Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ia mulai dengan berjalan kaki

Guru besar tataguna biologi, 57 th, perintis dalam studi mengenai lingkungan, juga pendiri lembaga ekologi unpad. kecintaan otto terhadap masalah lingkungan sudah tumbuh sejak kecil. (tk)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum pemerintah merencanakan menjual mobil dinas, seorang guru besar di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, sudah memilih jalan kaki. Pagi berangkat ke kantor, siang pulang makan bersama keluarga, balik lagi ke kantor sampai sore. Jika melewati jalan raya, jarak kantor dari rumahnya tak kurang dari 3 km jarak itu semakin panjang karena sang profesor memilih jalan kampung. "Jalan kaki di jalan raya kurang aman sekarang, takut diserempet kendaraan," alasannya. Bukannya tak punya mobil dinas. Kendaraan itu hanya dipakainya jika hujan. "Kecuali tidak merusak lingkungan, jalan kaki memang sehat," kelakar guru besar yang ramping dengan berat tubuh 66 kg itu. Otto Soemarwoto, 57 tahun, memang selalu bicara soal lingkungan. Guru besar tataguna biologi ini boleh disebut perintis dalam studi mengenai lingkungan. September 1972 ia mendirikan Lembaga Ekologi (LE) Unpad dengan dukungan rektor Unpad waktu itu, Sunaatmadja, yang kini sudah almarhum. Lembaga ini bertujuan mengembangkan ilmu tentang ekologi pembangunan. "Yang dipelajari bukan lingkungannya, tetapi hubungan manusia dengan lingkungannya secara timbal balik," kata Otto memberi alasan lembaga itu tidak bernama pusat studi lingkungan. Ketika berdiri, LE Unpad hanya berada dalam ruangan seluas 100 m2, menumpang di gedung Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Regional. Kamar kerja Otto Soemarwoto hanya 2 x 2 meter. Namun perhatian perguruan tinggi dari berbagai tempat terhadap lembaga itu amat besar. Terbukti banyak mahasiswa asing yang datang mengadakan penelitian di lembaga itu. Kecintaan Otto terhadap masalah lingkungan rupanya tumbuh sejak kecil. Mulai masa anak-anak ia sudah bercita-cita menjadi sarana pertanlan agar dekat dengan masalah lingkungan. Sempat berpindah-pindah sekolah sewaktu jaman penjajahan bahkan pernah bekerja sebagai mualim kapal setahun, akhirnya Otto bisa masuk Fakultas Pertanian Gajah Mada, 1949. Sarjana pertanian yang diidam-idamkannya diraih 1954 dengan predikat cum lade. Setahun kemudian ia dikirim ke Amerika Serikat. Di sinilah, tahun 1960, ia mendapat doktor dalam bidang philosofy in plan physiology dari Universitas California. Tahun itu pula ia kembali pulang ke UGM dan langsung dikukuhkan sebagai guru besar dalam usia 34 tahun. Otto akhirnya meninggalkan UGM karena diangkat menjadi direktur Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor, tahun 1972. Di sini ia memperdalam biologi molokuler -- suatu studi tentang biologi sampai ke molekul-molekulnya. Tetapi bidang ini memerlukan peralatan yang mahal dan harus ditunjang literatur yang lengkap. LBN Bogor waktu itu belum mempunyainya. "Akhirya saya memilih ekologi lingkungan, walaupun waktu itu terbatas pada ekologi tumbuh-tumbuhan," kata Otto. Ketika ditawari pindah ke Unpad dan diberi kepercayaan mendirikan lembaga ekologi, Otto Soemarwoto langsung menyetujui. Lembaga yang masih asing dalam dunia perguruan tinggi itu seperti menantangnya. Ia rintis dari awal. Dari kantor yang mendompleng dan sesak. Dan kini, tentu saja semua itu telah berubah. Gedung LE Unpad sekarang merupakan bangunan mewah berlantai dua dengan luas tanah 1.100 m2. "Berarti lebih besar sepuluh kali dibandingkan waktu berdiri," kata Otto tersenyum bangga. Tersedia laboratorium yang lengkap dengan peralatan modern. Ada perpustakaan yang menyimpan 8.000 judul buku dan lebih 100 judul majalah ilmiah. Lembaga ini mempekerjakan 69 karyawan, 30 orang diantaranya sarjana. Bagi penelitian telah keluar dari lembaga ini. Yang menarik adalah masalah pencemaran lingkungan. "Pencemaran masalah kritis di Indonesia. Bukan pencemaran karena limbah industri, tetapi justru pencemaran oleh limbah rumah tangga," kata profesor yang menjadi anggota berbagai organisasi internasional tentang lingkungan hidup itu. Bahaya pencemaran limbah industri di Indonesia, katanya, belum seberapa. "Belum terdengar ada yang sampai meninggal dunia," katanya. Tetapi pencemaran akibat limbah rumah tangga, menurut laki-laki kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini sudah memakan banyak korban. Ia menunjuk penyakit muntaber dan cacingan yang begitu sering terjadi. "Tetapi sayang penelitian limbah rumah tangga masih sedikit dibandingkan dengan penelitian limbah industri. Padahal penanggulangan limbah industri sudah cukup banyak dengan berbagai alat modern", kata Otto. Kekhawatiran tentang limbah industri karena melihat pencemaran di negara industri yang memang sering terdengar. Tetapi buat kita, tambahnya, prioritas utama masih untuk mengatasi pencemaran limbah rumah tangga. Konsep yang diajukan Otto menangani pencemaran limbah rumah tangga berbeda dengan konsep di negara maju. "Di Barat konsepnya bagaimana membuang limbah atau sampah secara higienis. Di sini harusnya bagaimana memanfaatkan limbah secara higienis," katanya. LE Unpad masih terus meneliti masalah ini. Fokusnya terpusat pada usaha mengkomposkan kotoran hewan dan manusia. Yang paling ditekankan, apakah dalam proses mengkomposkan itu kuman-kuman mati. Kalau kuman-kuman itu mati, kompos bukan saja berguna untuk rabuk tanaman, tetapi juga untuk memelihara cacing. "Cacing diberikan pada ikan dan ikan dimakan manusia. Ini salah satu bentuk daur-ulang yang higienis," kata ilmuwan yang rambutnya memutih itu. Dari segi lingkungan pula ia menyayangkan pembangunan Kota Bandung yang membabat habis taman-taman sebagai paru-paru kota untuk dijadikan gedung pemerintah. "Saya bukannya tidak setuju dengan gedung itu, tetapi harus dipikirkan, apakah air bisa meresap ke dalam tanah sehingga tak menimbulkan banjir," katanya. Tetapi berbicara soal banjir yang disebabkan gundulnya hutan, profesor ini berbicara agak lain, terutama menyangkut lingkungan di Pulau Jawa. Ia menyebut, tak perlu diadakan reboisasi, karena tanah di Jawa amat subur. "Tanpa ditanami toh bisa menjadi hutan kembali," katanya sambil menyebut contoh alam di Gunung Krakatau dan Ujungkulon yang hutannya pernah rusak. "Reboisasi di Pulau Jawa serahkan saja kepada alam, asal tidak diganggu manusia," lanjut ahli yang pernah menjadi dewan redaksi Journal of Environtment Conservation di Den Haag ini. Gangguan manusia yang dimaksud adalah penduduk yang padat dan "lapar lahan", sementara pemerintah tidak mungkin menjaga hutan yang luas itu. (TEMPO, 7 Mei). Itu bukan berarti Otto tak setuju reboisasi di luar Jawa. Kerusakan hutan di luar Jawa yang disebabkan dampak negatif Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masih bisa disembuhkan dengan reboisasi. "Selain tanahnya kurang subur, tekanan penduduk belum begitu berat," katanya. Malahan ia menganjurkan, penghutanan kembali kawasan yang dirusak HPH dilakukan lebih cermat dengan pengawasan ketat, karena masa tumbuhnya lebih lama. Karena Otto juga mengakui masa tumbuh hutan perlu waktu lama, pendapatnya tentang tak perlu reboisasi di Jawa kurang disepakati ahli lain, misalnya, Dr. Achmad Soemitro. "Saya kira tak mungkin Dr. Otto berpendirian seperti itu. Bahkan menurut saya, reboisasi dilakukan dengan teknologi yang lebih intensif, misalnya, dengan pemupukan," kata doktor dari Fakultas Kehutanan UGM ini. Dr. Ir. Beni D. Nasendi memang sependapat dengan Dr. Otto, bahwa alam Jawa dengan sendirinya bisa menghijaukan tanah yang pernah gundul. "Kalau dilihat dari segi ekologi murni, pendapat Otto dapat diterima. Tetapi dari segi ekologi terapan (applied ecology), apalagi melihat konsep ekonomis, reboisasi itu penting," kata Beni, staf ahli pada Bina Program Kehutanan Dep. Kehutanan. Diakuinya alam bisa mengatur sendiri, dimulai dari tumbuhnya lumut, menyusul paku-pakuan, lantas berkembang menjadi tanaman besar. "Waktunya lama sementara kerugian manusia dengan lahan kritis tak bisa diukur dengan uang," tambah Beni. Komentar para ahli kehutanan itu menunjukkan bahwa pikiran Otto Soemarwoto tampaknya perlu ditanggapi. Sekaligus menunjukkan bahwa Otto Soemarwoto merupakan ahli lingkungan kita yang terpenting sekarang. Pemerintah pun mengakui hal itu. Sehingga profesor yang gemar berkebun dan orhiba ini mendapat Bintang Maha Putera Utama, 1981. Setahun kemudian menyusul Satya Lencana Karya Sakti Kelas I. Sukses ini diakuinya pula karena bantuan istrinya, Idjah Natadipradja, M.A. Istrinya inilah yang pertama kali diajaknya merintis Lembaga Ekologi Unpad yang terkenal itu. Idjah, mojang Priangan asal Ciamis, adalah sarjana Zoologi lulusan Universitas California. Otto menikahinya secara "kawin keris". Waktu itu, 1956, Otto di California. Rencana perkawinan diselenggarakan di Ciamis. Tetapi karena suatu hal Otto tidak bisa ke tanah air, sementara upacara sudah siap. Syukur, calon mempelai putri bersedia disandingkan dengan keris sebagai wakil mempelai pria. Delapan bulan setelah hari bersejarah itu, Idjah menyusul ke California. "Jadi saya berbulan madu setelah delapan bulan menikah," kata Otto mengenang. Dan tentu saja bulan madu sambil sama-sama tugas belajar. Keluarga ilmuwan ini dikaruniai empat putra -- seorang meninggal. Anak-anaknya cukup akrab dengan ayah dan ibunya yang sibuk terus. Resepnya adalah, mereka harus kumpul ketika makan siang dan makan malam. "Saat makan itu saya mendengarkan suka duka anak saya, juga saat itu saya mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga," kata Otto. Misalnya, menentukan hari rekreasi, ke mana tujuannya. Juga memilih cat tembok yang sesuai untuk rumah. "Sikap demokrat harus dimulai dari keluarga," tambah Otto lagi. Ia sudah lupa berapa kertas kerja yang telah dibuatnya. Bukunya terbit di Singapura 1981 dengan judul Environmental Education and Research in Indonesian University. Penerbit Jambatan segera menerbitkan bukunya yang lain tentang ekologi. Otto juga menulis di berbagai media luar negeri. Sedang buku Jaring-jaring Kehidupan yang sebelumnya dimuat bersambung di majalah anak-anak Si Kuncung, memenangkan hadiah pertama Yayasan Buku Utama pada 1982.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus