SETELAH menonton 27 film cerita, Dewan Juri Festival Film
Indonesia 1977 sampai pada kesimpulan: " . . . film Indonesia
dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata
sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat.
Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang
impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser
memang tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi
yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak
selalu kita kenal."
Bagai disengat lebah, kalangan film memberikan reaksi di luar
kebiasaan mereka yang suka basa-basi. Yang tidak terkejut
nampaknya kalangan pengamat perfilman yang sejak lama sudah
menyuarakan hal yang sama.
Demikianlah Salim Said membuka telaahnya dalam Profil Dunia Film
Indonesia, sebuah buku 152 halaman yang diterbitkan PT Grafiti
Pers akhir 1982. Disiapkan untuk penerbitan tahun 1979, karya
it4 sendiri berasal dari skripsi sarjana FIS-UI dua tahun
sebelum itu. Namun apa yang dikemukakannya tetap saja relevan
dengan situasi sekarang: Salim, redaktur film TEMPO sejak
didirikannya majalah ini sampai saat ia pergi belajar Ilmu
Politik ke Ohio State University, AS, selepas ia lulus UI,
hakikatnya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai
kehidupan perfilman Indonesia. Dan bukan sekadar mencatat
peristiwa aktual.
Di awal tahun tujuh puluhan, tulis Salim lebih lanjut, Rosihan
Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan: "Mengapa film
Indonesia mesti memperlihatkan hal itu ke itu juga: rumah mewah,
Mercedes Benz, pemuda ngebut dengan sepeda motor Honda, night
club?" Arief Budiman juga bertanya mengenai "adegan-adegan
erotis" yang "hampir terdapat pada semua film Indonesia".
Jawaban nampaknya harus diperoleh dari H. Asrul Sani, sastrawan
yang jadi penulis skenario dan sutradara film. Asrul
menjelaskan: "Cerita-cerita film kita pada umumnya sekarang
bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi
datang dari finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur
yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi
orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari
kehadiran dari sekian persen unsur seks, sekian persen unsur
kekejaman."
Bahkan sutradara Wim Umboh menyatakan, "sebagian besar cerita
film Indonesia dikarang oleh produsernya sendiri." Dari
pengalamannya sebagai sutradara maupun produser, Wim dengan
tidak ragu-ragu menyebut film impor sebagai sumber ilham.
Akibat dari yang dijelaskan Wim itu bisa disaksikan di layar
putih: rumah mewah dengan pelayan yang minim, anak tunggal yang
jatuh cinta juga kepada anak tunggal, cara berpakaian yang sulit
ditemukan padanannya dalam hidup sehari-hari di negeri yang
pendapatan per kapitanya kurang dari US$300.
Mengenai gejala anak tunggal itu, menarik untuk mengikuti
catatan Taufiq Ismail, salah seorang anggota Dewan Juri FFI
1977. Taufiq menemukan 70,3% peserta festival mengemukakan kisah
anak tunggal yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas keluarga
Indonesia cuma beranak satu orang saja. Juga, 81,5% film peserta
itu bermain di kota. Tentu saja angka yang tinggi ini harus
dihubungkan dengan kenyataan bahwa menggambarkan kemewahan lebih
mungkin dengan menggunakan kota sebagai latar belakang. Dari 27
film cerita, 55,5% menonjolkan perabot ukir mewah buatan
mutakhir.
Tidak usah dijelaskan lagi bahwa ciri-ciri tersebut tidak lahir
begitu saja, melainkan lewat proses yang panjang. Dari tulisan
pada majalah lama di Museum Pusat Jakarta, bisa diketahui bahwa
usaha pertama pembuatan film cerita di Hindia Belanda dilakukan
pada tahun 1926. Pelopornya adalah dua orang kulit putih,
Heuveldorp dan Kruger. Dengan membentuk perusahaan yang bernama
Java Film Company di Bandung, kedua orang itu berhasil membuat
film pertama mereka, Loetoeng Kasaroeng.
Heuveldorp tidak meninggalkan jejak. Dia maupun Kruger
kekurangan modal. Dan, di tangan orang Tionghoalah akhirnya film
mendapatkan bentuknya sebagai usaha dagang.
Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi
yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia. Usmar
membuat film dari cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan
hidup di sekelilingnya. Makawajah Indonesia memang bisa terlihat
lewat film-film Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung dalam
Perusahaan Film Nasional (Perfini) itu.
Tapi Usmar Ismail tidak bertahan lama. Akibat kekurangan modal,
sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang
dirinya digambarkan lewat layar putih, dan sensur yang terlalu
ketat, Usmar terpaksa berkompromi. Dan usaha membuat film
Indonesia dengan menampilkan wajah Indonesia boleh dikatakan
gagal. Kebiasaan lama yang dimulai para produser Tionghoa yang
sebenarnya juga tidak mati ketika Usmar bergiat -- kemudian
merajai kembali dunia perfilman. Percobaan menembus cara kerja
produser Tionghoa itu memang ada dilakukan, lewat Dewan Produksi
Film Nasional (DPFN) di akhir tahun enam puluhan. Tapi dengan
alasan pemborosan, pemerintah -- yang mulanya mendukung badan
tersebut -- setelah terus-menerus didesak para produser film,
akhirnya membubarkan DPFN.
Pola dagang yang dimulai orang Tionghoa itu bisa ditemukan
akarnya di Hollywood, sedang pola yang dipelopori Usmar Ismail
telah mendapat bentuknya dengan jelas pada Neo Realisme Italia,
yang lahir sebagai reaksi terhadap Hollywood.
Dalam literatur film, Neo Realisme Italia dikenal sebagai
Movement sedang produksi Hollywood digolongkan sebagai Genre.
Genre mendapatkan bentuknya yang jelas pada tahun 1918, ketika
studio-studio Hollywood -- berkat pengalaman bertahun-tahun
serta "panen" akibat hancurnya industri film Eropa -- melakukan
usaha standarisasi. Saat itulah lahir formula pictures, istilah
yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai 'ramuan' atau
"resep" untuk bikin film laku.
Menjadi jelas kiranya bahwa masalah yang dihadapi film Indonesia
sesungguhnya masalah yang cukup mendasar. Ia menyangkut
nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga, lewat sejarahnya
yang relatif panjang.
Sialnya, setelah kemerdekaan diperoleh, subkultur seperti itu
tetap hidup. Malah makin berkembang: selain oleh para pengusaha
nonpribumi -- yang hingga kini tetap menguasai bisnis film di
Indonesia juga berkat kepeloporan Almarhum Haji Djamaluddin
Malik. Tokoh ini mendirikan perusahaan film, NV Persari, 1951,
dengan menggunakan Hollywood sebagai contoh.
Ciri Hollywood yang paling menyolok, diketahui, adalah membuat
film sesuai dengan selera penonton. Dan karena selera penonton
sebenarnya tidak bisa diketahui dengan pasti, hanya mayoritas
penonton film Indonesia diperkirakan orang-orang kelas bawah,
maka film Indonesia yang dibuat produser-produser ini pun film
bermutu rendah. Yang penting bukan kualitas, tapi kuantitas.
Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul per tahun,
tanpa pernah bersibuk dengan mutu.
Tentang kecenderungan peniruan terhadap film asing, bisa
dikatakan bahwa dari zaman sebelum perang film kita sebagian
besar memang tiruan film impor. Ketika menjelang jatuhnya Hindia
Belanda di sini diputar film Tarzan, produser film masa itu pun
membuat film Tarzan Indonesia yang bernama Alang-alang Film
Tengkorak Hidup dan Kedok Ketawa tidak lebih dari tiruan
filmfilm Drakula yang beredar di Indonesia sebelum )epang
mendarat. Bahkan pembuatan film Terang Boelan pada 1937 tidak
bisa dipisahkan dari film Jungle Princess yang beredar di
Indonesia masa itu.
Akan halnya film buatan tahun lima puluhan hingga kini, soalnya
juga tidak banyak berubah. Di studio Persari dahulu, Djamaluddin
Malik tidak segan-segan mengundang sutradara India membuat
kembali film yang pernah dibuatnya di India.
Itulah riwayat kelahiran film Djandjiku, yang antara lain
dibintangi Almarhum Abdul Hadi. Peniruan yang dilakukan di tahun
tujuh puluhan sekarang ini kadang-kadang memang lebih halus --
sebagai yang dilakukan Wim Umboh lewat Pengantin Remaja, yang
sebenarnya cuma merupakan saduran kreatif Love Story.
Tapi peniruan yang kasar bukan tidak ada. Kebanyakan dilakukan
terhadap film Mandarin, buatan Hongkong maupun Taiwan. Menarik
untuk diketahui bahwa dari sebuah film Mandarin bisa lahir dua
film Indonesia. Kasus ini menyangkut film Ilusia (sutradara: A.
Karim) dan Biarkan Aku Pergi (sutradara: Wim Umboh). Juga film
Rahasia Gadis (sutradara: B. Kadaryono) dan Surat Undangan
(sutradara: Ishak Iskandar) amat dicurigai bersumber pada film
Mandarin yang sama.
Bisa dipahami, karena film dianggap semata-mata barang dagangan,
yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal.
Sutradara -- yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan --
di sini harus tunduk. Sialnya, kecuali untuk beberapa sutradara,
kedudukan lemah semacam itu tidak banyak dipersoalkan. Ini
disebabkan oleh pengalaman kerja sutradara-sutradara tersebut
yang umumnya sudah terbiasa dengan kedudukan tidak menentukan
itu -- sebelum jadi sutradara.
Dan keadaan tentu akan lebih buruk jika pemilik modal adalah
mereka yang datang atau berasal dari cabang bisnis lain:
tekstil, perkayuan, perhotelan, dan sebagainya. Tidak jarang
pemilik modal jenis ini memaksakan karakter dagang kayu atau
tekstil ke dalam kegiatan pembuatan film.
Syahdan Heuveldorp dan Kruger, yang tercatat pertama kali
membuat film (Loetoeng Kasaroeng) tahun 1926 di Bandung, lewat
perusahaan mereka Java Film Company kemudian juga membuat film
Euis Ayih di awal 1927. Mengenai kedua film tersebut, seorang
wartawan yang menggunakan nama samaran Bandoenger menulis:
Pembikinan permoela'an ini bisa dianggap ada djaoe dari
sampoerna, bilah dibandingken dengen prodocties fabriek-fabriek
Amerika dan Europa. Tetapi kaloe orang taoe, dengen kasoesahan
begimana itoe kongsi film, soedah moesti bekerdja, jaitoe dengen
kapitaal yang sanget diwatesin dan personeel yang tidak
terbajar, ketabahan tida poenja decors dan studio yang tetap,
inilah orang aken maloemken .... Tjoemalah bisa dipoedji ia
poenja pekerdja'an techniek, jang bisa dianggep tida lebi bawah
dari films loear negri.
Ini adalah cerita tentang bagaimana film-film "kuno" itu dibuat.
Setelah kedua film tadi, tidak ada lagi cerita mengenai usaha
Heuveldorp bersama Kruger. Meskipun percobaan mereka tidak
mengecewakan, di pasaran nampaknya mereka tidak berhasil.
Sementara itu orang-orang Tionghoa, menurut Bandoenger, waktu
itu sudah menguasai 85 persen bioskop di Hindia Belanda.
Dan muncullah T.D. Tio Jr., dari rombongan Miss Ribut's Orion
yang kini maju dan kaya. Tio ingin bikin film dengan Miss Ribut
sebagai primadona. Maka didatangkanlah tiga bersaudara Wong
dengan segala peralatannya, dari Syanghai.
Sejarah kemudian tidak mencatat Miss Ribut sebagai bintang film.
Kabarnya lantaran hasil tes kamera atas diri bintang panggung
ini tidak memuaskan suaminya. Wong bersaudara yang sudah
telanjur datang itu akhirnya mendapatkan modal kerja dari David
Wong Tionghoa peranakan dari Batavia yang waktu itu menjabat
sebagai manajer umum General Motor. Kerja sama Wong totok dan
Wong peranakan ini ditubuhkan pada 1928 dalam sebuah perusahaan
yang bernama Halimoen Film. Satu-satunya produksi perusahaan ini
adalah film Lily van Java yang sering juga disebut Melatie van
Java. Mengenai film ini, H. Misbach Jusa Biran, penulis skenario
dan kepala Sinematek Indonesia, ada menulis:
Pemainnya orang intelek, mahasiswi Tjina peranakan, Lily Oey.
Memang hebat waktu itu ada wanita Tionghoa bisa sampai tingkat
perguruan tinggi, djuga kiranja akan mengedjutkan bahwa ada
mahasiswi mau main film. Djalan tjerita hanja ala kadarnja
sadja. Jang banjak diperhatikan hanja permainan tennis, mainan
orang intelek .....
Menurut Armijn Pane, Lili Oey bukan orang Tionghoa kelahiran
Indonesia pertama yang main film. Sebelumnya di Syanghai ada
pula Tionghoa peranakan dari negeri ini yang main film. Armijn
Pane menyebut film Syanghai Naik Djadi Dewa sebagai antara lain
dibintangi oleh "Tionghoa asal Djakarta". Bermainnya Tionghoa
peranakan Indonesia di Syanghai itu dimungkinkan oleh kenyataan
bahwa pasaran film Syanghai di Indonesia amat kuat. Dan karena
keuntungan itulah kemudian orang-orang Tionghoa di Batavia
bertekad membuat film sendiri. Penonton potensial yang mereka
gambarkan adalah orang Tionghoa. Karena itulah film yang mereka
buat berkisar di sekitar orang Tionghoa, dengan teks Tionghoa di
samping teks Melayu. Pemainnya juga diambil dari kalangan
Tionghoa.
Menggunakan pemain Tionghoa kemudian juga terlihat lagi dalam
film Si Tjonat. Tontonan ini merupakan produksi pertama Batavia
Motion Picture Company.
Si Tjonat adalah cerita populer masa itu, baik di kalangan
peranakan Tionghoa maupun pribumi, dan telah dimainkan beberapa
rombongan sandiwara. Dalam salah satu penerbitan majalah
Panorama, K.T.H. (Kwei Tek Hwei) ada memperkatakannya sedikit:
Itoe tjerita tjoemah meloekisken saorang Boemipoetra jang sadari
ketjil ada amat nakal, dan sasoedah boenoeh mati kawannja aken
dirampas kerbonja jang lantes didjoeal, kamoedian melarikan diri
dari kampoengnya ka Batavia, laloe bekerdja djadi djongos pada
saorang Blanda, lantes eret barang itoe Blanda poenja njaie,
kamoedian djadi kepala rampok, dan achirnja menaro tjinta pada
satoe gadis Tionghoa jang tinggal di desa, anak dari saorang
tani jang idoep dari piara babi dan mengebon sajoer, dan koetika
itoe gadis tiada ladenin permintaannja, ia lantes bawa lari,
tapi blakangan itoe gadis, nama Lie Couw Nio, ditoeloeng oleh
toenangannja, Thio Sing Sang, jang oendjoek kagagahan di hadepan
itoe kawanan pendjahat.
Film yang memperlihatkan kegagahan pemuda Tionghoa mengalahkan
penduduk pribumi ini ternyata berhasil di pasaran. Sukses besar
itu menurut K.T.H. bukan lantaran kebagusan jalan ceritanya
melainkan oleh adegan perkelahiannya serta lelucon yang
ditampilkan.
Tahun 1928 Halimoen Film memunculkan Rampok Prianger. Film yang
dibuat dengan resep Si Tjonat yang sukses, ternyata berakhir
dengan kegagalan. Wong bersaudara memerlukan waktu dua tahun
untuk bangkit kembali. Tapi komedi yang mereka bikin mengenai
keadaan malaise di tahun 1930, Lari ka Arab, ternyata juga tidak
menghasilkan uang.
Kruger yang dulu memelopori percobaan membuat film, di tahun
1929 muncul kembali dengan perusahaan miliknya sendiri, Kruger
Film Bedrijf. Tapi baik filmnya yang berjudul Atma de Visser
(1929) maupun Amat Tangkap Kodok (1930) tidak menghasilkan uang.
H. Misbach Jusa Biran menilai kegagalan Kruger ini sebagai
akibat ketidakpekaan orang Jerman tersebut terhadap selera
publik waktu itu. Filmnya yang terakhir kabarnya malahan
menimbulkan kedongkolan publik pribumi, lantaran mereka
digambarkan hanya sebagai tukang tangkap kodok.
Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting
adalah Tan's Film, yang pada zaman film bersuara nanti masih
akan terus membuat film. Nansing Film Corp. yang juga berdiri di
tahun 1929, cuma berhasil membuat sebuah film, Resia
Boroboedoer, untuk kemudian bangkrut. Ini lantaran biaya yang
terlalu banyak untuk mendapatkan seorang artis Syanghai, Olive
Young. Honorarium cewek asing itu sampai f 10.000.00.
Produksi pertama Tan's Film adalah cerita populer Njai Dasima.
Penulis kritik K.T.H. menilai film itu cukup baik, meskipun
"kaloe dipandang dengan katja mata kunst atawa menoeroet
tjaranja satoe connoisseur, tjatjatnja memang ada banjak
sekali."
Njai Dasima itu ternyata laku, sehingga segera dibikin dua
sambungannya, Njai Dasima II (1930) dan Pembalasan Nancy (1930).
Sambungan ini pun mendapat sambutan baik.
Tan's Film juga menarik perhatian lantaran usahanya menggunakan
orang-orang Indonesia sebagai pemain. Beberapa peranan kurang
penting di film-film terdahulu dari perusahaan lain memang telah
menggunakan orang Indonesia, tapi baru. Tan's Film yang
mencantumkan pada iklan Njai Dasima kalimat ini: Semoea Rol-rol
Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri. H. Misbach Jusa Biran
cenderung menilai penempatan kalimat tersebut sebagai hasil
pengaruh Almarhum Andjar Asmara. Sebab Andjar banyak sekali
menulis mengenai Tan's Film, dan salah seorang pemain Njai
Dasima adalah anggota Pandangsche Opera, rombongan yang di
dalamnya Andjar Asmara juga pernah jadi anggota.
Bisa diduga, diproduksinya Melatie van Agam oleh Tan's Film
berdasar cerita percintaan karya wartawan terkenal Parada
Harahap, juga atas anjuran Andjar Asmara. Lokasi film ini adalah
Sumatera Barat. Dan pengeluaran Tan's Film ternyata tidak
sia-sia: film ini pun menghasilkan uang. Majalah panorama malah
menilai Melatie van Agam sebagai hasil terbaik Tan's Film hingga
saat itu.
Tahun 1931 merupakan tahun penting dalam sejarah film di
Indonesia: pertama kalinya film bersuara dibikin di negeri ini.
Usia film bisu sendiri di Indonesia terlalu singkat, sehingga
tidak terlalu banyak hal bisa diperkatakan.
Hanya saja penghasil film bisu terbanyak, dan sekaligus yang
akan terus berproduksi di masa-masa mendatang, adalah perusahan
milik Tan Koen Yauw itu.
Bahwa hanya Tan Koen Yauw satu-satunya pemilik modal yang
memasuki lapangan film, barangkali bisa dijelaskan begini:
prospek pembikinan film bisu masa itu belum jelas, sebab film
Hollywood yang juga bisu merupakan tontonan yang sulit dilawan.
Perhatian berkurang terhadap film asing baru mulai ketika film
asing itu sudah berbicara, yakni 1930. Ini tak sulit dimengerti:
bahasa asing tak dimengerti penonton di sini, sementara
pembuatan teks masih belum bisa dilakukan.
Pada saat yang sama, kedudukan sandiwara atau tonil masih amat
menarik perhatian penonton pribumi kala itu. Maka yang terutama
nonton film hanyalah keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya film
bisu yang paling menarik adalah yang menggunakan cerita
Tionghoa.
Menarik untuk diketahui usaha seorang Inggris, Carli, membuat
film mengenai kaum Indo Belanda dengan juga mempergunakan pemain
Indo. Usaha itu gagal. Orang-orang Indo masa itu ternyata lebih
suka menonton film impor.
The Teng Choen, putra pedagang hasil bumi The Kim le, adalah
peranakan Tionghoa kelahiran Betawi. Sembari belajar ilmu dagang
di New York, The Teng Choen juga ikut sebuah kursus penulisan
skenario. Akibat depresi yang melanda dunia, pendidikan Teng
Choen tidak berlanjut.
Tapi ia tidak pulang ke Batavia. Berkelana beberapa bulan di
Eropa, akhirnya memutuskan ke Syanghai, pusat pembuatan film
Mandarin masa itu. Ia berhasil membujuk ayahnya untuk
mengalihkan pekerjaannya dari eksportir hasil bumi menjadi
importir film Mandarin. Tahun 1930, Teng Choen kembali ke
Batavia. Dengan mulainya film bersuara, pasaran film Mandarin
yang tadinya bisu kini menjadi sulit. Tidak semua keturunan
Tionghoa di Indonesia paham bahasa leluhur mereka. Dan Teng
Choen yang tahu kedudukan potensil kelompok tersebut tidak
menyia-nyiakan kesempatan.
Dengan kamera sederhana yang dibawanya dari Syanghai, ia
memutuskan membuat film bersuara dengan cerita Tionghoa yang
berlatar belakang alam Indonesia. Dari perusahaannya yang
bernama Cino Motion Pictures, Teng Choen menghasilkan film-film
Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie Fo (1932), Pat Kiam Hiap (1933),
Ouw Phe Tjoa (1934). Tahun 1935, nama perusahaannya yang makin
besar itu berubah menjadi The Java Industrial Film Co. (JIF).
Tapi produksinya masih tetap cerita Tionghoa: Lima Siloeman
Tikoes (1935), See Yoe Ang Hai Djie (1935), Ouw Phe Tjoa II
(1936), dan Hong Lian (1937).
Di tahun-tahun pertama dibuatnya film bersuara di Hindia
Belanda, perusahaan-perusahaan milik orang kulit putih, yang
memelopori pembuatan film bisu, ada mencoba melanjutkan usaha
mereka yang gagal. Tapi film Indo seperti Karina's
Zelfopoffering (1932) buatan Carli sama sekali tidak
menghasilkan uang. Terpaksa Menikah (1932) buatan Kruger malahan
terpaksa dijual sebelum selesai. Sedang Tjok Speelt voor de Film
(1932) buatan Halimoen Film cuma memancing kemarahan orang-orang
Indo yang merasa diperolok-olokkan.
Lalu perusahaan baru milik orang Belanda, Java Pacific Film
(Bandung) dengan Albert Balink dan Mannus Franken sebagai
tokohnya, mempekerjakan Wong bersaudara dalam pembuatan film
antropologis yang bernama Pareh (1934). Secara teknis film itu
cukup bermutu. Tapi juga tidak menghasilkan uang. Penonton di
Hindia Belanda tidak suka film yang menggambarkan mereka sebagai
orang-orang yang masih kuno.
Hanya saja, film Pareh secara teknis meyakinkan para pembuatnya
mengenai kemampuan mereka membuat film bersuara. Sebagai film
antropologis, Pareh tentu saja menonjolkan alam Indonesia yang
indah dan eksotis di mata orang Barat. Teknik sudah baik,
pemandangan sudah indah, kurang apalagi? Kebetulan tahun 1936
itu beredar Dorothy Lamour, The Jungle Princess. Film ini
bermain di tempat indah, Hawaii, yang dibikin lebih eksotis.
Balink dan Wong serta wartawan terkemuka masa itu, Saeroen,
kepala bagian pers Indonesia Kantor Berita Belanda, ada
berbincang-bincang untuk membuat film macam yang dibintangi
Dorothy Lamour itu. Pemandangan indah eksotis sudah ada di
Indonesia, dan pemain ganteng sudah ditemui, yakni Raden
Mochtar. Tinggal merangkai cerita.
Dengan menggunakan resep-resep yang disadap dari The Jungle
Princess itu. Saeroen menulis cerita untuk film Terang Boelan.
Sebagai anti musik Hawaiian, dipergunakan lagu-lagu keroncong
yang ketika itu amat digemari. Supaya lebih asyik lagi. Ditarik
saja penyanyi terkenal masa itu, Nyi Roekiah, mendampingi Raden
Mochtar. Tentu saja Roekiah harus pula menyanyi. Bersama
Roekiah, ikut pula suaminya, pemusik terkenal, Kartolo.
Hatta, untuk pembuatan film ini di tahun 1936 didirikanlah
perusahaan baru. Algemeene Ned. Indie Film Synd. (ANIF). Maka
tahun 1937 awal, Terang Boelan siap beredar. Pada selebaran
bioskop Orion yang mempertunjukkan film tersebut, cerita singkat
"Film Indonesia yang pertama kali keluaran ANIF dengan pakai 100
persen bahasa Indonesia" itu tercetak seperti ini:
Tjerita ini terjadinja ialah di poelau "Sawoba" di Indische
Archipel, jang boeat kebagoesan dan keindahannja soenggoeh ta'
kalah dengan poelau "Hawai" jang soedah terkenal. Dari sebab
itoe kebanjakan orang membilang poelau Sawoba itoe ialah poelau
Hawaii dari Hindia Belanda (dan seterusnya). Sawoba sendiri
ternyata singkatan dari: Saeroen, Wong, dan Balink.
Sukses besar dinikmati Terang Boelan: penonton sandiwara dan
tonil yang tidak pernah secara serempak jadi penonton film, kini
berduyun-duyun datang ke gedung bioskop. Impian para pembuat
film untuk menarik sebanjak mungkin penonton, bukan cuma
kalangan Tionghoa, nampaknya berhasil. Lantas saja resep Terang
Boelan, sadapan The Jungle Princes itu, jadi mode.
Dari sukses film itu juga para produser Indonesia menarik
pelajaran mengenai film yang disukai masyarakat. Resepnya
kira-kira ini: pemandangan yang indah-indah lagu-lagu merdu
perkelahian yang seru penderitaan sang tokoh sebelum akhirnya
menang pemain utama harus rupawan, kalau bisa orang terkenal di
masyarakat, sebagai penyanyi atau apa saja. Dan karena orang
tonil sudah punya nama, dan bisa pula bermain, maka disedot
sajalah mereka ke dalam berbagai studio film. Itulah riwayat
hijrahnya orang panggung ke dunia film, seperti Andjar Asmara,
Nyoo Cheong Seng dan istrinya, Fify Young, Tan Tjeng Bok.
Keadaan ini kemudian mengakibatkan dunia pentas kita masa itu
dilanda krisis.
Sukses Terang Boelan itu pun bukan cuma mengubah corak cerita
film di Hindia Belanda, tapi juga mengundang para pemilik modal.
Lagipula ada perkembangan penting: kekacauan yang melanda Cina,
akibat serbuan Jepang ke Manchuria. Keadaan ini menimbulkan
ketakutan para pemilik modal perfilman di Syanghai. Perlu cari
daerah usaha baru. Maka ke Batavia, dari Syanghai, bukan cuma
modal yang datang. Tapi juga peralatan dan tenaga ahli. Semua
itulah yang menjadi sebab bertambahnya dengan pesat jumlah
perusahaan film di Batavia menjelang datangnya bala tentara
Jepang.
Dalam pada itu makin besarnya penonton pribumi dan orang
sandiwara yang memadati dunia film, memberi karakter tersendiri
terhadap film sebelum perang. Resep Terang Boelan yang diperoleh
dulu masih tetap dipegang sarinya, tapi variasinya makin lama
makin dekat kembali kepada sandiwara. Pengaruh sandiwara
terlihat baik pada struktur cerita maupun pada cara bermain.
Malah masa itu dengan cepat menjadi "sandiwara yang difilmkan".
Ini bisa terasa lewat cerita tiruan Zorro macam Srigala Item
atau Singa Laoet, atau cuplikan 1001 Malam macam Koeda Sembrani,
Aladin, atau Djoela Djoeli Bintang Toedjoe.
Lalu datanglah Jepang. Kemudian Proklamasi. Pengakuan
Kedaulatan, Desember 1949, kemudian membawa orang-orang Republik
dari Yogya kembali ke Jakarta. Di tahun 1950, untuk pertama
kalinya, orang "pribumi" memberanikan diri mendirikan perusahaan
film sendiri. Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional
(Perfini), sedang Djamaluddin setahun kemudian mendirikan
Perseroan Artis Indonesia (Persari). Pada tahun yang sama, Dr.
Huyung muncul pula sebagai pendiri perusahaan film yang bernama
Kino Drama Atelier, sedang Perusahaan Film Negara ada pula
terlibat dalam pembuatan film cerita.
Tapi dari 13 perusahaan film yang berproduksi pada 1950,
sebagian terbesar milik orang Tionghoa juga. Dan cara kerja
mereka ternyata sama saja dengan cara sebelum Perang.
Film-film berbau "tempo dulu" itu begitu hebat efeknya kepada
masyarakat, sehingga usaha-usaha Perfini dan Kino Drama Atelier
yang idealis itu, yang jumlah produksinya memang tidak besar,
nyaris tidak mendapat perhatian.
Djamal dengan mudah mendapat modal untuk membangun studio
Persari, ketika Usmar Ismail dari Perfini masih harus antre
mengerjakan filmnya di studio PFN. Bahkan ketika masih belum
mempunyai perlengkapan studio yang memadai, dari pada antre lama
di PFN, Djamal memilih Manila sebagai tempat mengerjakan film.
Hubungannya dengan Manila di awal tahun lima puluhan itulah yang
kemudian membuka mata Djamal kepada industri film, sehingga
studionya yang kemudian dibangun secara besar-besaran di
Polonia, dibangun berdasarkan pola Manila yang sebenarnya cuma
merupakan tiruan kecil studio MGM di Hollywood. Ke Manila Djamal
bukan cuma memproses film, tapi juga mengirim sejumlah karyawan
Persari untuk belajar.
Sebagai pedagang yang juga sibuk di bidang perdagangan lainnya
antara lain memiliki perusahaan dagang alat-alat listrik --
kemudian sibuk pula di pimpinan Partai Nahdatul Ulama (NU),
kesempatan amat terbatas bagi "Big Boss" ini untuk terlalu
banyak campur tangan pada film yang dibuat Persari, Dan karena
yang berkuasa di Persari masa itu orang-orang bekas sandiwara,
tidak mengherankan jika film Persari hampir semuanya berbau
sandiwara dan amat dekat pada film produser Tionghoa. Bahkan
orang-orang yang pernah bekerja di Persari bisa mengisahkan
betapa Djamaluddin Malik tidak segan-segan menganjurkan peniruan
terhadap film Tionghoa, jika memang dikehendaki penonton. Dan
ketika film India sudah amat merajai bioskop Indonesia dan
mendesak produksi dalam negeri, Djamaluddin sekalian
mendatangkan sutradara dan sejumlah teknisi India untuk bikin
film di Persari. Kata Djamal: "Kalau penonton mau yang India,
kita kasih India, sampai mereka bosan."
Djamal bukan tidak mau membuat film bermutu, terbukti dengan
usahanya menyekolahkan tenaga-tenaga Persari ke luar negeri.
Cuma lantaran tenaga-tenaga yang disekolahkan itu telah telanjur
besar di dunia sandiwara keliling, sudah sulit bagi mereka
bersikap dan berbuat lain dari yang lazim mereka lakukan.
Keinginan membuat film baik itu bisa dilihat pada usaha Djamal
mempekerjakan Asrul Sani di Persari, sejak 1954. Tapi Asrul Sani
yang berada di lingkungan bekas-bekas anak sandiwara itu
akhirnya juga tidak bisa berbuat banyak.
Tapi kepeloporan Djamal dalam bidang industri (memiliki studio
terbesar dengan peralatan lengkap) dan produksi (tahun 1952 dan
1953 menghasilkan film-film berwarna Rodrigo de Villa, Tabu, dan
Lelani) masih belum juga memuaskan hatinya. Di tahun 1954, ia
ingin membuat film yang betul-betul bermutu. Asrul menulis
cerita dan skenario Lewat Djam Malam, yang tak mungkin difilmkan
dengan tenaga-tenaga yang ada di Persari. Maka diadakannya kerja
sama dengan Perfini. Sebagian besar modal, cerita, dan skenario
serta sebagian pemain, dari Persari. Sedang sutradara (Usmar
Ismail) dan tenaga teknis lainnya dari Perfini. Kerja sama
Perfini-Persari itu berhasil dengan baik, dan Lewat Djam Malam
menjadi film kebanggaan.
Mencapai sukses artistik dan komersial, kerja sama
Perfini-Persari itu kemudian ternyata tidak bisa dilanjutkan
lantaran keributan pada Festival Film Indonesia pertama di tahun
1955.
Festival yang ketua dewan jurinya Andjar Asmara itu menghasilkan
keputusan yang menyejajarkan Lewat Djam Malam dan Tarmina
poduksi Persari yang disutradarai Lilik Soedjio. Keputusan itu
menimbulkan heboh di kalangan pers film dan orang-orang film
sendiri. Sastrawan dan kritikus film S.M. Ardan antara lain
menulis: "...kemenangan film Tarmina segera mengingatkan kita
akan lebih banjaknja orang-orang sandiwara duduk dalam panitya
djuri, orang-orang jang tidak mengerti film.
...Film-film sematjam Lewat Djam Malam adalah suatu usaha ke
arah seni film, mengapa djustru Tarmina jang masih merupakan
sandiwara dipotret didjadjarkan dengan Lewat Djam Malam?"
Tapi dari beberapa sumber yang ikut terlibat dalam festival
tersebut, diperoleh keterangan bahwa kemenangan Tarmina tidak
semata-mata soal selera juri. Festival yang seluruhnya dibiayai
Djamaluddin Malik itu akhirnya juga harus memberikan keuntungan
kepada Persari -- dalam bentuk kemenangan buat karya Lilik
Soedjio, sutradara kebanggaan Persari masa itu. Dan tentu saja
hal demikian tidak menggembirakan Usmar Ismail.
Permainan di festival tahun 1955 sebenarnya bukan yang pertama
kalinya. Di tahun 1954, ketika majalah Dunia Film pimpinan Abdul
Latief melakukan angket bintang wanita terpopuler, yang mendapat
suara terbanyak adalah Titien Soemarni. Tapi karena Djamaluddin
Malik ingin yang menang binang Persari, akhirnya yang
"terpilih" Netty Herawaty.
Toh berbagai usaha dan "permainan" Djamaluddin Malik itu
ternyata tidak bisa menyelamatkan Persari dari kesukaran yang
berada di luar lingkungan studionya. Film-film Indonesia, yang
hingga saat itu masih terus diputar di bioskop kelas bawah, di
tahun 1955 amat disaingi film India -- setelah tahun-tahun
sebelumnya harus berjuang melawan film-film Malaya dan Filipina.
Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang didirikan
bersama oleh Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail tahun 1954, pada
1955 melakukan desakan kepada pemerintah -- lewat pernyataan dan
demonstrasi artis dan karyawan film -- agar menurunkan kuota
film India.
Djamaluddin Malik dan Persari berada dalam posisi amat sulit.
Kredit pemerintah untuk membangun studio harus terus dibayar
kembali. Maka bersama produser film lainnya, yang tergabung
dalam PPFI, Djamaluddin dan Usmar Ismail sekali lagi meminta
perhatian pemerintah, atau studio tutup. Kabinet yang
berganti-ganti dan kurangnya orang yang mengetahui soal film
dalam pemerintahan makin mempersulit keadaan. Sementara itu
tekanan film impor terus pula mendesak film nasional. Karena
tidak melihat jalan keluar lagi, tanggal 19 Maret 1957 PPFI
mengumumkan penutupan studio-studio milik anggotanya.
Berita itu menimbulkan heboh. Tapi tanggapan yang paling keras
datang dari golongan kiri -- Lembaga Kebuyaan Rakyat (Lekra) dan
Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis) -- yang mendesak
agar pemerintah mengambil alih studio-studio tersebut. Campur
tangan pemerintah dan janji Kementerian Perekonomian untuk
meperjuangkan adanya kementerian yang membawahkan film, akhirnya
berhasil melunakkan hati anggota PPFI dan membuka studio mereka
pada tanggal 26 April 1957.
Tapi berita paling menarik kemudian adalah penahanan atas
Djamaluddin Malik pada bulan Mei 1957. Tidak ada keterangan yang
jelas dan pasti mengenai alasan Penguasa Perang menahan Djamal,
tapi di kalangan kawan dekatnya ada dugaan kuat bahwa soalnya
tidak bisa dipisahkan dari masalah politik. Ini diperkuat oleh
serangan koran-koran kiri di Jakarta waktu itu -- terhadap
Djamaluddin Malik, tapi juga Usmar Ismail.
Tahun 1958, ketika Djamal keluar dari tahanan, keadaan perfilman
sudah amat buruk. Persari yang tadinya merupakan studio terbesar
tahun itu cuma memproduksi satu film, Anakku Sajang. Dan karena
seluruh sisa utang Persari pada Bank Negara harus dilunasi pada
30 Juni 1958, tidak ada pilihan bagi Djamal selain menjual
kompleks studionya di Polonia. Pembelinya: PN Areal Survey
(Penas), yang hingga kini masih memiliki studio-studio tersebut.
Sejak itu, meski tidak resmi bubar, Persari berhenti menjadi
faktor penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Artis-artis
dan karyawan-karyawannya, dengan bantuan keuangan dari
Djamaluddin Malik, tetap mencoba membuat film di tempat lain.
Tapi udara buruk perfilman masa itu amat tidak menolong mereka.
Di kemudian hari beberapa kali Djamal mencoba kembali giat di
dunia film, tapi keadaan politik menjelang Gestapu tidak membuka
kesempatan. Ketika tekanan politik PKI sudah amat memuncak,
Djamal, Usmar, Asrul Sani (ketiganya berkumpul dalam Partai NU)
bersama-sama membuat film Tauhid (perjalanan haji) di Mekah,
1964. Setelah Gestapu, Djamal yang sudah sakit-sakitan makin
lama makin jauh saja dari dunia film, pada saat ia makin menjadi
orang partai. Djamaluddin Malik meninggal pada tahun 1970 di
Jerman Barat, setelah menderita penyakit yang amat berat.
Sudah tentu, meninggalnya Djamaluddin Malik sama sekali bukan
matinya perfilman Indonesia. Masih ada berpuluh tokoh lain,
produser maupun sutradara, dan Salim Said dalam telaahnya ini
mencatat khususnya peranan menonjol Usmar Ismail. Inilah tokoh
yang sudah di tahun 1950 berkata: "Kami tidak akan
mempertimbangkan segi komersial" - dan yang menghasilkan
film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja dan
Dosa Tak Berampun (1951), Krisis(1953), Lewat Djam Malam (1954),
Tiga Dara (yang menurut D. Djajakusuma membuat Usmar sendiri
sangat malu, karena 'kompromi'), Pedjuang, dan di tahun 1957
Delapan Pendjuru Angin, ketika dunia perfilman terasa "harus
diselamatkan" dari kematian. Film terakhir Usmar, pejuang 'pola
yang lain' dari pola komersial, dan pendidikan beberapa
sutradara dan banyak tenaga film yang lebih muda, adalah Ananda,
yang belum 100% selesai ketika maut merenggutnya pada 1971.
Apa yang terjadi di masa pra-Gestapu sendiri, khususnya
1957-1965, dilukiskan Salim Said terutama dalam wujud macetnya
secara total dunia perfilman kita dan berbagai 'kerusakan' yang
diakibatkannya. Juga situasi khusus di masa Jepang selain
perjalanan lebih lanjut perfilman kita selama dasawarsa
terakhir, dengan lahirnya berbagai film dan sutradara yang lebih
muda.
Namun yang sangat penting agaknya keadaan ini: tetap kalahnya
peranan sutradara oleh pemilik modal, yang di Indonesia umumnya
langsung menjadi produser, dan yang di masa akhir juga dimasuki
"unsur India". Bahkan istilah 'kompromi' sebenarnya tidak
dikenal -- apalagi dipersoalkan -- oleh sebagian besar
sutradara, mengingat riwayat mereka itu dalam hubungan kerja
dengan si cukong.
Sangat menarik adalah hasil pencatatan yang dilakukan KFT
(Karyawan Film & Televisi) terhadap latar belakang pendidikan
sutradara Indonesia, yang dicantumkan di buku itu. Dari situ
terlihat, 60,4% sutradara kita berpendidikan SLA. 14,3%
berpendidikan film luar negeri. Sedang yang berpendidikan SD
tercatat 2,2%. Itu hitungan tahun 1976, terhadap 91 sutradara
anggotanya. Bagaimana dengan bintang filmnya, yang hampir 500
orang itu? Terbesar berpendidikan SLP: 52%. Perguruan tinggi
hanya 6%, sementara SD 25%.
Memang, pendidikan formal bukan satu-satunya syarat. Tapi bila
keadaan itu digabungkan dengan peranan pemilik modal, dan
'subkultur' mereka, harapan terwujudnya 'wajah Indonesia yang
berwibawa' lewat perfilman kita agaknya memang tak usah diberi
waktu terlalu cepat. Ataukah sikap kita terlalu pahit?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini