SUATU hari di akhir musim gugur, tahun 1979, di sebuah kamar
sempit dan sumpek di perkampungan kumal kota Beijing, sekelompok
anak muda tampak asyik berdiskusi. Lantai kamar yang kotor, dan
dinding yang penuh bercak bocoran air hujan, tak mengganggu
keasyikan mereka.
Anak-anak muda itu adalah para redaktur dan penulis dari
sejumlah majalah tak resmi dan terlarang. Saat itu mereka tengah
mendiskusikan perkembangan Dinding Demokrasi -- tembok tempat
orang-orang Cina menuliskan segala uneg-uneg. Kelompok anak muda
tersebut, menurut ukuran Cina, termasuk kategori pembangkang.
Awal November tahun 1979 itu seorang wartawan Amerika hadir di
antara pemberontak tersebut. Namanya: Richard Bernstein -- yang
menulis pengalamannya di Cina menjadi buku dengan judul From The
Center of The Earth. Ia mengaku bertahun-tahun kepingin tahu
mengenai pembangkang-pembangkang Cina. Antara lain dengan
kelompok Li Yizhe -- nama samaran para penulis plakat-plakat
dinding di Canton, 1973.
Kelompok ini pernah diwawancarai wartawan Barat di hari-hari
rusuh Revolusi Kebudayaan. Kini mereka tampak lebih hati-hati --
mungkin juga takut. Soalnya, seorang pemimpinnya yang piawai,
Wei Jing-sheng, begitu menggebu-gebu membocorkan rahasia kepada
pers asing, terpaksa mendekam di penjara. Hakim menjatuhinya
hukuman 15 tahun. "Karena itu, kontak gelap dengan orang asing
makin sangat berbahaya," tulis Bernstein.
Pertemuan Bernstein dengan Liu Qing, salah seorang redaktur
majalah gelap terkemuka, disebutnya sangat mengesankan. Liu
adalah orang yang menyebarkan majalah bulanan Forum Lima April,
nama ini diambil dari tanggal pecahnya demonstrasi antiMao pada
1976, di Dinding Demokrasi. Tiga hari setelah mengobrol, Liu
diciduk oleh penguasa.
Pencidukan itu sudah diramalkan Liu sebelumnya. Dan ia tampak
sudah siap. "Kami tahu bahwa untuk meraih demokrasi diperlukan
pengorbanan -- kalau perlu jiwa. Dan kami siap berkorban bagi
suatu perubahan di Cina," kata Liu sebagaimana dikutip Bernstein
untuk majalah Time. Belakangan diketahui Liu melakukan kerja
paksa di Provinsi Shaanxi.
Kini Dinding Demokrasi, yang terentang sepanjang beberapa ratus
meter di depan terminal bis di boulevard Changan, Beijing, sudah
tidak ada lagi. Maret 1980, sekelompok pekerja datang dengan
alat pengerik, sikat, dan semprotan air, lalu meluruhkan semua
tempelan plakat di sana sampai bersih. Yang tinggal di RRC
adalah selebaran gelap yang dikirim per pos oleh dan untuk
orang-orang tertentu.
Bagaimanapun, dalam masa sekitar setahun, dinding itu sudah
cukup berjasa. Poster-poster dalam aneka ukuran telah menawarkan
sejumlah gagasan tentang "sosialisme yang murni dan benar" di
sana. Selain itu terlihat pula keluhan terhadap rezim komunis,
imbauan tentang kebebasan berbicara dan berkumpul, serta
keinginan akan sistem politik yang terbuka.
Tak cuma itu yang muncul di Dinding Demokrasi. Ada pula surat
terbuka kepada Komite Sentral PKC tentang perlakuan terhadap
rakyat di masa lalu, minta pindah kerja, atau tempat tinggal --
pendek kata segala tetek bengek pribadi yang sebelumnya tak
berani dikemukakan karena takut dianggap cengeng. "Dinding itu
mencerminkan perubahan besar dan mencengangkan dari kepribadian
Cina dalam mengungkapkan pikiran lain dari apa yang berkembang
di tengah-tengah sosialisme Cina yang tenang dan seragam,"
komentar Bernstein.
"Benar," kata seorang pembangkang, "Dinding Demokrasi telah
berhasil mengangkat sejumlah gagasan cemerlang ke permukaan
meski hanya sedikit." Apa pasal maka sedikit? Menurut sang
pembangkang apa yang tampil di Dinding Demokrasi itu lebih dari
separuh buatan jaringan Partai Komunis Cina (PKC).
Pada awal gerakan poster-poster kritik memang digalakkan oleh
orang kuat RRC. Deng Xiaoping sasarannya adalah musuh-musuh Deng
di Politbiro. "Jika massa marah biarkan mereka menyatakannya,"
kata Deng waktu itu.
Setelah Deng berhasil menyingkirkan saingannya satu per satu,
Maret tahun 1980, keluar keputusan resmi Politbiro PKC tentang
larangan menempelkan poster di Dinding Demokrasi. Dan untuk
menggairahkan kembali semangat kaum muda terhadap revolusi, PKC
mencanangkan program Empat Modernisasi.
Bernstein kemudian menjalin kontak dengan seorang anak muda
bernama Fang di Beijing. Fang, 33 tahun, baru saja menyelesaikan
sekolah menengah ketika Revolusi Kebudayaan pecah di tahun 1966.
Seperti generasi muda, waktu itu, ia juga tergila-gila kepada
pikiran-pikiran Ketua Mao. Ketika situasi berubah sepeninggal
Mao, Fang, yang bekerja di sebuah instansi pemerintah, selamat
dari pembersihan berkat ayahnya punya koneksi di kalangan
pimpinan partai.
Fang termasuk orang-orang yang kecewa. Suatu hari ia menelepon
Bernstein untuk membeberkan kedongkolannya terhadap penguasa. Ia
mengajak sang wartawan untuk berjumpa dengan komplotannya. Di
sini, menurut rencana mereka membubarkan apa yang diketahuinya.
Antara lain cara-cara intel membuntuti orang-orang asing, sampai
tentang kader partai yang memelihara gendak. Setelah dua kali
bertemu, Fang tak melakukan kontak lagi dengan Bernstein.
Kabarnya Fang langsung dipanggil dan diperingatkan oleh kepala
bagiannya untuk tidak mengadakan hubungan dengan wartawan asing.
Ia mujur tak ditahan.
Dari pertemuan itu Bernstein menyimpulkan, Fang dan komplotannya
iri akan kebebasan yang dimiliki orang-orang di luar RRC --
terutama AS. Bebas bekerja dan memilih karir, dan bebas
bepergian ke mana saja bahkan ke negeri Cina yang komunis.
"Jutaan orang Cina memimpikan Amerika," tulis Bernstein.
"Seperti seorang pemeluk agama yang taat memimpikan surga."
Angkatan Revolusi Kebudayaan itu disebut Bernstein sebagai
"generasi yang hilang." Sebagian besar mereka itu, kini berusia
30-an, telah masuk perangkap eksperimen paham sama rata sama
rasa yang ekstrim. Kini, setelah situasi berubah, mereka
dikesampingkan. Perhatian negara sekarang dialihkan kepada
generasi lebih muda -- yang baru saja memasuki perguruan tinggi.
Generasi yang dicampakkan itu akan berbeda di jenjang terbawah
birokrasi selama bertahun-tahun. Dan akan terbenam dalam
tumpukan pekerjaan yang tak habis-habisnya tanpa ada waktu luang
untuk berekreasi.
Di Beijing, dikenal dua kelompok seniman. Pertama, mereka yang
jadi anggota lembaga kebudayaan resmi -- menerima gaji tetap
tanpa peduli apa yang mereka hasilkan. Dan satunya lagi,
kelompok seniman tak resmi -- yang menulis atau melukis karena
tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukan. Yang menarik
minat Bernstein adalah kelompok terakhir. Mengapa? "Karena
mereka memiliki keberanian dan keterikatan pada kebutuhan
mencipta di dalam sebuah masyarakat yang begitu ketatnya," tulis
Bernstein.
Kaum budayawan dan seniman sudah dibina PKC sejak awal mereka
menanamkan pengaruhnya di daratan Cina. Sejumlah seniman
berbakat, waktu itu, langsung melibatkan diri dalam barisan PKC
karena mereka menaruh harapan besar kepada revolusi. Antara lain
Lu Xun, Ba Jin, Cao Yu, Lao She, dan Mau Dun semuanya adalah
pengarang yang menolak penyelesaian cara Koumintang seperti
mereka menolak beban penindasan tradisi Konghucu dengan segala
kelambanan dan sikap mapannya. Novel dan esai yang mereka tulis
pada 1920-an dan 1930-an adalah sastra realisme sosial yang
membangkitkan jutaan kerinduan pada perubahan yang dramatis.
Para pengarang ini, sebelum invasi Jepang tahun 1937, tidak
seluruhnya bergabung dalam partai kebanyakan hanya menaruh
simpati saja. Baru setelah Mao Zedong mendirikan basis
perlawanan antiJepang di Yenan mereka -- kecuali Lu Xun, yang
meninggal pada 1936 satu persatu bergabung dengan kaum
"pemberontak".
Tahun 1942, Mao memprakarsai Forum Sastra dan Seni Yenan. Di
sini ia mencanangkan bahwa semua hasil seni -- sastra, film,
seni lukis, dan sebagainya -- harus diabdikan kepada revolusi.
Pidato Mao itu segera diikuti dengan kampanye besar-besaran
menggarap kaum seniman yang masih ragu-ragu, dan memonjokkan
mereka yang ngotot berpegang pada keortodokan paham Konghucu.
Setelah Mao meninggal disusul dengan jatuhnya Kelompok Empat
yang dipimpin Jiang Qing, tumbuh harapan di dalam dan di luar
Cina. Yang mereka harap pemimpin baru akan lebih liberal. Mereka
ingin melihat karya yang menggambarkan "sisi gelap" dari sosok
masyarakat komunis -- khususnya tentang kepicikan dan kerakusan
kelompok kecil pejabat -- diperkenankan beredar.
Yang diharapkan memang muncul. Yang terbaik adalah drama Putra
Komandan Artileri -- diputuskan di Shanghai, tahun 1979. Kritik
dalam sandiwara ini tertuju pada pejabat picik, yang tertipu
calon menantu, karena menyangka pemuda itu putra seorang perwira
tinggi militer. Ternyata ia cuma putra seorang tukang sapu.
Penonton menyambut sandiwara itu penuh gairah. "Kini kita
benar-benar dapat berkaca pada cermin masyarakat sekarang,"
komentar mereka.
Cerita yang mengkritik masa Revolusi Kebudayaan disebut sastra
"luka". Karena menggambarkan penderitaan zaman itu. Tapi sayang
drama "galak" model ini tak berumur panjang. Selang dua tahun
bermunculan kecaman terhadap seni jenis ini. Sebuah tulisan di
pers menuduh sastra "luka" terlalu menekankan segi-segi
"negatif" masyarakat Cina. Akibatnya: sastra dan seni ini
diganyang dan dilarang pemerintah.
Mereka yang diganyang, antara lain, pengarang terkenal Bai Hua.
Dia adalah penulis skenario Cinta Getir filmnya dilarang
beredar. Cinta Getir berkisah tentang pelukis yang dibencanai
dalam masa kampanye antikaum kanan, tahun 1957. Dalam karya Bai
Hua ada kata-kata yang berbunyi: "Bukannya aku tidak mencintai
tanah air, tapi tanah airlah yang membenciku." Dan inilah yang
menjadi sasaran kritik.
Harian AB Cina menuding Bai Hua secara terbuka "tidak mematuhi
empat prinsip dasar, melukiskan sisi gelap partai dan bangsa,
menyelewengkan dan memfitnah patriotisme, serta mengejek dan
memojokkan Ketua Mao."
Adapun empat prinsip dasar itu adalah: pengembangan
Marxisme-Leninisme-Maoisme, kepemimpinan Partai Komunis,
diktatur proletariat, dan sosialisme. "Hampir tak ada yang
berubah sejak Forum Yenan tahun 1942," tutur Bernstein.
Kemudian Bernstein bertemu dengan pematung Wang Keping dari
kelompok seniman tak resmi. Di kamarnya yang sempit berjejer
patung-patung yang bernilai universal. Di antaranya ada yang
melukiskan "wajah dengan mulut menjerit" -- lukisan penderitaan
rakyat Cina di masa Revolusi Kebudayaan. "Wang Keping telah
berhasil mengalihkan dirinya dari seorang kartunis kayu yang
marah dan disakiti menjadi seorang seniman besar," komentar
Bernstein.
Ada cerita tentang seniman Cina yang lain. Namanya: Yuan
Yunsheng. Tahun 1978, ia ditugaskan melukis mural besar untuk
dinding ruang makan khusus orang asing di bandar udara
internasional Beijing. Model yang dipakai Yuan adalah pesta air
tahunan suku minoritas dari Provinsi Yunnan. Lukisan yang
menggambarkan dua wanita ramping dengan rambut tergerai panjang
itu menjadi persoalan karena buah dadanya yang telanjang.
Mulanya, demikian Bernstein, tak ada timbul reaksi. Selang
beberapa waktu kemudian ia melihat lukisan itu mulai ditutupi
gorden putih yang tipis. Tapi justru itulah yang menggoda para
pelancong untuk menyibak tirainya. Pada musim rontok tahun 1980
tirai itu lenyap bertepatan dengan turunnya Hua Guofeng dari
kursi perdana menteri.
Banyak pendatang menyangka pencopotan tirai mural di restoran
untuk orang asing itu pertanda habisnya masa Mao, dan terbitnya
era yang lebih "adem". Jebulnya, awal tahun 1981, ketika
Bernstein kembali ke sana, sebuah papan tegak menghalang
menyembunyikan "keinginan wanita" yang menghebohkan itu.
Masih di Beijing, Bernstein berkenalan dengan seorang wanita
muda. Polos, tetapi sangat cerdas dan kritis. Ia lahir tahun
1947 -- dua tahun sebelum RRC diproklamasikan. Bernstein
memanggilnya Xiuping, yang berarti "damai sentosa".
Saat ditemui Bernstein, Xiuping tampak menderita dan tidak
bahagia. "Ia sudah mencurahkan dua pertiga usianya bagi negeri
yang tenggelam dalam mabuk optimisme revolusioner," tutur
Bernstein. Masa remajanya, sebagai seorang aktivis proletariat
yang sedang mekar, dihangati "masa depan komunisme yang cerlang
cemerlang." Kedua orangtuanya adalah kader puncak partai yang
terlibat sejak tahun 1930-an -- inilah yang membuat Xiuping
langsung saja menguntit di belakang.
Ayah Xiuping menjadi pejabat puncak di tingkat provinsi. Ia
memiliki rumah bertingkat dua yang dikelilingi halaman luas dan
pagar tinggi. Xiuping sendiri, di masa kecilnya, dititipkan di
TK khusus anak kader partai -- dari Senin hingga Sabtu. Ia
mengaku menyenangi hidup di sana. Pada hari Minggu, pagi-pagi,
ia dijemput oleh sopir mobii hitam milik Pemda yang lalu
membawanya pulang ke rumah orangtua.
Namun tidak ditemuinya kehangatan kekeluargaan di sana. Hubungan
anak-anak dengan orangtua kering, tanpa kasih sayang. "Anak-anak
pemimpin Cina harus terpisah, agar mereka tidak mengganggu
aktivitas orangtuanya," tutur Bernstein.
Masa Xiuping dihabiskannya di bawah ketiak para perawat TK.
Hingga ia ingat benar berapa kali (saking sedikitnya)
ayah-ibunya mengajaknya main. Pada usia Xiuping delapan tahun,
ibunya meninggal, tapi ia tak merasa sedih -- juga
saudara-saudaranya yang lain. Konon begitulah tipikal keluarga
kader PKC tahun 1950-an.
Di sekolah, Xiuping diberi pelajaran tentang kejayaan revolusi,
Partai Komunis, dan Ketua Mao. Ia diharuskan senantiasa melawan
penindasan kelas. Tapi pada saat yang sama ia harus patuh kepada
partai dan pemimpin politik. Pola ini berlanjut setelah ia
menyertai kepindahan orangtuanya ke Beijing, akhir 1950-an. Saat
itu ia sudah di sekolah menengah khusus untuk anak kader partai.
Di masa itu, Xiuping penuh gairah mengikuti semua proses
pembajaan dan pemurnian diri. Selama dua tahun ia membuat
otokritik secara tertulis -- mengaku salah tentang keangkuhan
dan sikap mementingkan diri sendiri. Ia harus membaca dan
mempercayai surat kabar resmi.
Ia pernah bekerja, satu bulan, sebagai pelayan restoran tanpa
dibayar -- dalam usaha mengabdikan diri kepada rakyat. Yang
dipikirkannya, bagaimana secara ideologi ia semakin murni, dan
hanya memikirkan partai dan rakyat. Ini penting. Sebab untuk
melamar sebagai anggota Liga Pemuda Komunis diperlukan "laporan
ideologis" mengenai dirinya.
Xiuping memasuki usia ke-14 ketika berkeinginan turba ke desa.
Ia lalu menulis sebuah surat kepada surat kabar Pemuda, meminta
bantuan. Setelah melalui berbagai saluran birokrasi, surat itu
jatuh ke sekolahnya, dan akhirnya ke tangan ayahnya. Di luar
dugaan sang ayah mem-veto-nya. "Bikinlah revolusi dengan belajar
di rumah," kata ayahnya.
Lalu tibalah Revolusi Kebudayaan, 1966, saat Xiuping duduk di
bangku sekolah menengah. Dimulai di Universitas Beijing, sang
revolusi mara ke mana-mana. Muncul banyak poster di
simpang-simpang jalan mengecam anggota partai yang berhasrat
menempuh jalan non-revolusioner. "Saat itu saya luluh dalam
Marxisme," kenang Xiuping. "Dan saya sudah tidak sabar terhadap
keengganan pimpinan partai menerima kritik."
Xiuping pun larut dalam mabuk kuasa yang tiba-tiba saja jatuh ke
tangannya. Begitu Revolusi Kebudayaan, yang didukung Mao,
semakin menggelora, Xiuping menjadi militan yang tak mengenal
takut. Juga teman-teman sekolahnya tidak kurang pula beraninya.
Para remaja itu, berusia 16-18 tahun, umumnya anak pimpinan
partai, merasa mengulangi kembali kisah kepahlawanan orang
tuanya di masa lalu. "Masa ganyang mengganyang itu dikenang
Xiuping sebagai "periode menyenangkan."
Berminggu-minggu, kata Xiuping, ia tak tidur. Sampai larut malam
ia dan rekan-rekannya menggelandang di jalan-jalan Kota Beijing
dengan mengendarai sepeda. Pintu demi pintu mereka gedor --
umumnya rumah para pejabat dan pimpinan partai -- mencari
orangnya atau menyita barang simpanan. Masuk menggeledahi
kediaman seniman terkenal, para jenderal, tokoh politik. Gemetar
juga kaum mapan itu menerima bocah-bocah ingusan, dan membiarkan
barang-barangnya yang "reaksioner" itu diangkut ke luar buku,
gambar gulung, lukisan untuk didaftar dan disita tanpa protes.
Kemudian Xiuping dan rekan-rekannya menggeledah rumah-rumah
mereka yang menetap di luar negeri. Di dalam rumah mereka
ditemui barang-barang seperti piano, gaun malam, foto-foto
pasangan dalam gaya pose romantis. Semua kena ganyang. "Saya
merasa berdosa dan ingin minta maaf, tapi saya tahu mereka masih
menaruh benci kepadaku hingga kini," kata Xiuping.
Bagaimanapun, masa itu penuh kenangan baginya. Tetapi segalanya
dengan cepat berubah. Revolusi Kebudayaan segera dituding
sebagai radikalisme. Xiuping terpukul. "Rasa senang dan mabuk
kepayangnya segera beralih menjadi kesedihan malah depresi,"
tutur Bernstein.
Ia yang dibebaskan dari tirani orang tuanya oleh Revolsi
Kebudayaan, kini merasa terperangkap dalam tirani jenis lain.
Tanpa pegangan, bingung, Xiuping lalu dikirim oleh pemimpin
Revolusi Kebudayaan ke Mongolia Dalam. Keperluan teoritas dari
perlawatan itu untuk meneliti perjuangan kelas di sana. Namun
yang ditemuinya adalah frustrasi. Kembali ke Beijing,
rekan-rekannya juga tidak di tempat -- mereka juga dikirim ke
pedesaan untuk menyebarkan ajaran Ketua Mao.
Melawat ke provinsi-provinsi timur dengan kereta, ia mulai
menghayati pengalaman "reaksioner" dan "borjuis" -- rasa
kekecewaan terhadap politik. Suatu saat, Xiuping pergi ke pantai
laut di Beidaihe. Waktu itu malam hari, sendirian rebah di tepi
pantai, menatap langit dan mendengarkan suara angin dan ombak
memukul karang. Saat itulah ia mengalami apa yang oleh Freud
disebut "rasa kelautan": lenyapnya identitas individunya yang
kecil. Yang tinggal hanya rasa menyatu dengan alam yang luas,
indah, dan damai.
Pada bulan itu juga, Juni 1967, Xiuping kembali lagi ke Beijing.
Rekan-rekannya masih berada entah di pelosok mana. Revolusi
Kebudayaan sedang di puncaknya: saat rontoknya para penguasa
dari jabatannya. Pulang ke rumah orangtuanya, ia seharian
berkurung. Ia merasa dirinya jatuh ke dunia lain. Orang tuanya
menyangka ia sedang jatuh cinta.
"Kemudian," cerita Xiuping, "tibalah saatnya saya keluar dari
dunia kesurupan dengan perasaan lebih segar dan hidup. Seluruh
kondisi mentalku telah berubah perasaan, keyakinan, pendapat,
pengetahuanku tentang dunia seluruh diriku menjadi lain secara
tak terelakkan."
Selama itu, katanya, ia secara membabi buta telah mempercayai
komunisme. Merasa tanpa cela sedikit pun tentang sistem yang
ditawarkannya. "Anda bisa bahagia dan tidak-bahagia dalam hidup
ini," kata gadis itu. "Tapi saya tidak merasakan keduanya. Yang
kutahu dunia lebih besar dari Marxisme dan Komunisme."
Setelah pengalaman itu, ia merasa ada sesuatu yang dapat
dicobanya bagi dirinya sendiri. "Bahkan, jika kesimpulanku
salah, itu adalah milikku sendiri." Dan ia ingin mempelajari
sendiri segala-galanya. Ia mulai membaca langsung Das Kapital
dari Karl Marx, Kelas Baru dari Milovan Djilas, bahkan bacaan
yang "paling terlarang" -- buku-buku karangan Trotsky. Buku-buku
itu didapatnya dari koleksi ayahnya.
Saat itulah ia menyimpulkan bahwa "tidak ada masa depan bagi
Cina, setidaknya selama Mao masih hidup." Karena itu ia ingin
sekali pergi ke luar negeri. Hal yang tidak gampang di sana.
Aspek yang paling menyedihkan dari Revolusi Kebudayaan, menurut
Bernstein, adalah campur tangan politik dalam kehidupan pribadi.
Dan ini terutama dialami oleh "generasi yang hilang". Mereka, di
atas 30-an, acap diminta menggagalkan perkawinannya karena
pasangannya memiliki "latar belakang yang jelek". Atau, saat
sedang seru-serunya bercinta harus melakukan turba ke pedalaman
-- selama bertahun-tahun.
Di dalam bercinta pun, orang-orang muda Cina lebih banyak
bercinta "di dalam hati sendiri" -- seperti juga dialami
Xiuping. Mengalami beberapa kali jatuh hati, setiap kali tidak
berlanjut -- kelewat sibuk, atau dikirim turba ke pedesaan.
Sampai suatu saat ia memperoleh sedikit kesempatan, pada
pertengahan 1970-an.
Ketika itu ia sedang ditugaskan di sebuah pabrik di Zhengzhou.
Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah menikah. Namun
karena sama-sama kesepian, hubungan mesra pun terjalin, walau
melalui gerakan-gerakan halus yang klasik, tatap mata yang tanpa
kata-kata. Keadaan ini bertahan cukup lama padahal mereka
bersisian meja.
Sebuah sentuhan tanpa sengaja awal dari hubungan selanjutnya:
berboncengan sepeda pada malam hari ketika pulang dari turnamen
tenis meja yang mereka selenggarakan. Mereka, saat habis
latihan, sempat mengalami malam tanpa listrik -- namun kegelapan
itu tak cukup dimanfaatkan: Mereka tetap mencoba menikmati
keintiman di dalam kediaman.
Laki-laki itu terbilang konservatif. Merasa sudah kawin,
terlebih-lebih ia sedang berusaha diterima sebagai anggota
partai. "Ia khawatir, hubungan gelapnya dengan Xiuping akan
dipergoki suatu saat dan ini akan memojokkannya," tutur
Bernstein. Lalu ia minta dipindahkan ke Beijing, kembali
mengajar teknik di universitas. "Ia pergi tanpa satu patah kata
kepada Xiuping."
Xiuping, 30 tahun saat itu, masih ingin membina hubungan. Tak
terniat di hatinya ingin merampas laki-laki itu dari sisi
istrinya. Ia konon cuma ingin akrab dengannya, katakanlah
bersahabat. Namun, laki-laki itu tidak memberi kesempatan --
menolak sama sekali ditemui di universitas.
Mencoba menyibukkan diri, Xiuping masuk institut teknik dan
belajar bahasa Inggris. Ia masih tetap berkeinginan ke luar
negeri. Namun tanpa uang dan tanpa sponsor yang tangguh, harapa
itu kandas. Sekolah ia tinggalkan, dan kembali ke rumah
orangtuanya.
Dalam keadaan frustrasi, Xiuping melihat komunisme sebagai momok
Frankenstein
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini