Tjung-Tjung, dan toko kacamata Seis (Tjun Lie).

Pemilik toko Isardas, Haresh Hiro Isardas, mengatakan kakeknya, Manuma Isar­das, adalah keturunan suku Sindhi gelombang kedua yang merantau ke Indonesia. Menurut buku Jakarta 1950-an, Kenangan Semasa Remaja karangan Firman Lubis, etnis India yang hijrah pertama kali pada masa penjajahan Inggris di Indonesia pada 1811-1915. Mereka berasal dari Bombay dan Calcutta, yang terkenal sebagai sentra garmen. Mereka adalah suku Sindhi yang beragama Hindu.

Gelombang kedua pada awal 1900-an dan berikutnya pada 1946. Saat itu, etnis India yang masuk Indonesia bukan hanya Sindhi, tapi juga suku Punjab, yang terkenal dengan Punjabi serta Tamil dan banyak tinggal di Medan. Pada gelombang ketiga, kebanyakan pendatang dari suku Punjab.

Firman Lubis menuliskan, awalnya Sindhi dan Punjabi terkonsentrasi di Pasar Baru. Mereka berbagi tempat tinggal dengan etnis Cina. Kemudian mereka menyebar ke Pasar Senen dan Pasar Jatinegara untuk mengembangkan bisnis. Jumlah mereka tidak besar, hanya ratusan keluarga. Kaum Sindhi dan Punjab memang ahli berdagang. Sindhi pedagang tekstil, Punjabi pedagang peralatan olahraga dan musik. "Kakek saya ke sini berdagang kain," kata Haresh, yang juga menjabat Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Baru.

Jenis pakaian yang dijual Manuma adalah jas, pakaian pria, dan lembaran kain pria. Sekarang Haresh juga mengikuti keinginan pasar, yaitu dengan menjual baju batik dan kebaya. Produk lokal sebagian besar didatangkan dari Solo. Barang impor disuplai dari Inggris, Cina, dan Jepang. "Kami mengikuti tren yang ada di pasar, terutama produk lokal," kata Haresh.

Sedangkan barang yang diimpor dari tanah leluhurnya kini sudah tak banyak. Yang dibawa dari India, ujar dia, hanya kain sari dan brokat, yang banyak dibutuhkan masyarakat Batak, dan pakaian sejenis kerudung. "Hanya beberapa persen yang kami ambil dari India," katanya.

Hubungan keturunan India di Indonesia dan warga India di kampung halamannya masih terjalin baik. Menurut dia, hubungan itu sebatas kekeluargaan secara bisnis tak ada yang spesial. Jika ada hubungan bisnis, dia melanjutkan, lebih banyak dilakukan keturunan India yang menjadi importir. "Para importir itulah yang menyuplai toko kain," ujar Haresh.

Namun Tejbhan Lakhiani, importir tekstil dan tokoh komunitas India, mengatakan hal yang berbeda. Sebagian besar pebisnis keturunan India berhubungan bisnis dengan sanak kerabat atau pebisnis lain di negeri leluhurnya. "Kalau ada keluarga atau relasi bisnis yang menikahkan anaknya, orang di sini pasti pergi ke sana. Selain ketemu relasi, ya, sekalian bisnis," ujar Tejbhan, yang bisa 2-3 kali pergi ke India setiap tahun.

Hubungan sesama warga keturunan India di Indonesia juga terjalin erat. Mereka saling mengenal karena kawin-mawin. "Saat ini, populasi Sindhi di Indonesia sekitar 1.600 keluarga atau hampir 8.000 orang," ujar Tejbhan. Selain di Pasar Baru, pedagang kain eceran keturunan India tersebar di Mayestik, Jakarta Selatan. Sedangkan para pebisnis grosir dan importir berada di Mangga Dua dan Tanah Abang. "Dulu saya di Tanah Abang, baru 15 tahun terakhir di Mangga Besar," ujar pria yang aktif bermain teater ini.

Raj Kuckreja, 59 tahun, pemilik toko olahraga dan alat musik Wijaya, mengatakan etnis Punjab datang ke Jakarta setelah Sindhi. Mereka berdagang alat olahraga dan musik karena tanah leluhurnya basis produksi peralatan tersebut. Punjab terkenal sebagai kota yang memproduksi bola, sepatu, raket, kaus olahraga, dan senar. Pada awal kedatangan hingga sekitar 1960-an, semua barang jualan diimpor dari Punjab.

Namun, setelah India pecah dengan Pakistan, leluhurnya pindah ke Bombay. Sejak itu, suplai barang seret, sehingga mereka mencari alternatif dengan mengimpor barang dari negara lain, seperti Cina. "Sejak 1970-an, kami berupaya menjual produk lokal," ujar Pappu—panggilan akrab Raj Kurckreja.

Seiring dengan perkembangan zaman dan lokasi Pasar Baru yang semakin padat, suku Punjab meluaskan bisnis ke kawasan Pintu Air, Jakarta Pusat. Mereka ingin mengembangkan jaringan, menempati lokasi yang lebih nyaman dan pasar yang lebih luas. "Setelah berhasil, mereka membuka toko baru," katanya. Sebagian dari mereka juga merambah bisnis baru di perfilman, otomotif, dan pasar saham.

Saat ini, jumlah toko tekstil milik keturunan India mencapai 60 toko dari total 140 gerai di Pasar Baru. Sedangkan toko olahraga dan musik ada delapan buah dan retail dua buah. Dari 140 gerai, 70 gerai milik warga keturunan India dan sisanya milik pengusaha Cina.

Kini toko tekstil sepi pengunjung meski sudah memberikan diskon hingga 20 persen. Selama tiga jam bertamu, Tempo hanya melihat satu pembeli yang berkunjung. "Sekarang memang semakin sepi," kata Haresh Hiro Isardas, generasi ketiga pemilik toko.

Menurut dia, mendapat 3-4 pembeli dalam sehari sudah sangat bagus. Ia mengatakan pembeli lebih memilih pakaian jadi bermerek yang dijual di mal-mal besar. Sedangkan mereka yang berkantong pas-pasan memilih toko pakaian jadi di gerai yang lebih merakyat. Ajang besar, seperti Jakarta Fair, juga menjadi pemukul bisnis pedagang di Pasar Baru.

Omzetnya pun menurun drastis dibanding sebelum krisis 1998. Ia bercerita, semasa Orde Baru omzet per kios yang disebutnya sebagai toko kecil bisa mencapai Rp 10-15 juta per hari. Dari keuntungan itu, ­Haresh mampu menambah tiga gerai, salah satunya di Mayestik. Tentu penghasilan toko besar berbeda. Kini, dia melanjutkan, untuk mencapai separuhnya saja sangat sulit.

Berbeda nasib dengan toko kecil, importir tekstil lebih beruntung. Importir seperti Tejbhan bisa meraup omzet Rp 10 miliar setahun. Dalam setahun, ia paling sedikit mengimpor 20 kontainer tekstil senilai Rp 500-600 juta per kontainer.

Meski demikian, Haresh masih memiliki keyakinan, pedagang Pasar Baru tak akan gulung tikar. Menurut dia, ada hal berbeda pada Pasar Baru dibanding toko bahkan pasar kain lain. Meski kalah pamor, toko kain di Pasar Baru tetap memiliki kekhasan dan menjadi rujukan beberapa kalangan. Sebagian orang, kata dia, menginginkan pakaian yang nyaman dan benar-benar pas di badan. "Kalau beli jadi kadang tidak pas, bahkan seperti baju pinjam," ujar Haresh, yang pernah melayani pesanan baju mantan presiden Soeharto hanya dalam waktu semalam.

Ia mengungkapkan salah satu kuncinya:kualitas jahitan. "Kami selalu menerapkan quality control agar pelanggan puas. Kami tak ingin hasil kerjanya disamakan dengan kualitas di pinggir jalan," ujarnya.

Eko Ari Wibowo, Sapto Yunus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus