Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggelembung tanpa Utang

Aset Agung Podomoro terus menggelembung mencapai Rp 15,2 triliun. Berkat tangan dingin Trihatma Haliman.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIFT Senayan City, Rabu siang dua pekan lalu, penuh sesak. Tak perduli tangan dan kakinya tersenggol kiri-kanan, seorang pria terus asyik bercakap lewat telepon Vertu bersepuh emas miliknya. Tapi kegusarannya memuncak saat ia terus terdesak ke bagian dalam lift.

”Kenapa lift sebelah?” tanyanya kepada seorang penjaga lift

”Macet, Pak,” penjaga itu menjawab sekenanya.

”Kok, bisa begitu?” Ia melirik ke arah Handaka Santosa, Presiden Direktur PT Manggala Gelora Perkasa, pengelola Senayan City yang berdiri di pojok lain.

Handaka tak langsung bisa menjawab. Ia sibuk mengontak staf mekanik untuk mencari jawabannya. Tak lupa, ia memerintahkan agar lift yang macet segera diurus.

Mendengar percakapan itu, orang satu lift pun memandang bergantian ke arah Handaka dan si penanya. Siapa gerangan orang ini? Ternyata dialah Trihatma Kusuma Haliman, pemilik mal terbesar di Asia Tenggara itu, yang dibangun dengan bujet Rp 1,2 triliun.

Senayan City adalah proyek besarnya yang hampir rampung. Berdiri di lahan seluas tiga kali lapangan sepakbola di Jalan Asia Afrika, bangunan itu menjulang delapan lantai, plus hotel bintang lima, apartemen, dan perkantoran. ”Saya bangun tanpa utang,” katanya. Nada bicaranya kalem, tenang, kalimatnya terukur.

Berbisnis tanpa utang adalah jurus Trihatma membangun imperium Grup Agung Podomoro, induk usaha properti yang didirikan ayahnya, almarhum Anton Haliman, pada 1969. Nama Anton melejit ketika membangun Simprug Golf seluas 20 hektare di Kebayoran Baru pada 1970. ”Kami keluarga konservatif,” kata ayah dua anak ini.

Bersandarkan pada filosofi bisnis itu, ia mengaku bukan pengikut aliran Joseph Schumpeter. Penggagas teori siklus bisnis dari Inggris ini merumuskan bahwa formula dagang adalah BO+DOL: Berani Optimistis plus Duit Orang Lain. Trihatma membuktikan, ”berani optimistis” saja dagang bisa jalan.

Aset Podomoro kini mencapai Rp 15,2 triliun. Dengan aset segede itu, praktis dialah kini raja properti Indonesia. Ini belum ditambah dengan proyek-proyek besar lainnya yang masih dalam tahap rencana. Trihatma, kini 54 tahun, pun mengaku sedang menyiapkan proyek paling prestisius dalam 28 tahun kariernya.

Lahir di Jakarta, ia mulai menggeluti bisnis pada 1978. Trihatma sudah disiapkan Anton meneruskan usahanya. Karena itu, ia dikirim ke Universitas Kaiserlautern, Jerman, untuk belajar teknik sipil. Baru semester lima, ia dipanggil pulang. Sejak itu Trihatma ”magang” langsung kepada ayahnya selama delapan tahun. Pada 1986, barulah ia mandiri.

Anton tak langsung memberikan tongkat estafet kepemimpinan Podomoro. Trihatma harus memulainya dengan perusahaan baru. Langkahnya dimulai dengan pembelian PT Indofika Housing, perusahaan realestat di Sunter. Keputusan ini diambilnya sendiri, karena ayahnya menolak sumbang saran. ”Ibarat burung, kamu sudah punya sayap kuat untuk terbang,” kata Trihatma mengutip kalimat ayahnya.

Bisnis Trihatma sesungguhnya baru melejit pada 2001. Saat itu, sosoknya kian menonjol karena para pemain properti lainnya justru bertumbangan dibelit utang setelah badai krisis ekonomi berkecamuk pada 1997-1998. Utang macet yang menggunung di bank saat itu, sekitar 70 persennya memang berasal dari bisnis properti. Akibat pukulan dahsyat ini, ketika badai krisis mulai reda pun, para pemain lama sulit menggeliat. Tapi Trihatma selamat. ”Sedikit utang itu banyak manfaat,” katanya.

Dengan sikap konservatif itulah, setiap kali tanda-tanda krisis bakal datang menyergap, ia pun langsung mengerem ambisinya membangun apartemen. Duit simpanan pun langsung dibelanjakan untuk memborong lahan-lahan kosong dari perusahaan yang bangkrut. Dengan jurus itu, ia kini tinggal memetik hasilnya dari rimba properti yang dibangunnya.

Meski begitu, jalan tak selamanya mulus. Sekitar tiga tahun silam, Trihatma pernah dilaporkan ke polisi gara-gara dituduh menyerobot tanah milik ahli waris Munawar bin Salbini di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Pangkal soalnya, apartemen yang dibangunnya menempati lahan 2,9 hektare yang masih berstatus sengketa. Beruntung, tuduhan itu menguap akhirnya. Dan kini, apartemen dan pusat belanja yang dibangun Trihatma itu laris manis diborong. Persis seperti namanya: Podomoro.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus