Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan Tunjangan DPR Dipersoalkan
Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan kenaikan tunjangan untuk anggotanya dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Namun rencana ini justru ditolak sejumlah anggota karena tak sesuai dengan kinerja DPR selama satu tahun terakhir.
"Kinerja tak ada, masak tunjangan naik?" kata Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Syaifullah Tamliha pada Rabu pekan lalu. Dia mengatakan memang ada inflasi. Namun kenaikan tunjangan seharusnya didukung oleh pencapaian parlemen. Sejak dilantik, menurut dia, kinerja Dewan amat buruk dengan hanya menghasilkan tiga undang-undang.
Tunjangan yang diperoleh anggota antara lain tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan, serta bantuan langganan listrik dan telepon. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Dimyati Natakusumah mengatakan, untuk meningkatkan kinerja, anggota Dewan sebaiknya diberi penghasilan yang bagus pula. "Kalau mau kerja bagus, sarana dan prasarana harus diperhatikan," ujar Dimyati.
Politikus Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mempertanyakan urgensi adanya kenaikan insentif untuk anggota Dewan. Tunjangan yang lama seharusnya masih mencukupi untuk menutupi kinerja anggota Dewan. "Memang tergantung style politik anggota," ucapnya.
Direktur Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi menilai kebijakan ini tak beretika. Sebab, kata dia, setiap tahun tunjangan anggota Dewan tetap naik. Misalnya pada 2014 sebesar Rp 243,2 miliar menjadi Rp 696,9 miliar pada tahun ini.
Jatah Tambahan untuk Dewan
1. Tunjangan kehormatan
a) Bagi ketua badan atau komisi
Usul DPR: Rp 11.150.000
Disetujui: Rp 6.690.000
b) Wakil ketua:
Usul DPR: Rp 10.750.000
Disetujui: Rp 6.460.000
c) Anggota
Usul DPR: Rp 9.300.000
Disetujui: Rp 5.580.000.
2. Tunjangan komunikasi intensif
a) Ketua badan/komisi
Usul DPR: Rp 18.710.000
Disetujui: Rp 16.468.000
b) Wakil ketua
Usul DPR: Rp 18.192.000
Disetujui: Rp 16.009.000
c) Anggota
Usul DPR: Rp 17.675.000
Disetujui: Rp 15.554.000
3. Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan
a) Ketua komisi/badan
Usul DPR: Rp 7.000.000
Disetujui: Rp 5.250.000
b) Wakil ketua komisi/badan
Usul DPR: Rp 6.000.000
Disetujui: Rp 4.500.000
c) Anggota
Usul DPR: Rp 5.000.000
Disetujui: Rp 3.750.000
4. Bantuan langganan listrik dan telepon
Usul DPR: Rp 11.000.000
Disetujui: Rp 7.700.000
Pemberian Donald Trump Ditelusuri
Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat mendalami dugaan pemberian fee dari Donald Trump kepada Setya Novanto dan Fadli Zon. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat, rombongan DPR menerima topi saat menghadiri kampanye Trump di New York. Anggota Mahkamah, Sarifuddin Sudding, menuturkan, Mahkamah masih memeriksa sejumlah dokumen dari Sekretariat Jenderal dan Badan Kerja Sama Antarparlemen. "Akan kami verifikasi semua saat pemeriksaan," kata Sarifuddin pada Selasa pekan lalu.
Anggota Mahkamah dari Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang, mengatakan terdapat laporan soal adanya uang untuk Setya Novanto dan kawan-kawan dari Donald Trump. Seorang anggota Dewan tidak boleh menerima pemberian apa pun saat bertugas. Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah menerima uang dari Donald Trump. "Yang ada hanya bingkisan. Isinya sebuah topi bertulisan 'Trump'," ujar Fadli. Setya Novanto tak bersedia menanggapi soal rencana pemeriksaan di Mahkamah Kehormatan. Sebelumnya, dia membantah sudah melanggar kode etik selama lawatan ke Amerika Serikat. l
Peninjauan Kembali Hotasi Nababan Ditolak
Mahkamah Agung menolak upaya hukum peninjauan kembali bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan dalam kasus penyewaan pesawat ke perusahaan Amerika Serikat. Majelis hakim peninjauan kembali menguatkan putusan kasasi yang menghukum Hotasi empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider enam bulan penjara.
"Keputusan bulat, tidak ada dissenting," kata anggota majelis hakim Andi Samsan Nganro pada Kamis pekan lalu. Putusan ini diketuk bersama dua hakim agung lain, yaitu Syarifuddin dan Syamsul Rakan Chaniago.
Hotasi dijerat dalam kasus korupsi tuduhan menggelapkan dana security deposit dalam kasus penyewaan pesawat ke perusahaan Amerika, Thridstone Aircraft Leasing Group. Dana tersebut justru dilarikan dua petinggi perusahaan Amerika itu. Akibatnya, menurut hakim, negara dirugikan hingga US$ 1 juta.
Transaksi di Rekening O.C. Kaligis Mencurigakan
Komisi Pemberantasan Korupsi menolak permintaan Otto Cornelis Kaligis untuk membuka blokir rekeningnya. Jaksa penuntut umum KPK mengatakan pemblokiran masih diperlukan karena penyidik menemukan sejumlah transaksi mencurigakan dalam rekening tersangka perkara suap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan itu.
"Bahwa dalam pengembangan penyidikan ditemukan adanya transaksi mencurigakan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan tentang proceed of crime," kata jaksa penuntut umum Yudi Kristiana pada Kamis pekan lalu. Sebelumnya, Kaligis meminta majelis hakim memerintahkan KPK untuk membuka blokir rekeningnya. Menurut Yudi, temuan dalam rekening Kaligis bisa menjadi alat bukti untuk mengusut tindak pidana korupsi lain.
Kaligis memberikan sejumlah alasan mengapa pemblokiran rekeningnya perlu dibuka. Menurut dia, tindakan pemblokiran dilakukan tanpa surat resmi pengadilan, tanpa ada pemberitahuan resmi, tidak memiliki keterkaitan dengan kasus, dan bukan tindak pidana pencucian uang. Rekening tersebut juga digunakan untuk menggaji karyawan, biaya operasi perusahaan, dan pembayaran listrik. "Mohon dengan sangat karena menyangkut orang banyak," ujarnya.
Dua Sandera OPM Dibebaskan
DUA warga negara Indonesia, Sudirman dan Badar, yang menjadi penebang kayu, disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 11 September lalu. Keduanya kemudian dibawa ke Skouwtiau, Vanimo, Papua Nugini. Mereka bisa dibebaskan pada Kamis malam pekan lalu dan sudah diserahkan ke Konsulat Republik Indonesia di Vanimo.
"Mereka dalam keadaan sehat," kata Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi di kantornya pada Jumat pekan lalu. Menurut dia, kabar pembebasan ini sudah ia terima pada Kamis malam. Namun dia baru mendengar kabar bahwa keduanya dipindahkan ke lokasi aman pada Jumat pagi.
Dua warga Indonesia ini disandera oleh sekelompok orang pada 11 September lalu di Distrik Keerom, Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini. Kelompok penyandera meminta pertukaran sandera dengan dua kawan mereka yang ditahan Kepolisian Daerah Papua karena terlibat kasus narkotik. Dalam negosiasi awal, dalam waktu 72 jam dua sandera WNI bakal dibebaskan. Namun negosiasi berlangsung alot.
Nama Jeffrey Pagawak dituding berada di balik penyanderaan ini. Kepada Tempo, Jeffrey membantah terlibat dalam penyanderaan karena sedang mengikuti Pacific Islands Forum di Port Moresby. Dia meminta kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia mengklarifikasi tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo