JAUH sebelum pemerintah merencanakan menjual mobil dinas,
seorang guru besar di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung,
sudah memilih jalan kaki. Pagi berangkat ke kantor, siang pulang
makan bersama keluarga, balik lagi ke kantor sampai sore. Jika
melewati jalan raya, jarak kantor dari rumahnya tak kurang dari
3 km jarak itu semakin panjang karena sang profesor memilih
jalan kampung. "Jalan kaki di jalan raya kurang aman sekarang,
takut diserempet kendaraan," alasannya.
Bukannya tak punya mobil dinas. Kendaraan itu hanya dipakainya
jika hujan. "Kecuali tidak merusak lingkungan, jalan kaki memang
sehat," kelakar guru besar yang ramping dengan berat tubuh 66 kg
itu.
Otto Soemarwoto, 57 tahun, memang selalu bicara soal lingkungan.
Guru besar tataguna biologi ini boleh disebut perintis dalam
studi mengenai lingkungan. September 1972 ia mendirikan Lembaga
Ekologi (LE) Unpad dengan dukungan rektor Unpad waktu itu,
Sunaatmadja, yang kini sudah almarhum. Lembaga ini bertujuan
mengembangkan ilmu tentang ekologi pembangunan. "Yang
dipelajari bukan lingkungannya, tetapi hubungan manusia dengan
lingkungannya secara timbal balik," kata Otto memberi alasan
lembaga itu tidak bernama pusat studi lingkungan.
Ketika berdiri, LE Unpad hanya berada dalam ruangan seluas 100
m2, menumpang di gedung Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Regional. Kamar kerja Otto Soemarwoto hanya 2 x 2 meter. Namun
perhatian perguruan tinggi dari berbagai tempat terhadap lembaga
itu amat besar. Terbukti banyak mahasiswa asing yang datang
mengadakan penelitian di lembaga itu.
Kecintaan Otto terhadap masalah lingkungan rupanya tumbuh sejak
kecil. Mulai masa anak-anak ia sudah bercita-cita menjadi
sarana pertanlan agar dekat dengan masalah lingkungan. Sempat
berpindah-pindah sekolah sewaktu jaman penjajahan bahkan
pernah bekerja sebagai mualim kapal setahun, akhirnya Otto bisa
masuk Fakultas Pertanian Gajah Mada, 1949. Sarjana pertanian
yang diidam-idamkannya diraih 1954 dengan predikat cum lade.
Setahun kemudian ia dikirim ke Amerika Serikat. Di sinilah,
tahun 1960, ia mendapat doktor dalam bidang philosofy in plan
physiology dari Universitas California. Tahun itu pula ia
kembali pulang ke UGM dan langsung dikukuhkan sebagai guru besar
dalam usia 34 tahun.
Otto akhirnya meninggalkan UGM karena diangkat menjadi direktur
Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor, tahun 1972. Di sini ia
memperdalam biologi molokuler -- suatu studi tentang biologi
sampai ke molekul-molekulnya. Tetapi bidang ini memerlukan
peralatan yang mahal dan harus ditunjang literatur yang lengkap.
LBN Bogor waktu itu belum mempunyainya. "Akhirya saya memilih
ekologi lingkungan, walaupun waktu itu terbatas pada ekologi
tumbuh-tumbuhan," kata Otto.
Ketika ditawari pindah ke Unpad dan diberi kepercayaan
mendirikan lembaga ekologi, Otto Soemarwoto langsung menyetujui.
Lembaga yang masih asing dalam dunia perguruan tinggi itu
seperti menantangnya. Ia rintis dari awal. Dari kantor yang
mendompleng dan sesak. Dan kini, tentu saja semua itu telah
berubah.
Gedung LE Unpad sekarang merupakan bangunan mewah berlantai dua
dengan luas tanah 1.100 m2. "Berarti lebih besar sepuluh kali
dibandingkan waktu berdiri," kata Otto tersenyum bangga. Tersedia
laboratorium yang lengkap dengan peralatan modern. Ada perpustakaan
yang menyimpan 8.000 judul buku dan lebih 100 judul majalah ilmiah.
Lembaga ini mempekerjakan 69 karyawan, 30 orang diantaranya sarjana.
Bagi penelitian telah keluar dari lembaga ini. Yang menarik
adalah masalah pencemaran lingkungan. "Pencemaran masalah kritis
di Indonesia. Bukan pencemaran karena limbah industri, tetapi
justru pencemaran oleh limbah rumah tangga," kata profesor yang
menjadi anggota berbagai organisasi internasional tentang
lingkungan hidup itu. Bahaya pencemaran limbah industri di
Indonesia, katanya, belum seberapa. "Belum terdengar ada yang
sampai meninggal dunia," katanya.
Tetapi pencemaran akibat limbah rumah tangga, menurut laki-laki
kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini sudah memakan banyak
korban. Ia menunjuk penyakit muntaber dan cacingan yang begitu
sering terjadi. "Tetapi sayang penelitian limbah rumah tangga
masih sedikit dibandingkan dengan penelitian limbah industri.
Padahal penanggulangan limbah industri sudah cukup banyak
dengan berbagai alat modern", kata Otto. Kekhawatiran tentang
limbah industri karena melihat pencemaran di negara industri
yang memang sering terdengar. Tetapi buat kita, tambahnya,
prioritas utama masih untuk mengatasi pencemaran limbah rumah
tangga.
Konsep yang diajukan Otto menangani pencemaran limbah rumah
tangga berbeda dengan konsep di negara maju. "Di Barat konsepnya
bagaimana membuang limbah atau sampah secara higienis. Di sini
harusnya bagaimana memanfaatkan limbah secara higienis,"
katanya.
LE Unpad masih terus meneliti masalah ini. Fokusnya terpusat
pada usaha mengkomposkan kotoran hewan dan manusia. Yang paling
ditekankan, apakah dalam proses mengkomposkan itu kuman-kuman
mati. Kalau kuman-kuman itu mati, kompos bukan saja berguna
untuk rabuk tanaman, tetapi juga untuk memelihara cacing.
"Cacing diberikan pada ikan dan ikan dimakan manusia. Ini salah
satu bentuk daur-ulang yang higienis," kata ilmuwan yang
rambutnya memutih itu.
Dari segi lingkungan pula ia menyayangkan pembangunan Kota
Bandung yang membabat habis taman-taman sebagai paru-paru kota
untuk dijadikan gedung pemerintah. "Saya bukannya tidak setuju
dengan gedung itu, tetapi harus dipikirkan, apakah air bisa
meresap ke dalam tanah sehingga tak menimbulkan banjir,"
katanya.
Tetapi berbicara soal banjir yang disebabkan gundulnya hutan,
profesor ini berbicara agak lain, terutama menyangkut lingkungan
di Pulau Jawa. Ia menyebut, tak perlu diadakan reboisasi, karena
tanah di Jawa amat subur. "Tanpa ditanami toh bisa menjadi hutan
kembali," katanya sambil menyebut contoh alam di Gunung Krakatau
dan Ujungkulon yang hutannya pernah rusak. "Reboisasi di Pulau
Jawa serahkan saja kepada alam, asal tidak diganggu manusia,"
lanjut ahli yang pernah menjadi dewan redaksi Journal of
Environtment Conservation di Den Haag ini. Gangguan manusia
yang dimaksud adalah penduduk yang padat dan "lapar lahan",
sementara pemerintah tidak mungkin menjaga hutan yang luas itu.
(TEMPO, 7 Mei).
Itu bukan berarti Otto tak setuju reboisasi di luar Jawa.
Kerusakan hutan di luar Jawa yang disebabkan dampak negatif Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) masih bisa disembuhkan dengan
reboisasi. "Selain tanahnya kurang subur, tekanan penduduk belum
begitu berat," katanya. Malahan ia menganjurkan, penghutanan
kembali kawasan yang dirusak HPH dilakukan lebih cermat dengan
pengawasan ketat, karena masa tumbuhnya lebih lama.
Karena Otto juga mengakui masa tumbuh hutan perlu waktu lama,
pendapatnya tentang tak perlu reboisasi di Jawa kurang
disepakati ahli lain, misalnya, Dr. Achmad Soemitro. "Saya kira
tak mungkin Dr. Otto berpendirian seperti itu. Bahkan menurut
saya, reboisasi dilakukan dengan teknologi yang lebih intensif,
misalnya, dengan pemupukan," kata doktor dari Fakultas Kehutanan
UGM ini.
Dr. Ir. Beni D. Nasendi memang sependapat dengan Dr. Otto, bahwa
alam Jawa dengan sendirinya bisa menghijaukan tanah yang pernah
gundul. "Kalau dilihat dari segi ekologi murni, pendapat Otto
dapat diterima. Tetapi dari segi ekologi terapan (applied
ecology), apalagi melihat konsep ekonomis, reboisasi itu
penting," kata Beni, staf ahli pada Bina Program Kehutanan Dep.
Kehutanan. Diakuinya alam bisa mengatur sendiri, dimulai dari
tumbuhnya lumut, menyusul paku-pakuan, lantas berkembang menjadi
tanaman besar. "Waktunya lama sementara kerugian manusia dengan
lahan kritis tak bisa diukur dengan uang," tambah Beni.
Komentar para ahli kehutanan itu menunjukkan bahwa pikiran Otto
Soemarwoto tampaknya perlu ditanggapi. Sekaligus menunjukkan
bahwa Otto Soemarwoto merupakan ahli lingkungan kita yang
terpenting sekarang.
Pemerintah pun mengakui hal itu. Sehingga profesor yang gemar
berkebun dan orhiba ini mendapat Bintang Maha Putera Utama,
1981. Setahun kemudian menyusul Satya Lencana Karya Sakti Kelas
I. Sukses ini diakuinya pula karena bantuan istrinya, Idjah
Natadipradja, M.A. Istrinya inilah yang pertama kali diajaknya
merintis Lembaga Ekologi Unpad yang terkenal itu.
Idjah, mojang Priangan asal Ciamis, adalah sarjana Zoologi
lulusan Universitas California. Otto menikahinya secara "kawin
keris". Waktu itu, 1956, Otto di California. Rencana perkawinan
diselenggarakan di Ciamis. Tetapi karena suatu hal Otto tidak
bisa ke tanah air, sementara upacara sudah siap. Syukur, calon
mempelai putri bersedia disandingkan dengan keris sebagai wakil
mempelai pria.
Delapan bulan setelah hari bersejarah itu, Idjah menyusul ke
California. "Jadi saya berbulan madu setelah delapan bulan
menikah," kata Otto mengenang. Dan tentu saja bulan madu sambil
sama-sama tugas belajar.
Keluarga ilmuwan ini dikaruniai empat putra -- seorang
meninggal. Anak-anaknya cukup akrab dengan ayah dan ibunya yang
sibuk terus. Resepnya adalah, mereka harus kumpul ketika makan
siang dan makan malam. "Saat makan itu saya mendengarkan suka
duka anak saya, juga saat itu saya mengambil keputusan penting
yang menyangkut keluarga," kata Otto. Misalnya, menentukan hari
rekreasi, ke mana tujuannya. Juga memilih cat tembok yang sesuai
untuk rumah. "Sikap demokrat harus dimulai dari keluarga,"
tambah Otto lagi.
Ia sudah lupa berapa kertas kerja yang telah dibuatnya. Bukunya
terbit di Singapura 1981 dengan judul Environmental Education
and Research in Indonesian University. Penerbit Jambatan segera
menerbitkan bukunya yang lain tentang ekologi. Otto juga menulis
di berbagai media luar negeri. Sedang buku Jaring-jaring
Kehidupan yang sebelumnya dimuat bersambung di majalah anak-anak
Si Kuncung, memenangkan hadiah pertama Yayasan Buku Utama pada
1982.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini