PELURU kendali milik Irak yang berhulu ledak bahan kimia mungkin tak akan pernah meletus di wilayah RI. Kendati demikian, Perang Teluk telah membawa guncangan yang menyebabkan sejumlah pengusaha di sini sesak napas. Ekspor mereka tersumbat, pemasukan devisa berkurang. Menghadapi kemungkinan seperti itu, Presiden Soeharto meminta Kadin agar membentuk Crisis Center, yang berfungsi mencari terobosan baru, menangkis ancaman resesi akibat Perang Teluk dan mengantisipasi efek buruk setelah Putaran Uruguay terbentur jalan buntu. Pak Harto menyampaikan hal itu Senin pekan silam di Bina Graha, ketika menerima para peserta Rapat Pimpinan Kadin Indonesia. Mendengar sara tentang Crisis Center, banyak pengusaha yang merasa seperti "orang haus disodori Aqua." Apalagi pembentukan Cricis Center itu memang sejalan dengan gagasan yang ada pada mereka. Ketua Kadin Sotion Ardjanggi menuturkan, pada 21 Januari lalu Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Gubernur Bank Sentral, dan sejumlah pengusaha mengadakan pertemuan yang menganalisa dampak Perang Teluk terhadap ekspor nonmigas kita. Hasil pertemuan itu lalu dilaporkan kepada Pak Harto. "Beliau menghendaki agar ini ditingkatkan menjadi Crisis Center," kata Sotion. Pusat krisis itu bukan sebuah lembaga, tapi merupakan sistem kerja yang sengaja dibentuk untuk menanggulangi keadaan darurat. Di situ, Kadin berfungsi sebagai wadah dan katalisator. Menurut Ketua Kompartemen Hubungan Luar Negeri Kadin Ir. Iman Taufik -- dalam pernyataannya di depan komisi APBN DPR -- Crisis Center diharapkan menjadi semacam forum komunikasi. "Sampai saat ini rapat-rapat sedang berlangsung. Dalam waktu dekat akan ditentukan langkah apa yang sebaiknya diambil. Tanpa langkah operasional, Crisis Center ini tidak berarti," kata Iman. Bila kita tercemplung dalam keadaan darurat, memang sebaiknya cepat bertindak. Bagaimanapun harus diingat bahwa kawasan Teluk -- seperti dikatakan oleh Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono kepada TEMPO -- pada tahun silam sudah menyerap ekspor kita lebih dari US$ 700 juta. Pasar terbesar adalah Arab Saudi (menyerap US$ 230 juta), Emirat Arab (hampir US$ 200 juta), Irak (US$ 127 juta), dan Iran (US$ 80 juta) -- selebihnya terbagi pada negara Teluk yang lain. Berapa besar menurunnya nilai ekspor kita ke kawasan Teluk -- sejak perang pecah -- hitungannya masih tersimpan di saku para pengusaha, belum dilaporkan ke pemerintah. Tapi Menteri Keuangan J.B. Sumarlin memperkirakan -- dikemukakan dalam dengar pendapat dengan DPR Selasa pekan silam -- kita akan kehilangan sekitar US$ 200 juta. Angka tersebut merefleksikan kalkulasi rugi yang diderita dalam sektor perdagangan ke negara-negara Teluk. Dan perkiraan Sumarlin tampaknya jitu. Kepada Ida Farida dari TEMPO, Direktur Utama PT Harade Maju Sejati, Ir. Ade Sudradjat, mengatakan, "Perang Teluk telah membuat usaha saya seperti terkena rudal Scud. Dampaknya langsung terasa, karena pasar kami di sana." Selama lima tahun terakhir, perusahaannya mengekspor sarung, kemeja, dan sorban ke Timur Tengah -- nilainya rata-rata Rp 30 juta setiap pekan. Sekarang Ade banting kemudi, melepas produknya ke pasar lokal, seperti Cirebon, Solo, dan Semarang. Bahkan dengan konsinyasi -- satu hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan Ade. Eksportir mebel tak kurang gundahnya. Kiani Indonesia, misalnya, yang pada 1990 lalu berhasil meraih omset US$ 11 juta, sejak Januari kontan payah. Hal ini dinyatakan oleh Direktur Utama Kiani, Ir. Sudarto, kepada Indrawan dari TEMPO. Apa yang diungkapkannya itu tak terlalu berlebihan. Ongkos angkut ke Eropa, misalnya, naik. Ke Prancis. ada tambahan biaya asuransi US$ 850 untuk tiap peti kemas ukuran 40 kaki. Catatan di Departemen Perdagangan menyebutkan, kalau kapal ke Eropa harus melewati Tanjung Harapan -- menghindari daerah peperangan di sekitar Terusan Suez -- ongkos angkutnya naik 25% dan masa pelayaran lebih lama delapan atau sembilan hari. "Bila perang terus berlangsung sampai tiga bulan lagi, keadaan akan gawat," kata Sudarto. Lebih jauh Menteri Muda Soedradjad Djiwandono memperkirakan, perang ini bisa mempengaruhi kemampuan mitra dagang kita. "Naiknya harga minyak menurunkan daya beli mereka. Selanjutnya adalah menurunnya permintaan atas komoditi nonmigas kita," katanya kepada Ivan Harris dari TEMPO. Gejalanya terlihat pada usul penurunan harga, seperti dialami oleh Kiani Indonesia -- pembeli di AS minta tiap set harganya diturunkan US$ 5. Di sektor industri jasa, para pengelolanya juga pening. Pengusaha biro perjalanan kehilangan devisa karena rombongan wisatawan yang sudah diaturnya membatalkan paket-paket tur mereka. Smailing Tour, contohnya, terhitung sejak akhir Desember sampai sekarang, minimal kehilangan US$ 920 x 24 orang x tiga penerbangan. Pihak Garuda bahkan sejak jauh-jauh hari sudah menurunkan frekuensi penerbangannya ke Eropa, dari 14 kali menjadi 10 kali setiap pekan -- tak lama lagi menjadi cuma sembilan kali. "Penumpang dari Eropa memang susut," kata Direktur Niaga Garuda Sunaryo kepada Dwi S. Irawanto dari TEMPO. Lebih jauh dikatakan oleh Sunaryo, Garuda sebenarnya sudah mulai merugi sejak September hingga Desember -- sebelum perang pecah. Selama itu pendapatan Garuda menyusut Rp 25 milyar. "Saya yakin, hal ini secara nyata disebabkan oleh kemelut tersebut. Terutama karena biaya bahan bakar naik," kata Sunaryo. Kini, setelah mengurangi frekuensi penerbangan ke Eropa dan tidak lagi mengisi bahan bakar di Abu Dhabi, tapi di Bangkok (yang lebih mahal), setiap pekan Garuda merugi Rp 5-6 milyar. Kebetulan, di saat laba menipis seperti itu, rencana penambahan jalur ke Taiwan -- dari tiga jadi lima kali sepekan -- akan segera dilaksanakan per 5 Februari ini. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini