Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah dinding demokrasi dibongkar

Perkembangan dinding demokrasi di cina. tempat orang-orang cina menuliskan segala uneg-uneg untuk meraih demokrasi, yang oleh pemerintah dikatagorikan sebagai pembangkang. (sel)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di akhir musim gugur, tahun 1979, di sebuah kamar sempit dan sumpek di perkampungan kumal kota Beijing, sekelompok anak muda tampak asyik berdiskusi. Lantai kamar yang kotor, dan dinding yang penuh bercak bocoran air hujan, tak mengganggu keasyikan mereka. Anak-anak muda itu adalah para redaktur dan penulis dari sejumlah majalah tak resmi dan terlarang. Saat itu mereka tengah mendiskusikan perkembangan Dinding Demokrasi -- tembok tempat orang-orang Cina menuliskan segala uneg-uneg. Kelompok anak muda tersebut, menurut ukuran Cina, termasuk kategori pembangkang. Awal November tahun 1979 itu seorang wartawan Amerika hadir di antara pemberontak tersebut. Namanya: Richard Bernstein -- yang menulis pengalamannya di Cina menjadi buku dengan judul From The Center of The Earth. Ia mengaku bertahun-tahun kepingin tahu mengenai pembangkang-pembangkang Cina. Antara lain dengan kelompok Li Yizhe -- nama samaran para penulis plakat-plakat dinding di Canton, 1973. Kelompok ini pernah diwawancarai wartawan Barat di hari-hari rusuh Revolusi Kebudayaan. Kini mereka tampak lebih hati-hati -- mungkin juga takut. Soalnya, seorang pemimpinnya yang piawai, Wei Jing-sheng, begitu menggebu-gebu membocorkan rahasia kepada pers asing, terpaksa mendekam di penjara. Hakim menjatuhinya hukuman 15 tahun. "Karena itu, kontak gelap dengan orang asing makin sangat berbahaya," tulis Bernstein. Pertemuan Bernstein dengan Liu Qing, salah seorang redaktur majalah gelap terkemuka, disebutnya sangat mengesankan. Liu adalah orang yang menyebarkan majalah bulanan Forum Lima April, nama ini diambil dari tanggal pecahnya demonstrasi antiMao pada 1976, di Dinding Demokrasi. Tiga hari setelah mengobrol, Liu diciduk oleh penguasa. Pencidukan itu sudah diramalkan Liu sebelumnya. Dan ia tampak sudah siap. "Kami tahu bahwa untuk meraih demokrasi diperlukan pengorbanan -- kalau perlu jiwa. Dan kami siap berkorban bagi suatu perubahan di Cina," kata Liu sebagaimana dikutip Bernstein untuk majalah Time. Belakangan diketahui Liu melakukan kerja paksa di Provinsi Shaanxi. Kini Dinding Demokrasi, yang terentang sepanjang beberapa ratus meter di depan terminal bis di boulevard Changan, Beijing, sudah tidak ada lagi. Maret 1980, sekelompok pekerja datang dengan alat pengerik, sikat, dan semprotan air, lalu meluruhkan semua tempelan plakat di sana sampai bersih. Yang tinggal di RRC adalah selebaran gelap yang dikirim per pos oleh dan untuk orang-orang tertentu. Bagaimanapun, dalam masa sekitar setahun, dinding itu sudah cukup berjasa. Poster-poster dalam aneka ukuran telah menawarkan sejumlah gagasan tentang "sosialisme yang murni dan benar" di sana. Selain itu terlihat pula keluhan terhadap rezim komunis, imbauan tentang kebebasan berbicara dan berkumpul, serta keinginan akan sistem politik yang terbuka. Tak cuma itu yang muncul di Dinding Demokrasi. Ada pula surat terbuka kepada Komite Sentral PKC tentang perlakuan terhadap rakyat di masa lalu, minta pindah kerja, atau tempat tinggal -- pendek kata segala tetek bengek pribadi yang sebelumnya tak berani dikemukakan karena takut dianggap cengeng. "Dinding itu mencerminkan perubahan besar dan mencengangkan dari kepribadian Cina dalam mengungkapkan pikiran lain dari apa yang berkembang di tengah-tengah sosialisme Cina yang tenang dan seragam," komentar Bernstein. "Benar," kata seorang pembangkang, "Dinding Demokrasi telah berhasil mengangkat sejumlah gagasan cemerlang ke permukaan meski hanya sedikit." Apa pasal maka sedikit? Menurut sang pembangkang apa yang tampil di Dinding Demokrasi itu lebih dari separuh buatan jaringan Partai Komunis Cina (PKC). Pada awal gerakan poster-poster kritik memang digalakkan oleh orang kuat RRC. Deng Xiaoping sasarannya adalah musuh-musuh Deng di Politbiro. "Jika massa marah biarkan mereka menyatakannya," kata Deng waktu itu. Setelah Deng berhasil menyingkirkan saingannya satu per satu, Maret tahun 1980, keluar keputusan resmi Politbiro PKC tentang larangan menempelkan poster di Dinding Demokrasi. Dan untuk menggairahkan kembali semangat kaum muda terhadap revolusi, PKC mencanangkan program Empat Modernisasi. Bernstein kemudian menjalin kontak dengan seorang anak muda bernama Fang di Beijing. Fang, 33 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah ketika Revolusi Kebudayaan pecah di tahun 1966. Seperti generasi muda, waktu itu, ia juga tergila-gila kepada pikiran-pikiran Ketua Mao. Ketika situasi berubah sepeninggal Mao, Fang, yang bekerja di sebuah instansi pemerintah, selamat dari pembersihan berkat ayahnya punya koneksi di kalangan pimpinan partai. Fang termasuk orang-orang yang kecewa. Suatu hari ia menelepon Bernstein untuk membeberkan kedongkolannya terhadap penguasa. Ia mengajak sang wartawan untuk berjumpa dengan komplotannya. Di sini, menurut rencana mereka membubarkan apa yang diketahuinya. Antara lain cara-cara intel membuntuti orang-orang asing, sampai tentang kader partai yang memelihara gendak. Setelah dua kali bertemu, Fang tak melakukan kontak lagi dengan Bernstein. Kabarnya Fang langsung dipanggil dan diperingatkan oleh kepala bagiannya untuk tidak mengadakan hubungan dengan wartawan asing. Ia mujur tak ditahan. Dari pertemuan itu Bernstein menyimpulkan, Fang dan komplotannya iri akan kebebasan yang dimiliki orang-orang di luar RRC -- terutama AS. Bebas bekerja dan memilih karir, dan bebas bepergian ke mana saja bahkan ke negeri Cina yang komunis. "Jutaan orang Cina memimpikan Amerika," tulis Bernstein. "Seperti seorang pemeluk agama yang taat memimpikan surga." Angkatan Revolusi Kebudayaan itu disebut Bernstein sebagai "generasi yang hilang." Sebagian besar mereka itu, kini berusia 30-an, telah masuk perangkap eksperimen paham sama rata sama rasa yang ekstrim. Kini, setelah situasi berubah, mereka dikesampingkan. Perhatian negara sekarang dialihkan kepada generasi lebih muda -- yang baru saja memasuki perguruan tinggi. Generasi yang dicampakkan itu akan berbeda di jenjang terbawah birokrasi selama bertahun-tahun. Dan akan terbenam dalam tumpukan pekerjaan yang tak habis-habisnya tanpa ada waktu luang untuk berekreasi. Di Beijing, dikenal dua kelompok seniman. Pertama, mereka yang jadi anggota lembaga kebudayaan resmi -- menerima gaji tetap tanpa peduli apa yang mereka hasilkan. Dan satunya lagi, kelompok seniman tak resmi -- yang menulis atau melukis karena tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukan. Yang menarik minat Bernstein adalah kelompok terakhir. Mengapa? "Karena mereka memiliki keberanian dan keterikatan pada kebutuhan mencipta di dalam sebuah masyarakat yang begitu ketatnya," tulis Bernstein. Kaum budayawan dan seniman sudah dibina PKC sejak awal mereka menanamkan pengaruhnya di daratan Cina. Sejumlah seniman berbakat, waktu itu, langsung melibatkan diri dalam barisan PKC karena mereka menaruh harapan besar kepada revolusi. Antara lain Lu Xun, Ba Jin, Cao Yu, Lao She, dan Mau Dun semuanya adalah pengarang yang menolak penyelesaian cara Koumintang seperti mereka menolak beban penindasan tradisi Konghucu dengan segala kelambanan dan sikap mapannya. Novel dan esai yang mereka tulis pada 1920-an dan 1930-an adalah sastra realisme sosial yang membangkitkan jutaan kerinduan pada perubahan yang dramatis. Para pengarang ini, sebelum invasi Jepang tahun 1937, tidak seluruhnya bergabung dalam partai kebanyakan hanya menaruh simpati saja. Baru setelah Mao Zedong mendirikan basis perlawanan antiJepang di Yenan mereka -- kecuali Lu Xun, yang meninggal pada 1936 satu persatu bergabung dengan kaum "pemberontak". Tahun 1942, Mao memprakarsai Forum Sastra dan Seni Yenan. Di sini ia mencanangkan bahwa semua hasil seni -- sastra, film, seni lukis, dan sebagainya -- harus diabdikan kepada revolusi. Pidato Mao itu segera diikuti dengan kampanye besar-besaran menggarap kaum seniman yang masih ragu-ragu, dan memonjokkan mereka yang ngotot berpegang pada keortodokan paham Konghucu. Setelah Mao meninggal disusul dengan jatuhnya Kelompok Empat yang dipimpin Jiang Qing, tumbuh harapan di dalam dan di luar Cina. Yang mereka harap pemimpin baru akan lebih liberal. Mereka ingin melihat karya yang menggambarkan "sisi gelap" dari sosok masyarakat komunis -- khususnya tentang kepicikan dan kerakusan kelompok kecil pejabat -- diperkenankan beredar. Yang diharapkan memang muncul. Yang terbaik adalah drama Putra Komandan Artileri -- diputuskan di Shanghai, tahun 1979. Kritik dalam sandiwara ini tertuju pada pejabat picik, yang tertipu calon menantu, karena menyangka pemuda itu putra seorang perwira tinggi militer. Ternyata ia cuma putra seorang tukang sapu. Penonton menyambut sandiwara itu penuh gairah. "Kini kita benar-benar dapat berkaca pada cermin masyarakat sekarang," komentar mereka. Cerita yang mengkritik masa Revolusi Kebudayaan disebut sastra "luka". Karena menggambarkan penderitaan zaman itu. Tapi sayang drama "galak" model ini tak berumur panjang. Selang dua tahun bermunculan kecaman terhadap seni jenis ini. Sebuah tulisan di pers menuduh sastra "luka" terlalu menekankan segi-segi "negatif" masyarakat Cina. Akibatnya: sastra dan seni ini diganyang dan dilarang pemerintah. Mereka yang diganyang, antara lain, pengarang terkenal Bai Hua. Dia adalah penulis skenario Cinta Getir filmnya dilarang beredar. Cinta Getir berkisah tentang pelukis yang dibencanai dalam masa kampanye antikaum kanan, tahun 1957. Dalam karya Bai Hua ada kata-kata yang berbunyi: "Bukannya aku tidak mencintai tanah air, tapi tanah airlah yang membenciku." Dan inilah yang menjadi sasaran kritik. Harian AB Cina menuding Bai Hua secara terbuka "tidak mematuhi empat prinsip dasar, melukiskan sisi gelap partai dan bangsa, menyelewengkan dan memfitnah patriotisme, serta mengejek dan memojokkan Ketua Mao." Adapun empat prinsip dasar itu adalah: pengembangan Marxisme-Leninisme-Maoisme, kepemimpinan Partai Komunis, diktatur proletariat, dan sosialisme. "Hampir tak ada yang berubah sejak Forum Yenan tahun 1942," tutur Bernstein. Kemudian Bernstein bertemu dengan pematung Wang Keping dari kelompok seniman tak resmi. Di kamarnya yang sempit berjejer patung-patung yang bernilai universal. Di antaranya ada yang melukiskan "wajah dengan mulut menjerit" -- lukisan penderitaan rakyat Cina di masa Revolusi Kebudayaan. "Wang Keping telah berhasil mengalihkan dirinya dari seorang kartunis kayu yang marah dan disakiti menjadi seorang seniman besar," komentar Bernstein. Ada cerita tentang seniman Cina yang lain. Namanya: Yuan Yunsheng. Tahun 1978, ia ditugaskan melukis mural besar untuk dinding ruang makan khusus orang asing di bandar udara internasional Beijing. Model yang dipakai Yuan adalah pesta air tahunan suku minoritas dari Provinsi Yunnan. Lukisan yang menggambarkan dua wanita ramping dengan rambut tergerai panjang itu menjadi persoalan karena buah dadanya yang telanjang. Mulanya, demikian Bernstein, tak ada timbul reaksi. Selang beberapa waktu kemudian ia melihat lukisan itu mulai ditutupi gorden putih yang tipis. Tapi justru itulah yang menggoda para pelancong untuk menyibak tirainya. Pada musim rontok tahun 1980 tirai itu lenyap bertepatan dengan turunnya Hua Guofeng dari kursi perdana menteri. Banyak pendatang menyangka pencopotan tirai mural di restoran untuk orang asing itu pertanda habisnya masa Mao, dan terbitnya era yang lebih "adem". Jebulnya, awal tahun 1981, ketika Bernstein kembali ke sana, sebuah papan tegak menghalang menyembunyikan "keinginan wanita" yang menghebohkan itu. Masih di Beijing, Bernstein berkenalan dengan seorang wanita muda. Polos, tetapi sangat cerdas dan kritis. Ia lahir tahun 1947 -- dua tahun sebelum RRC diproklamasikan. Bernstein memanggilnya Xiuping, yang berarti "damai sentosa". Saat ditemui Bernstein, Xiuping tampak menderita dan tidak bahagia. "Ia sudah mencurahkan dua pertiga usianya bagi negeri yang tenggelam dalam mabuk optimisme revolusioner," tutur Bernstein. Masa remajanya, sebagai seorang aktivis proletariat yang sedang mekar, dihangati "masa depan komunisme yang cerlang cemerlang." Kedua orangtuanya adalah kader puncak partai yang terlibat sejak tahun 1930-an -- inilah yang membuat Xiuping langsung saja menguntit di belakang. Ayah Xiuping menjadi pejabat puncak di tingkat provinsi. Ia memiliki rumah bertingkat dua yang dikelilingi halaman luas dan pagar tinggi. Xiuping sendiri, di masa kecilnya, dititipkan di TK khusus anak kader partai -- dari Senin hingga Sabtu. Ia mengaku menyenangi hidup di sana. Pada hari Minggu, pagi-pagi, ia dijemput oleh sopir mobii hitam milik Pemda yang lalu membawanya pulang ke rumah orangtua. Namun tidak ditemuinya kehangatan kekeluargaan di sana. Hubungan anak-anak dengan orangtua kering, tanpa kasih sayang. "Anak-anak pemimpin Cina harus terpisah, agar mereka tidak mengganggu aktivitas orangtuanya," tutur Bernstein. Masa Xiuping dihabiskannya di bawah ketiak para perawat TK. Hingga ia ingat benar berapa kali (saking sedikitnya) ayah-ibunya mengajaknya main. Pada usia Xiuping delapan tahun, ibunya meninggal, tapi ia tak merasa sedih -- juga saudara-saudaranya yang lain. Konon begitulah tipikal keluarga kader PKC tahun 1950-an. Di sekolah, Xiuping diberi pelajaran tentang kejayaan revolusi, Partai Komunis, dan Ketua Mao. Ia diharuskan senantiasa melawan penindasan kelas. Tapi pada saat yang sama ia harus patuh kepada partai dan pemimpin politik. Pola ini berlanjut setelah ia menyertai kepindahan orangtuanya ke Beijing, akhir 1950-an. Saat itu ia sudah di sekolah menengah khusus untuk anak kader partai. Di masa itu, Xiuping penuh gairah mengikuti semua proses pembajaan dan pemurnian diri. Selama dua tahun ia membuat otokritik secara tertulis -- mengaku salah tentang keangkuhan dan sikap mementingkan diri sendiri. Ia harus membaca dan mempercayai surat kabar resmi. Ia pernah bekerja, satu bulan, sebagai pelayan restoran tanpa dibayar -- dalam usaha mengabdikan diri kepada rakyat. Yang dipikirkannya, bagaimana secara ideologi ia semakin murni, dan hanya memikirkan partai dan rakyat. Ini penting. Sebab untuk melamar sebagai anggota Liga Pemuda Komunis diperlukan "laporan ideologis" mengenai dirinya. Xiuping memasuki usia ke-14 ketika berkeinginan turba ke desa. Ia lalu menulis sebuah surat kepada surat kabar Pemuda, meminta bantuan. Setelah melalui berbagai saluran birokrasi, surat itu jatuh ke sekolahnya, dan akhirnya ke tangan ayahnya. Di luar dugaan sang ayah mem-veto-nya. "Bikinlah revolusi dengan belajar di rumah," kata ayahnya. Lalu tibalah Revolusi Kebudayaan, 1966, saat Xiuping duduk di bangku sekolah menengah. Dimulai di Universitas Beijing, sang revolusi mara ke mana-mana. Muncul banyak poster di simpang-simpang jalan mengecam anggota partai yang berhasrat menempuh jalan non-revolusioner. "Saat itu saya luluh dalam Marxisme," kenang Xiuping. "Dan saya sudah tidak sabar terhadap keengganan pimpinan partai menerima kritik." Xiuping pun larut dalam mabuk kuasa yang tiba-tiba saja jatuh ke tangannya. Begitu Revolusi Kebudayaan, yang didukung Mao, semakin menggelora, Xiuping menjadi militan yang tak mengenal takut. Juga teman-teman sekolahnya tidak kurang pula beraninya. Para remaja itu, berusia 16-18 tahun, umumnya anak pimpinan partai, merasa mengulangi kembali kisah kepahlawanan orang tuanya di masa lalu. "Masa ganyang mengganyang itu dikenang Xiuping sebagai "periode menyenangkan." Berminggu-minggu, kata Xiuping, ia tak tidur. Sampai larut malam ia dan rekan-rekannya menggelandang di jalan-jalan Kota Beijing dengan mengendarai sepeda. Pintu demi pintu mereka gedor -- umumnya rumah para pejabat dan pimpinan partai -- mencari orangnya atau menyita barang simpanan. Masuk menggeledahi kediaman seniman terkenal, para jenderal, tokoh politik. Gemetar juga kaum mapan itu menerima bocah-bocah ingusan, dan membiarkan barang-barangnya yang "reaksioner" itu diangkut ke luar buku, gambar gulung, lukisan untuk didaftar dan disita tanpa protes. Kemudian Xiuping dan rekan-rekannya menggeledah rumah-rumah mereka yang menetap di luar negeri. Di dalam rumah mereka ditemui barang-barang seperti piano, gaun malam, foto-foto pasangan dalam gaya pose romantis. Semua kena ganyang. "Saya merasa berdosa dan ingin minta maaf, tapi saya tahu mereka masih menaruh benci kepadaku hingga kini," kata Xiuping. Bagaimanapun, masa itu penuh kenangan baginya. Tetapi segalanya dengan cepat berubah. Revolusi Kebudayaan segera dituding sebagai radikalisme. Xiuping terpukul. "Rasa senang dan mabuk kepayangnya segera beralih menjadi kesedihan malah depresi," tutur Bernstein. Ia yang dibebaskan dari tirani orang tuanya oleh Revolsi Kebudayaan, kini merasa terperangkap dalam tirani jenis lain. Tanpa pegangan, bingung, Xiuping lalu dikirim oleh pemimpin Revolusi Kebudayaan ke Mongolia Dalam. Keperluan teoritas dari perlawatan itu untuk meneliti perjuangan kelas di sana. Namun yang ditemuinya adalah frustrasi. Kembali ke Beijing, rekan-rekannya juga tidak di tempat -- mereka juga dikirim ke pedesaan untuk menyebarkan ajaran Ketua Mao. Melawat ke provinsi-provinsi timur dengan kereta, ia mulai menghayati pengalaman "reaksioner" dan "borjuis" -- rasa kekecewaan terhadap politik. Suatu saat, Xiuping pergi ke pantai laut di Beidaihe. Waktu itu malam hari, sendirian rebah di tepi pantai, menatap langit dan mendengarkan suara angin dan ombak memukul karang. Saat itulah ia mengalami apa yang oleh Freud disebut "rasa kelautan": lenyapnya identitas individunya yang kecil. Yang tinggal hanya rasa menyatu dengan alam yang luas, indah, dan damai. Pada bulan itu juga, Juni 1967, Xiuping kembali lagi ke Beijing. Rekan-rekannya masih berada entah di pelosok mana. Revolusi Kebudayaan sedang di puncaknya: saat rontoknya para penguasa dari jabatannya. Pulang ke rumah orangtuanya, ia seharian berkurung. Ia merasa dirinya jatuh ke dunia lain. Orang tuanya menyangka ia sedang jatuh cinta. "Kemudian," cerita Xiuping, "tibalah saatnya saya keluar dari dunia kesurupan dengan perasaan lebih segar dan hidup. Seluruh kondisi mentalku telah berubah perasaan, keyakinan, pendapat, pengetahuanku tentang dunia seluruh diriku menjadi lain secara tak terelakkan." Selama itu, katanya, ia secara membabi buta telah mempercayai komunisme. Merasa tanpa cela sedikit pun tentang sistem yang ditawarkannya. "Anda bisa bahagia dan tidak-bahagia dalam hidup ini," kata gadis itu. "Tapi saya tidak merasakan keduanya. Yang kutahu dunia lebih besar dari Marxisme dan Komunisme." Setelah pengalaman itu, ia merasa ada sesuatu yang dapat dicobanya bagi dirinya sendiri. "Bahkan, jika kesimpulanku salah, itu adalah milikku sendiri." Dan ia ingin mempelajari sendiri segala-galanya. Ia mulai membaca langsung Das Kapital dari Karl Marx, Kelas Baru dari Milovan Djilas, bahkan bacaan yang "paling terlarang" -- buku-buku karangan Trotsky. Buku-buku itu didapatnya dari koleksi ayahnya. Saat itulah ia menyimpulkan bahwa "tidak ada masa depan bagi Cina, setidaknya selama Mao masih hidup." Karena itu ia ingin sekali pergi ke luar negeri. Hal yang tidak gampang di sana. Aspek yang paling menyedihkan dari Revolusi Kebudayaan, menurut Bernstein, adalah campur tangan politik dalam kehidupan pribadi. Dan ini terutama dialami oleh "generasi yang hilang". Mereka, di atas 30-an, acap diminta menggagalkan perkawinannya karena pasangannya memiliki "latar belakang yang jelek". Atau, saat sedang seru-serunya bercinta harus melakukan turba ke pedalaman -- selama bertahun-tahun. Di dalam bercinta pun, orang-orang muda Cina lebih banyak bercinta "di dalam hati sendiri" -- seperti juga dialami Xiuping. Mengalami beberapa kali jatuh hati, setiap kali tidak berlanjut -- kelewat sibuk, atau dikirim turba ke pedesaan. Sampai suatu saat ia memperoleh sedikit kesempatan, pada pertengahan 1970-an. Ketika itu ia sedang ditugaskan di sebuah pabrik di Zhengzhou. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah menikah. Namun karena sama-sama kesepian, hubungan mesra pun terjalin, walau melalui gerakan-gerakan halus yang klasik, tatap mata yang tanpa kata-kata. Keadaan ini bertahan cukup lama padahal mereka bersisian meja. Sebuah sentuhan tanpa sengaja awal dari hubungan selanjutnya: berboncengan sepeda pada malam hari ketika pulang dari turnamen tenis meja yang mereka selenggarakan. Mereka, saat habis latihan, sempat mengalami malam tanpa listrik -- namun kegelapan itu tak cukup dimanfaatkan: Mereka tetap mencoba menikmati keintiman di dalam kediaman. Laki-laki itu terbilang konservatif. Merasa sudah kawin, terlebih-lebih ia sedang berusaha diterima sebagai anggota partai. "Ia khawatir, hubungan gelapnya dengan Xiuping akan dipergoki suatu saat dan ini akan memojokkannya," tutur Bernstein. Lalu ia minta dipindahkan ke Beijing, kembali mengajar teknik di universitas. "Ia pergi tanpa satu patah kata kepada Xiuping." Xiuping, 30 tahun saat itu, masih ingin membina hubungan. Tak terniat di hatinya ingin merampas laki-laki itu dari sisi istrinya. Ia konon cuma ingin akrab dengannya, katakanlah bersahabat. Namun, laki-laki itu tidak memberi kesempatan -- menolak sama sekali ditemui di universitas. Mencoba menyibukkan diri, Xiuping masuk institut teknik dan belajar bahasa Inggris. Ia masih tetap berkeinginan ke luar negeri. Namun tanpa uang dan tanpa sponsor yang tangguh, harapa itu kandas. Sekolah ia tinggalkan, dan kembali ke rumah orangtuanya. Dalam keadaan frustrasi, Xiuping melihat komunisme sebagai momok Frankenstein

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus