Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggembok Senapan di Dalam Kotak

Kegiatan Satgas Tribuana X Komando Pasukan Khusus di Papua lebih mirip program pelayanan sosial ketimbang sebuah operasi teritorial dan intelijen di daerah bergolak.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Dalam empat rumah panggung kayu, 40 pria muda bertubuh tegap tidur bersesak-sesak dalam beberapa kamar berukuran 3x3 meter. Penduduk di kawasan Hamadi, Jayapura, mengenal deretan rumah panggung itu sebagai bangunan milik PT Hanurata Coy. Ltd., pemegang hak pengusahaan hutan di Papua.

Mereka, 40 anak muda itu, adalah anggota salah satu pasukan paling elite dalam tradisi militer Indonesia: Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ada 360 anggota Kopassus yang dikirim ke Papua untuk sebuah operasi teritorial dan intelijen tahun ini. Dan 40 anggota satuan tugas (satgas) yang menempati bangunan PT Hanurata itu bertugas di pos pemantau Jayapura. Tempat itu sekaligus menjadi kantor dan tempat tinggal komandan Satgas Tribuana X—nama satuan itu—serta sejumlah staf utama.

Meski ada embel-embel "kesepuluh", Tribuana adalah angkatan kelima Satgas Kopassus yang dikirim ke Papua. Mereka disebar dalam 53 pos pemantauan di seluruh pulau. Pemilihan Kopassus sebagai pelaksana operasi di Papua didasari pertimbangan kelengkapan kualifikasi. Sebagai pasukan elite, mereka terlatih dalam aspek tempur, intelijen, hingga kemahiran nonmiliter seperti petanian, pendidikan, bahkan kesehatan.

Alhasil, pos pemantauan Wutung, yang terletak di perbatasan Indonesia-Papua Nugini, misalnya, lebih sering berfungsi sebagai puskesmas ketimbang sebuah pos operasi teritorial. Akhir Maret silam, salah satu anggota satgas, Pratu Iwan Tara, bahkan sukses membantu persalinan seorang penduduk di pos Wembi, Kecamatan Arso, 90 kilometer dari Jayapura. Ada pula satgas yang menjadi pembina olahraga, seperti di Arso II dan di markas komando di Hamadi. Atau, menjadi guru pengganti untuk SD, seperti terjadi di Kecamatan Waris.

"Kami harus datang sebagai saudara," tutur Komandan Satgas Tribuana X, Mayor (Inf.) Hartomo, menjelaskan kegiatan anak buahnya. Kendati demikian, tugas pasukan tempur ini tentu saja bukan bakti sosial. Mereka harus menghadapi gerakan militer Tentara Pembebasan Nasional (TPN) alias Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tapi, menurut Hartomo, untuk menghadapi perlawanan TPN, diperlukan pasukan yang mampu bertindak persuasif—bukan semata-mata mahir bertempur.

Milisi TPN memang terpecah dalam satuan-satuan kecil yang tak terkoordinasi, dan kerap melancarkan serbuan lalu menghilang di pegunungan. Melalui pergaulan dekat dengan penduduk, Hartomo mengharapkan mereka bisa menularkan "semangat persuasif" dan meredam keinginan penduduk Papua untuk "M"—istilah merdeka dalam percakapan sehari-hari di sana. Dalam bertugas, para anggota satgas tak boleh mengenakan seragam Kopassus. Apalagi, menenteng senapan serbu sembari membagikan tablet obat pusing kepada penduduk.

Untuk pengamanan sehari-hari, mereka cukup membekali diri dengan pistol P-1, sejenis FN versi Pindad. Sementara itu, 300-an pucuk senapan serbu jenis SS-1 digembok dalam kotak dan disimpan di markas Satgas Tribuana X di Jayapura maupun di pos-pos pemantauan lain di Papua. "Ini operasi teritorial dan intelijen. Karena itu, senapan serbu masuk kotak." Satu-dua pucuk SS-1 memang keluar kotak juga barang sebulan sekali untuk mengamankan pengiriman logistik ke pos-pos pemantau.

Operasi teritorial ini juga praktis tanpa fasilitas istimewa sebuah pasukan elite. Pos pemantauan di daerah pedalaman adalah rumah-rumah penduduk atau instansi pemerintah dengan kondisi beragam. Umpama di pos Wembi. Lima anggota satgas menempati rumah berlantai papan dengan satu kamar tidur berukuran 3x3 meter. Contoh lain: untuk menjangkau 53 pos pemantau di seluruh Papua, komandan satgas di Hamidi, Jayapura, hanya bisa memanfaatkan radio SSB (single side band, salah satu kelengkapan standar operasi militer) yang juga tak bisa berfungsi sepenuhnya karena kondisi geografis Papua yang sulit.

Lantas apa target operasi ini? "Kami ini bertugas 'merayu' agar hasrat merdeka para milisi itu bisa diredam dan dinetralkan tanpa harus menggunakan letusan," ujar Hartomo kepada TEMPO. Sang komandan juga harus menghadapi "musuh" lain yang tak mudah dipatahkan bahkan dengan senapan serbu; catatan sejarah yang menuliskan empat dekade gerakan milisi di Papua belum pernah dapat dipatahkan oleh kekuatan tentara reguler.

Prasidono Listiaji (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus